“Maaf waktu pernikahan kemarin saya enggak datang,” katanya berusaha memulai percakapan, mungkin agar situasi canggung di antara kami tidak berlangsung lebih lama.
“Oh, enggak apa-apa.” Lagi pula, sebentar lagi pernikahan yang tidak kamu hadiri itu akan berakhir dan mungkin giliranku yang tidak akan hadir di pernikahan kalian—tentu saja itu hanya kusampaikan dalam hatiku.
“Reivan banyak cerita tentang … Mbak,”—kubiarkan ia menyapaku begitu—“benar katanya, Mbak cantik. Pantas Reivan tergila-gila.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa? Reivan tergila-gila sama aku? Aku? Kalau Rayna berkata seperti itu hanya untuk menyenangkanku, jelas dia baru saja kehilangan akal sehatnya.
“Tergila-gila gimana? Reivan itu judes, jutek, dingin, galak, you name it. Mana mungkin dia tergila-gila.”
“Bener, Mbak, saya tahu kalau Reivan suka sama seseorang. Saya kenal dia sudah lama, hampir tujuh tahun. Di kantor dia selalu cerita Mbak begini, Mbak begitu—”
“Berani taruhan, pasti bukan cerita yang bagus.”
“Enggak, kok. Dia bilang Mbak baik, pinter, lucu, cantik …. Mbak, jangan dibawa ke hati kalau Reivan judes. Dia, kan, memang begitu setelannya. Yang jelas, di balik mukanya yang judes dan kata-katanya yang pedas, sebetulnya dia itu lelaki yang baik hati.”
Daripada berbasa-basi, lebih baik kuutarakan saja hal-hal yang kerap mengganggu pikiranku. “Maaf kalau perjodohan kami bikin hubungan Mbak sama Reivan berantakan. Saya bener-bener enggak bisa berbuat apa-apa, orang tua kami begitu memaksakan pernikahan ini.”
Rayna menatapku, entah apa yang ia pikirkan. Mungkin setelah mendengar kata-kataku ia akan mengira bahwa aku tidak pernah mencintai Reivan, padahal belakangan benih-benih itu mulai tumbuh dan merimbun di taman hatiku.
“Hubungan saya sama Reivan memang sudah berantakan sejak awal, kok, Mbak,” kata Rayna. “Ibunya enggak pernah setuju Reivan pacaran sama saya, sementara orang tua saya kurang berkenan sama Reivan. Kepercayaan kami berbeda, dipaksakan pun hubungan kami enggak akan jalan ke mana-mana ….”
Apa? Jadi … lagi-lagi aku salah sangka.
“ … maka, meski berat, perpisahan kami itu yang terbaik. Mulanya sulit, memang, tapi syukurlah, Reivan dijodohkan. Perjodohan Mbak sama Reivan itu jadi semacam gong untuk kami supaya benar-benar membatasi diri dan mengakhiri semuanya. Saya benar-benar bersyukur Reivan dapat istri yang baik sesuai harapan orang tuanya. Sekarang, saat ini, antara saya dan Reivan sudah enggak ada perasaan apa-apa lagi.”
Istri yang baik sesuai harapan orang tuanya. Mataku malah berkaca-kaca mendengarnya.
“Mbak Rayna, maaf—”
“Ayo.”
Reivan mengulurkan tangan dan mengajakku berdiri. Aku menatap suamiku itu, laki-laki yang tidak pernah banyak bicara, yang kerap menelan sendiri kekecewaannya, yang selalu menyembunyikan perasaannya, dan senantiasa memaksakan perdamaian tiap kali aku memulai pertengakaran dengannya. Lagi dan lagi, aku benar-benar telah menyia-nyiakan suami terbaik yang diberikan Tuhan kepadaku.
Kuterima uluran tangan Reivan lalu berdiri di sebelahnya. Rayna ikut berdiri. Ia tersenyum kepada kami lalu berkata, “Semoga lancar bulan madunya, ya, Pak.”
“Aku cuma pergi beberapa hari,” kata Reivan. Genggaman tangannya di tanganku tidak lepas saat ia bicara. “Jangan bikin kekacauan di kantor. Aku masih bisa dihubungi, hanya untuk hal-hal urgent,” tambahnya.
“Siap, Pak!” Sambil tertawa, Rayna melakukan gerakan hormat seperti tentara. “Sampai jumpa lagi, Mbak. Semoga setelah pulang bulan madu bisa langsung hamil, ya.”
Aku ingin menertawakan kata-kata Rayna. Namun, pikiran itu hilang ketika ia menarik tubuhku kemudian memelukku erat.
“Reivan beruntung punya istri kayak Mbak. Serius, deh. Semoga kalian bahagia, ya,” bisiknya.
Tidak lama setelahnya, Reivan merangkul bahuku kemudian menggiringku pergi menuju kereta feeder dengan tujuan Padalarang. Dari sana, kami akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta cepat ke Jakarta.
Karena terus dirundung rasa penasaran, aku bertanya kepada Reivan. “Kamu bilang apa ke Rayna soal kita mau ke Balikpapan?”
“Bulan madu.”
“Mana ada pasangan yang bulan madu pakai baju asal-asalan kayak gini.”
“Pas, kan, kita memang pasangan asal-asalan.”
“Kamu enggak pinter ngebohong.”
“Ya … sudah jelas siapa di antara kita yang lebih ahli.”
Aku langsung diam, malas membalas lagi. Makin aku banyak bicara, kata-kata yang dilontarkan Reivan pasti akan makin menyakiti perasaanku. Sialnya, aku tidak mungkin membalas karena semua yang ia sampaikan adalah fakta.
“Saya bawa camilan buat di jalan, siapa tahu kamu lapar. Saya juga tadi minta plastik banyak-banyak, barangkali kamu mual. Kalau enggak ada yang cocok, nanti di bandara kita beli lagi yang lain.”
Benar kata Rayna, di balik raut wajahnya yang judes dan kata-katanya yang pedas, Reivan memang lelaki yang baik hati. Sayang butuh tragedi dulu bagiku untuk bisa sadar diri. []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2