Novel : Room for Two Bab 24: Monolog dan Variabel Tak Terduga
“Hana? Kamu kenapa? Kok, tidur di sini?”
Aku buru-buru mengelap sisa air mata di wajahku ketika Bu Nawang menghampiriku ke kamar. Ia terlihat keheranan saat mendapatiku tidur di kamar sebelah, bukannya di kamar Reivan. Kupikir wajar karena selama beberapa hari menginap di rumah Reivan, ibu mertuaku itu belum pernah naik ke lantai dua.
“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang dirasa?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal ibu mertuaku sebaik itu, tapi aku malah mengecewakannya.
“Perut kamu sakit? Kamu belum makan, lho, dari pagi. Udah hampir jam sebelas, kamu mau makan apa, Nak?”
Padahal ibu mertuaku sangat perhatian, kenapa aku malah menyia-nyiakan perhatiannya itu dengan sengaja?
“Kenapa nangis? Ada apa? Cerita sama Ibu. Orang hamil memang perasaannya lebih sensitif, wajar kalau jadi sering nangis. Kamu berantem sama Reivan, ya?”
“Enggak, Bu.”
“Terus, dia pergi ke mana? Dari pagi Ibu enggak lihat mukanya. Ditelepon enggak diangkat, di-chat enggak dibaca.”
Aku menggeleng. Aku memang tidak tahu di mana Reivan saat itu, apa yang sedang dilakukannya, atau siapa yang sedang bersamanya. Ia meninggalkanku tanpa mengatakan apa-apa, tanpa mengatakan tujuannya ke mana selain menyebut akan menemui kedua orang tuaku lalu menyampaikan tekadnya untuk menceraikanku.
Oh, iya … sudahkah Reivan menemui mereka? Pasti sudah, aku tinggal menunggu bom waktunya meledak saja. Kalau sudah begitu, sia-sia aku hidup. Aku adalah noda yang mencederai kehormatan keluargaku dan keluarga suamiku. Selain kematian, aku tidak pantas ada di mana-mana.
“Hana? Kok, bengong, sih.”
“Maaf, Bu.”
Bu Nawang tersenyum sembari mengelus-elus kepalaku. “Kenapa tidur di sini? Ini kamar tamu, kan?” tanyanya sembari mengedarkan pandangan. “Biasanya kamar ini kosong, enggak pernah ada yang isi.”
“Tadi Hana muntah di kamar Reivan, Bu—”
“Kamar kalian, maksudnya?”
“Iya. Sementara Dewi bersih-bersih, Hana pindah dulu ke sini.”
Bu Nawang berjalan mendekati jendela untuk membuka tirai, tetapi langkahnya terhenti tepat di samping lemari. Sambil mendekati cermin dan meja rias, ia memeriksa satu per satu kosmetikku dan perlengkapan perawatan kulit milikku yang ada di sana.
“Ini semua punya kamu? Kok, disimpan di sini?” Belum sempat menjawab, Bu Nawang membuka lemari dan melihat dengan jelas baju-bajuku yang tertata rapi di dalamnya. Ia memutar badan kemudian menatapku penuh kecurigaan. “Kamu sama Reivan tidurnya beda kamar?”
Tentu saja aku langsung menggeleng. Kucoba menjawab dengan tenang meski sesungguhnya seluruh tubuhku terasa gemetaran.
“Lemari Reivan penuh, jadi baju-baju Hana disimpan di sini semua.”
Bu Nawang mengangguk, sepertinya berusaha keras tidak memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu ia khawatirkan. Kemudian, sebelum ia menanyakan beberapa hal lain yang mungkin akan menyulitkanku, aku buru-buru berkata kepadanya bahwa aku lapar. Trikku itu langsung bekerja.
“Hana mau makan apa?”
“Makan yang ada aja di bawah. Hana mau mandi dulu, ya, Bu, nanti habis itu Hana turun.”
“Ya udah Ibu tungguin.”
Sambil menahan nyeri di perutku, aku buru-buru pergi ke kamar Reivan. Aku harus mandi di sana agar ibu mertuaku percaya bahwa aku memang terbiasa berada di dalam kamar itu.
Tentu saja, demi menghindari ibu mertuaku, sengaja kuhabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Aku ingin menikmati air hangat yang mengalir dari kepala ke seluruh tubuhku—yang sensasinya bisa membuat badanku rileks dan suara alirannya bisa membuatku berpikir lebih jernih.
Baiklah, jika Reivan sudah bertemu kedua orang tuaku dan menunjukkan rekaman semalam kepada mereka, apa yang harus kulakukan? Hanya ada satu pilihan, mengaku dan meminta maaf. Bagaimana jika kubantah saja semuanya? Ah, tidak mungkin, bukti-bukti di hape Reivan terlalu kuat untuk kusangkal kebenarannya. Kupikir, membenarkan semuanya hanyalah satu-satunya jalan.
Lalu, bagaimana jika setelah aku mengaku dan meminta maaf, Papa dan Mama tidak memaafkanku? Mereka sudah pasti tidak akan memaafkanku, seratus persen aku akan dimarahi habis-habisan. Setelah itu? Mungkin aku bisa pura-pura pingsan dan sakit supaya Papa dan Mama khawatir. Tapi … tidak, itu terlalu kekanakan. Sebagai perempuan yang sudah dewasa, aku akan mengambil keputusan sendiri. Aku akan pergi dari rumah orang tuaku dan menjalani kehidupanku sendiri. Mungkin aku harus cari kosan agar aku tidak perlu hidup menumpang dengan orang lain.
Oh, ya, berapa tabunganku? Kira-kira, berapa lama aku bisa bertahan hidup menggunakan uang itu? Atau, apa sebaiknya aku susul Alston ke Balikpapan? Dari mana bisa kudapatkan alamatnya? Astaga … kenapa semuanya jadi lebih membingungkan?
Mari kita kembali ke awal.
Aku akan mengakui kehamilanku dan membenarkan bukti-bukti yang disodorkan Reivan kepada kedua orang tuaku. Jika mereka mengusir, aku akan cari kosan dan menggunakan uang tabunganku untuk bertahan hidup—sepertinya aku harus mencari pekerjaan tambahan agar uang itu tidak cepat habis. Atau … mungkinkah Reivan memberiku uang tunjangan perceraian? Tidak-tidak … aku tidak akan meminta. Aku tidak boleh minta, aku tidak serendah itu.
Halaman : 1 2 Selanjutnya