Novel : Room for Two Bab 21: Kejutan yang Menyakitkan
“Hari itu bapakku pulang sambil marah-marah.” Reivan melanjutkan ceritanya tanpa kuminta. Aku memilih bungkam seribu bahasa. “Dia kesal karena uang setorannya kurang, padahal katanya dia harus bayar utang, sedangkan uang yang ada di Mama sudah terpakai semua untuk beli obat Resti.”
Reivan kembali menghela napas. Kali itu ia tidak lagi memakan makanan pesanannya. Kentang yang ada di jepitan jari-jarinya pun hanya dijadikan tongkat pengaduk saus tomat.
“Aku ada di sana pas kejadian. Aku berusaha ngelindungin Mama dan Resti. Tapi Bapak itu memang keterlaluan. Dipukulnya Mama sampai berdarah-darah.” Reivan tercekat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Reivan, kalau kamu enggak mau, kita enggak usah bahas ini. Yang penting aku udah tahu arti tato itu.”
Akan tetapi, Reivan menggeleng sambil berusaha menyunggingkan senyum. “Aku yang mau cerita. Kamu dengar aja.” Ia menghela napas sesaat. “Jadi, waktu itu aku berusaha bikin Bapak berhenti mukulin Mama. Aku keingetan minyak tanah yang ada di jerigen—kami masih pakai kompor minyak waktu itu. Dalam pikiranku, Mama enggak boleh lagi menderita karena Bapak.
“Aku lari ke dapur ambil jerigen minyak tanah itu, terus aku siram ke arah Bapak. Si jerigen malah jatuh, tumpah …. Maaf.”
Tangan Reivan bergetar ketika hendak mengambil botol air mineral. Tidak hanya itu, ia juga tampak kesulitan memutar tutup botolnya. Aku segera mengambil botol itu dan kuserahkan kepadanya setelah terbuka sempurna.
“Kita enggak usah terusin bahasan ini, ya?”
Reivan menenggak air minumnya tanpa jeda, menyisakan sekitar satu atau dua tegukan lagi di botolnya. Ia menatapku dengan matanya yang memerah, tampak terluka dan pasrah. Aku langsung menggenggam tangan Reivan, berharap itu bisa memberinya kekuatan dan kesembuhan dari luka apa pun yang ia rasakan.
“Minyaknya tumpah ke Resti. Bapak buru-buru mau ambil Resti, tapi rokok yang dia jepit di jarinya lepas dan langsung menyulut api …. Mama berusaha ambil Resti, tapi Mama juga … Mama juga kebakar. Lalu Bapak nyuruh aku cari bantuan.”
Aku terkesiap. Cerita yang kudengar dari mulut Bu Nawang dan Reivan ternyata berbeda 180 derajat.
“Jadi …?”
“Karena sikap kasar Bapak, orang-orang nyangka kebakaran itu perbuatan dia. Bahkan setelah semua itu Bapak enggak berusaha menceritakan yang sebenarnya, dia cuma … dia terima semuanya gitu aja.”
Akhirnya Reivan menangis di depanku. Tangisan tanpa suara yang paling menyakitkan yang pernah kudengar.
“Sejak kejadian itu aku cuma pengin mati, tapi terakhir kali aku ketemu Bapak, dia bilang aku harus bertahan hidup supaya bisa memperbaiki masa depan keluarga kami yang dia hancurkan. Sejak hari itu sampai hari ini, aku enggak berani nemuin Bapak lagi. Aku … enggak punya muka. Aku terlalu pengecut untuk mengakui perbuatanku.”
Mungkin itulah sebabnya mengapa Reivan begitu murka ketika aku bilang kelakuannya mirip dengan ayahnya. Maka pantas saja jika ia terluka. Maka pantas juga jika ia melemparkan tamparan ke pipiku. Setelah mendengar ceritanya, kurasa aku tidak layak hanya dapat satu pukulan, mungkin seharusnya dua atau tiga … mungkin harusnya lebih karena aku telah sengaja mengorek lukanya yang paling dalam.
“Maaf lagi,” ucap Reivan seperti tidak enak hati sendiri. Ia cepat-cepat menyeka sudut matanya kemudian menghirup udara sebanyak-banyaknya. “Gara-gara ceritaku makan malamnya jadi sendu. Makananmu juga sampai enggak habis.”
“Oh, enggak,”—aku buru-buru meralat—“aku memang udah kenyang.”
“Mana ada kamu kenyang? Bentuk nasinya masih bulet, ayamnya juga belum kemakan banyak.”
“Aku tiba-tiba kepingin makan yang lain.”
“Apa?”
Tiba-tiba saja kubilang, “Gelato!” Kata itu terucap bahkan sebelum aku sempat memikirkannya.
Menuruti kemauanku, Reivan langsung membawaku ke sebuah kafe es krim dan gelato di bilangan Ciumbuleuit. Reivan bilang, kafe gelato di sana rasanya enak, tempat makannya juga nyaman. Karena aku belum pernah mengunjungi kedai itu, kuiyakan saja apa katanya.
“Kamu sering ke sini, ya? Sama Rayna?”
Reivan menggeleng. “Yang pertama sama Ibu. Ini yang kedua.”
Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan dorongan untuk meneriakkan kegembiraan karena menjadi salah satu orang spesial yang pernah dibawa Reivan ke kafe es krim dan gelato itu. Rasanya menyenangkan karena mendapat perlakuan istimewa semacam itu dari suamiku sendiri.
Begitu tiba di dalam kafe, Reivan tanpa ragu membuka freezer es krim dan melihat-lihat beberapa jenis gelato yang dimasukkan ke wadah kaca, sesuai konsep gelato packed jar yang diusung kafe itu. “Kamu suka yang manis atau yang asam?” tanyanya.
Mendengar kata asam membuat produksi liurku melimpah ruah. Ada daya tarik yang tidak biasa dari kata itu yang memancing gairah dari lidahku.
“Kalau suka yang asam kamu bisa cobain strawberry yoghurt—”
“Aku mau itu!”
Reivan terlihat terkejut, mungkin karena aku memotong kalimatnya tanpa permisi. “Oke.”
“Tapi kayaknya yang klapertaart juga enak, ya? Salted caramel, pistachio ….”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya