Novel : Room for Two Bab 28: Cuma Cemburu
Karena pesawat yang kami tumpangi delay, kedatangan kami di Balikpapan pun mengalami keterlambatan. Saat itu waktu di jam tanganku menunjukkan pukul 20.47 WIB, atau pukul 21.47 WITA. Demi menghemat tenaga, Reivan memutuskan untuk check-in ke hotel terlebih dahulu alih-alih langsung mendatangi rumah Alston.
Reivan sempat memesan dua kamar, masing-masing satu untuknya dan satu untukku. Namun, aku memintanya membatalkan pesanan kedua agar kami bisa tidur bersama-sama seperti biasa. Tidak perlu banyak perdebatan, Reivan langsung menyetujui permintaanku—dengan penyesuaian tentu saja. Penyesuaian yang kumaksudkan terletak pada jumlah kasurnya—Reivan memilih twin bed, bukannya single. Namun, rupanya ia tidak bertanya kepada resepsionis apakah kamar itu cocok untuk pasangan suami istri yang tidak benar-benar menjadi suami istri ataukah tidak.
Begitu tiba di kamar, aku dibuat kaget oleh kamar mandi yang menerawang. Dinding yang membatasi tempat tidur dan kamar mandi serta toilet dibuat tanggung—setengah ke bawah dibatasi tembok berkertas dinding putih gading sedangkan setengah ke atas diganti dengan kaca buram. Meski buram, tetapi siapa pun tetap bisa melihat bayangan orang yang sedang beraktivitas di sana. Jelas itu bukan hal yang benar mengingat aku dan Reivan belum pernah memandangi kondisi tubuh masing-masing tanpa busana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Maka kuputuskan untuk langsung berbaring tanpa membersihkan tubuh terlebih dahulu. Kupunggungi dinding kamar mandi saat Reivan sedang berada di dalam sana. Besok pagi, pagi-pagi sekali, sangat pagi kurasa, aku akan mandi lebih dulu agar Reivan tidak sempat melihatku.
Untunglah semuanya berjalan sesuai rencana. Satu jam sebelum Reivan bangun, aku sudah berpakaian dan berdandan. Nahas, tidak lama setelahnya aku malah mual-mual sehingga menarik perhatian Reivan, bahkan sebelum alarm di ponselnya berbunyi.
Saat aku berlutut di toilet sambil memuntahkan ludah-ludah asin yang tak kunjung berhenti, Reivan tiba-tiba datang dan membelai-belai punggungku. Ia membantu memegangi rambutku lalu bertanya dengan suara serak, “Kamu udah mandi?”
Aku mengangguk tanpa melihat wajahnya.
“Keramas pagi-pagi? Biar apa?”
“Biar enggak gerah. Aku mau ke kamar.”
Reivan membantuku berdiri kemudian membimbingku ke kasur. Dengan sigap ia menyediakan segelas air putih untuk kuminum.
“Baru jam 4, Ishana,” kata Reivan dengan mata menyipit, mungkin karena masih digantungi rasa kantuk.. “Segitu semangatnya kamu mau ketemu Alston sampai harus mandi pagi-pagi banget. Biasanya juga kamu mandi lebih siang dari saya.”
Aku terdiam, sama sekali tak menyangka Reivan akan memiliki pemikiran semacam itu. Bisa-bisanya Reivan berpikir demikian. Aku hendak meluruskan, tetapi sebelum sempat aku bicara, rasa mual yang menyebalkan itu kembali mendera.
Ada total tiga sesi keluar masuk kamar mandi yang kujalani. Ketika episode mual muntah itu berakhir, otot-otot di perutku rasanya nyeri sekali hingga bahkan untuk batuk pun aku harus menahan diri.
“Kuat enggak buat nyamperin Alston?” tanya Reivan sembari membantu mengompres perutku yang nyeri. “Pasti kuat, dong. Enggak pun pasti akan dikuat-kuatin, kan?”
Kuberikan lirikan maut kepada Reivan. Biasanya lirikan itu berhasil membungkam Alston saat ia tahu bahwa dirinya telah bicara keterlaluan, tetapi tidak demikian dengan Reivan. Ia terkesan tidak menangkap alarm kekesalanku.
“Mau sarapan pagi di resto atau di kamar? Atau, seperti biasa, kamu belum mau makan?”
“Belum mau makan—”
“Atau mau nunggu sarapan bareng Alston?”
Reivan terus memancing amarahku, tetapi aku memutuskan bertahan dan tetap mengabaikannya. Sejak keberangkatan ke Balikpapan kemarin, meski memperhatikan dan menjagaku dengan sepenuh hati, tetapi Reivan terus memberikan sindiran-sindiran halus yang menyakiti perasaanku. Entah mengapa, padahal ide mendatangi Alston ke Balikpapan pun datang dari dirinya, bukan dariku.
Ketika Reivan akhirnya pergi mandi, aku bergegas mengganti pakaian. Mempertimbangkan suhu di luar yang cukup tinggi, kuputuskan untuk mengenakan midi dress berlengan panjang. Aku membutuhkan ruang yang leluasa untuk bergerak, sementara celana jeans yang berbahan ketat hanya akan membuatku tidak nyaman saat berkeringat.
“Wah, beda, ya, kalau mau ketemu calon suami dan calon mertua. Pakai bajunya harus rapi dan cantik supaya enggak malu-maluin—”
“Cukup, Reivan!” Aku muak! Aku benar-benar muak dengan semua sindiran yang ia lontarkan! “Kenapa, sih, kamu nyindirin aku terus?”
“Kapan saya nyindirin kamu?”
“Tadi, barusan, sekarang! Dari kemarin! Memangnya kamu pikir aku enggak sadar?”
“Memangnya saya bilang apa?” Reivan berjalan santai mendekati ranjangku sambil mengeringkan rambutnya menggunakan sehelai handuk. Setelah berada cukup dekat denganku, ia mendudukkan diri di sebelahku lalu kembali bertanya, “Kata-kata saya yang mana yang bikin kamu kesindir?”
“Semuanya! Tentang kita pasangan asal-asalan, tentang aku yang mandi pagi karena semangat mau ketemu Alston, tetang sarapan, dan barusan, tentang baju!”
Halaman : 1 2 Selanjutnya