“Jangan tanya saya gimana atau kenapa bisa sampai kayak gini, tanya sama dia!” Telunjuk Reivan mengarah lurus ke wajah Alston. “Harusnya jadi orang kamu sadar diri! Tau udah punya istri, tau punya anak yang sakit, tau Ishana udah nikah … tau kalau miskin, harusnya jangan banyak gaya! Bisa-bisanya numpang hidup dari duit saya! Dia ini makan minum tidur semua pakai duit saya, Bu! Saya punya semua buktinya! Sebelum Ibu laporin saya ke polisi, saya duluan yang bakal laporin anak Ibu ke polisi. Bisa apa Ibu? Bisa apa kamu di Bandung kalau enggak dikasih makan istri saya?!”
“Bangsat! Sini, lu! Belagu amat baru punya duit segitu doang! Hana itu cintanya sama gue bukan sama elu, tai!”
“Ayo!”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Reivan bergegas menarik lenganku. Sambil berlari-lari kecil dan terisak-isak aku mengikuti langkahnya yang secepat kilat. Ia menyuruhku masuk ke mobil. Sebelum menutup pintu, aku masih bisa mendengar Alston memaki, “Hei, Anjing! Tai lu! Gue doain mati, lu!”
Reivan membuka kaca jendela lalu meludah ke luar. Aku susah payah memintanya agar berhenti memprovokasi Alston.
“Bisa-bisanya kamu jatuh cinta sama laki-laki semacam dia,” kata Reivan sambil memundurkan mobilnya.
Dengan wajah yang dibanjiri air mata, perlahan-lahan kulihat bayangan Alston mengecil lalu menghilang dari pandanganku. Tak kusangka hubungan kami yang begitu indah pada awalnya akan berakhir dengan amat menyedihkan. Tak pernah kuduga bahwa lelaki yang kuharapkan menjadi suamiku kelak malah menjadi orang yang paling pertama menghancurkan mimpi-mimpiku. Pada akhirnya, aku tetap sendirian—aku akan selalu sendirian dengan hidupku yang berantakan.
“Angkat teleponnya!”
Saat itu baru kusadari kalau ponselku berdering berkali-kali, seakan-akan ada hal penting yang harus segera kutangani. Tanpa menunda-nunda lagi, langsung kuangkat panggilan itu. Dari Mama. Ia menanyakan posisiku.
“Pulang, Hana. Sekarang!”
Nada Mama yang tegas membuat perasaanku tidak enak, belum lagi ketika masuk panggilan lain dari Bang Hadi. Sesuatu dalam diriku langsung meyakini, ada hal buruk yang telah terjadi sejak aku meninggalkan rumah Reivan kemarin. Perasaan itu begitu kuat sampai-sampai aku tidak sanggup mendengar kelanjutan ucapan Mama. Aku juga tidak berani menerima telepon Bang Hadi.
“Kenapa, Mah?”
“Papa masuk rumah sakit lagi. Makanya kamu cepat pulang …..”
Durasi tangisanku makin panjang. Setelah menangisi Alston, berikutnya aku lanjut menangisi Papa. “Papa kenapa, Mah?”
“Nanti Mama jelasin, sekarang kamu pulang dulu.”
Belum juga selesai pembicaraanku dengan Mama, ponsel Reivan menjerit. Ia segera menepikan mobil sebelum mengangkat telepon.
“Bang Hadi,” gumamnya. “Iya, Bang?”
“Kamu sama Hana?” tanya Bang Hadi lewat pelantang suara dari ponsel Reivan. “Suruh dia pulang ke rumah orang tua saya sekarang! Bikin malu keluarga aja!”
Aku tahu, saat itu juga, meski ragaku masih bernyawa, tetapi hakikatnya hidupku telah berakhir. Aku telah mati dan aku sedang merayakannya. []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2