Novel : Room for Two Bab 29: Cinta Dihantam Fakta
Saya tahu ini salah, tapi sepertinya saya jatuh cinta. Sama kamu, Ishana. Dan dengar kabar kamu hamil, dan lihat kamu antusias waktu mau ketemu Alston … itu rasanya menyakitkan. Makin dipikirkan makin menyakitkan. Maaf, saya tahu saya udah bertingkah kekanakan.”
Ingin rasanya aku menyampaikan hal yang sama, tapi kata-kata Reivan yang menyebutkan bahwa perasaannya itu adalah kesalahan langsung membuatku kehilangan harapan.
“Kedekatan kita beberapa minggu terakhir bikin saya lupa diri. Padahal kamu udah bilang kita enggak boleh jatuh cinta, saya juga udah setuju, tapi tetap aja itu di luar kendali—”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mungkin menimpali kata-kata dengan kata-kata akan terlalu bertele-tele? Jadi, daripada berpanjang-panjang kata, kupalingkan wajahku menghadap Reivan, lalu kudekatkan kepalanya ke kepalaku.
Maka, di sanalah, di salah satu kasur twin bed yang disewa Reivan di kamar hotel di Balikpapan, dengan wajahku yang masih bersimbah air mata dan hatiku yang masih porak poranda, untuk pertama kalinya aku dan Reivan benar-benar bertukar ciuman. Lembut dan dalam dan penuh penghayatan.
“Sepertinya aku juga mulai cinta sama kamu. Tapi karena perbuatanku … kita mungkin akan sulit bersatu. Maaf.”
Seperti hubungan kami yang rumit, ciuman kami pun terpaksa diakhiri dengan perasaan yang sulit. Dulu aku tidak ingin dimiliki Reivan, tetapi mengapa kini aku berharap cinta kami tak terpisahkan?
***
Reivan sengaja menyewa mobil agar kami mudah bepergian saat berada di Balikpapan. Jujur saja, hal itu tidak terpikirkan olehku. Namun dari sana aku jadi lebih mengenal Reivan sebagai lelaki yang selalu penuh persiapan.
Rumah yang kami datangi kemudian tidak bisa dibilang mewah, tetapi juga tidak cocok dibilang sederhana. Dengan sepetak kecil halaman yang ditumbuhi rerumputan, pagar besi bercat putih yang karatan, dan cat dinding biru bebercak kecokelatan, rumah itu cukuplah untuk kusebut rumah layak huni. Temboknya yang sebagian ke bawah berhias batu kali terlihat masih kokoh. Beberapa atapnya bernoda kekuningan, seperti bekas bocoran air hujan yang dikeringkan matahari.
Sedikit area parkir di sisi kiri rumah itu ditempati oleh jemuran lipat dan satu buah sepeda motor tua. Beberapa pasang sandal dewasa tergeletak sembarangan di dekat motor, tak beraturan, seperti ditinggalkan dengan sengaja karena pemiliknya terburu-buru masuk ke rumah. Tidak jauh dari sana, ada sapu injuk yang sudah rontok tersandar ke tembok.
Tidak ada bel untuk menghubungi penghuni rumah. Pagar pun hanya berselot, tidak tergembok. Lalu, ketika Reivan mendorong pagar itu, pintunya langsung mengayun dan terbuka.
Reivan mengajakku menghampiri pintu utama rumah itu, satu-satunya pintu akses keluar masuk orang yang tinggal di dalamnya. Ia mengetuk sebanyak tiga kali. Tidak perlu menunggu lama, kami mendengar suara kunci diputar. Beberapa detik berikutnya, aku melihat seorang perempuan berusia 60 tahunan mengintip dari balik daun pintu yang terbuka sedikit.
Perempuan itu melongokkan kepalanya ke kanan dan kiri, aku tak tahu apa atau siapa yang ia cari. Namun, tak lama setelahnya ia memutuskan diri membuka pintu lebih lebar, menyatakan bahwa ia siap menerima kedatanganku dan Reivan.
Aku memandang perempuan itu. Dari rambutnya yang berombak, matanya yang agak belo, dan garis bibirnya yang tebal, aku langsung tahu begitu saja bahwa perempuan itu adalah ibunya Alston—yang katanya sedang sakit keras. Anehnya, ia terlihat bugar. Uban memanglah telah mendominasi warna rambutnya, tetapi gerak-geriknya tetap sigap. Kulit tangannya juga mulai berkerut keriput, tetapi tidak pucat sama sekali. Cara bicara mantap, tidak ada tanda-tanda lemas atau tak bertenaga. Lalu, ibu Alston yang manakah yang sedang sakit keras?
“Cari siapa?” tanyanya dengan suara serak.
“Ini betul rumah Alston?” tanya Reivan.
“Betul. Saya ibunya. Ada apa?”
Reivan menjawab bahwa kami perlu bertemu Alston. Kami perlu bicara dengannya. Karenanya, ia menanyakan keberadaan Alston kepada perempuan yang mengaku ibunya itu. Namun, yang diajak bicara enggan menjawab terus terang.
“Mau ketemu buat apa? Dia ada utang sama kalian?”
Reivan melirikku sekilas. “Enggak, Bu. Ini bukan soal utang piutang. Kami temannya, dari Bandung. Jadi, di mana kami bisa bertemu sama Alston, Bu?”
“Dia lagi pergi, sama istrinya.”
Sebuah godam yang tak terlihat menghantam jantungku dengan kecepatan kilat. Istrinya?!
“Sejak kapan Alston punya istri?”
Aku tidak bisa menahan diri agar tak menanyakan pertanyaan konyol itu. Sepertinya, yang kutanya pun memiliki pendapat yang sama.
“Udah lama. Tiga tahun lebi—”
“Bohong!”
“Kenapa? Kamu siapanya?”
“Maaf, Bu,”—Reivan buru-buru menengahi—“istri saya ini teman dekatnya Alston. Kayaknya dia cuma kaget karena Alston enggak pernah cerita soal pernikahannya.”
“Udah nikah, dia. Udah punya anak juga, kok.”
Palu godam lainnya kembali menghantam jantungku. Aku merasa kakiku melesak ke tanah dan tak bisa keluar lagi. Tenagaku hilang, tumbuhku limbung.
Halaman : 1 2 Selanjutnya