“Ibu sering denger selentingan,” katanya kepadaku, “tapi Ibu enggak pernah percaya. Kalau sampai selentingan itu bener, Ibu akan kecewa sekali sama kamu, Han.”
Setelah menghela napas panjang, Bu Nawang pergi meninggalkan kamar Reivan. Tersisalah aku yang menangis seorang diri, juga Bu Lia dan Dewi yang tampaknya tidak peduli. Namun, ketika Dewi menyentuh lenganku, aku tak berpikir lagi. Langsung kupeluk tubuh Dewi dan kuhabiskan tangisanku di bahunya.
***
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Reivan datang tiga puluh menit kemudian dengan pakaian yang sama yang kuingat ia kenakan sehari sebelumnya, dan wajah yang kusut bukan main. Mungkin, sama sepertiku, ia juga tertekan karena kekacauan yang kutimbulkan. Ia tidak menyapaku ketika pulang. Alih-alih menanyakan kabarku, ia malah langsung menghampiri ibunya dan bertanya ada keperluan apa.
Bu Nawang mengumpulkan kami di kamar tamu lantai satu, tempatnya tidur sejak ikut menginap di rumah Reivan. Sementara aku memilih duduk bersebelahan dengan ibu mertuaku di tepi kasur, Reivan memutuskan tetap berdiri di dekat daun pintu yang tidak tertutup rapat.
“Ibu mau tahu, ada apa sebetulnya?” kata Bu Nawang kemudian.
“Ada apa memangnya, Bu?” Reivan balik bertanya.
“Justru Ibu yang tanya, ada apa sama pernikahan kalian berdua?”
Reivan tidak bisa menjawab sementara aku enggan memberikan jawaban. Sikap diam kami rupanya membakar habis sisa-sisa kesabaran yang masih ada dalam diri Bu Nawang.
“Kalau kalian enggak mau jawab, Ibu yang beberkan semuanya.”
“Reivan enggak paham, apa yang mau Ibu beberkan?”
Bu Nawang mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Reivan. “Jangan kamu pikir Ibu ini bodoh, ya, Reivan! Ibu punya mata dan telinga. Mau kalian yang jujur atau Ibu yang ngomong?”
Melihat Bu Nawang seperti itu, jujur nyaliku ciut lalu lenyap tak bersisa. Aku tak mengira ibu mertuaku yang baik dan cantik itu bisa berubah menyeramkan saat ia murka.
“Reivan!”
“Maaf, Bu, ini semua gara-gara Hana—”
“Reivan yang salah, Bu.”
Aku langsung melihat ke arah Reivan, tetapi ia tidak membalas pandanganku.
“Sebagai suami Reivan gagal—”
“Ibu enggak mau denger basa-basi kayak gitu, Reivan! Ibu tahu kamu, Ibu yang ngebesarin kamu! Ibu tahu kamu enggak mungkin pukul istrimu karena kamu enggak sama kayak bapakmu. Ibu tahu persis itu! Kamu pikir Ibu enggak sakit hati waktu lihat kamu dipukulin kakaknya Hana itu? Kamu pikir Ibu enggak terluka waktu kamu dimarah-marahin ayahnya Hana? Kemarin itu Ibu diam bukan karena Ibu enggak peduli, tapi karena Ibu kenal kamu. Kalau disudutkan, kamu pasti selalu terima, kamu selalu nanggung kesalahan orang lain, tapi Ibu enggak bisa kasih penjelasan itu ke mereka karena bukti-buktinya tanggung ada. Berkat Hana.” Bu Nawang melempar lirikan maut kepadaku. “Sekarang, Ibu minta kamu jujur. Kalau ada kegagalan dalam rumah tangga kalian, itu bukan hanya karena kesalahan kamu, Reivan, tapi juga kesalahan Hana. Ada yang mau sampaikan ke Ibu?”
Bu Nawang kembali melirikku. Aku tahu, itulah saatnya bagiku untuk membuat pengakuan. []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2