Novel : Room for Two Bab 31: Yang Kenyang Terluka Harusnya Bahagia
Akan tetapi, tetap saja kami tidak bisa segera kembali ke Bandung. Bersamaku ada Reivan yang babak belur. Aku harus membawanya ke rumah sakit terdekat untuk membersihkan dan mengobati luka terbuka di keningnya—pukulan Alston itu membuat Reivan mendapat 4 jahitan di tepi dahinya.
Berikutnya, kami tidak bisa memesan tiket pesawat dadakan. Semua penerbangan sudah lewat dan penerbangan tercepat baru bisa kami dapatkan sore esok hari. Alhasil, aku dan Reivan hanya bisa berdiam diri di kamar hotel.
Sepanjang sisa hari itu, Reivan hanya berbaring di kasurnya. Ia tidak makan, tidak juga mengajakku bicara. Aku ingin menanyakan kondisinya, tetapi tidak juga tega membangunkannya. Karena itu, aku hanya duduk sambil memeriksa pesan-pesan Bang Hadi yang masuk ke ponselku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Abang udah tau semuanya
Ibunya Reivan cerita ke Mama sama Papa
Kamu pulang sekarang!
Papa syok karena kamu
Cepet tengokin Papa, temuin Mama
Minta maaf sama mereka
Pulang sekarang Hana!
Iya Hana mau pulang
Tapi enggak dapat tiket pesawat sekarang
Besok siang Hana pulang
Kamu di mana ini?
Sama Reivan?
Di Balikpapan
Sama Reivan
Ngapain kamu ke BPN?
Kenapa aku ke Balikpapan? Tujuan awalnya adalah untuk meminta pertanggungjawaban Alston, tetapi setelah kekacauan siang tadi, aku langsung kehilangan arah dan orientasi. Untuk apa aku ke Balikpapan? Entah, aku tak tahu. Aku tak tahu apa maksudku.
Karena tak tahu, kuputuskan sekalian untuk mengakhiri percakapan itu. Aku juga langsung mematikan ponsel agar tidak terganggu oleh panggilan-panggilan lain dari keluargaku. Aku butuh keheningan, aku butuh kesendirian ….
Dan kesendirian lantas membuatku banyak berpikir. Setelah keaadaan menjadi begitu berantakan, apa lagi yang bisa kuharapkan? Apa lagi yang bisa kuusahakan? Pernikahanku? Pekerjaanku? Kesucianku? Tidak ada.
Jujur saja, aku takut pulang. Aku takut bertemu Bang Hadi. Aku takut bertemu Mama. Tapi dari semuanya, aku paling takut bertemu Papa. Pernikahanku dengan Reivan adalah keinginannya, kebanggaannya. Namun, aku malah menghancurkannya. Semua karena kebodohanku. Benar kata Reivan, bisa-bisanya aku jatuh cinta sama lelaki yang tidak tahu diri itu.
Kali berikutnya, aku tidak menangis lagi. Aku sudah kehabisan air mata. Tidak ada lagi sisa tenaga untuk meratapi keadaanku. Kurasa, aku tidak punya pilihan lain selain melanjutkan hidupku untuk sementara waktu. Jika semuanya membaik, mungkin aku akan bisa membesarkan bayi di perutku seorang diri. Jika tidak, kuharap aku memiliki keberanian yang cukup untuk mengambil keputusan—kalau aku tidak bisa menggugurkan bayi itu, aku masih bisa menggugurkan masa depannya yang terikat dengan masa depanku. Bukankah calon buah tidak akan jadi buah jika pohon tempat hidupnya telah menyerah untuk terus bertumbuh dengan gagah?
“Ishana?”
Kudekati Reivan dan kuperiksa kondisinya. Ukuran mata kanannya telah membesar dua kali lipat dari ukuran aslinya, warnah merah keunguan juga melingkar di sekitarnya. Dokter di IGD tadi sudah memberinya obat penahan nyeri, tetapi melihatnya mengernyit seperti menahan sakit, kurasa obat itu tidak berpengaruh banyak bagi Reivan.
“Jam berapa sekarang?”
“Setengah tujuh.”
“Kamu udah makan?”
Aku menggeleng.
“Makan dulu, pesen aja. Badan saya sakit-sakit”—Reivan bergerak-gerak di kasurnya— “Kepala juga. Saya enggak bisa anter—”
“Enggak apa-apa, aku enggak lapar.”
Reivan menatapku. “Kamu mungkin enggak, tapi anakmu butuh makan.”
Bahkan dalam kondisi seperti itu pun Reivan masih memikirkan keadaanku. Keadaan kami.
“Pesan, gih.”
Saat itu, tanpa sengaja tanganku menyentuh tangan Reivan. Meski sekilas, tapi kurasakan suhu badannya yang memanas.
“Dokter ada kasih obat penurun demam enggak, ya, tadi?” Pertanyaan itu kuajukan lebih kepada diriku sendiri.
Kuperiksa plastik berisi obat-obatan yang diresepkan. Tidak kutemukan obat yang kucari di dalamnya.
“Aku ke apotek dulu sebentar. Badan kamu panas. Atau kamu mau ke dokter lagi, periksa aja sekalian?”
“Pesan aja, Hana. Jangan keluar sendiri,” gumam Reivan sambil terpejam.
“Tapi hapeku mati.”
“Pakai hape saya.”
“Dikunci.”
“Tanggal pernikahan kita.”
Aku langsung bungkam. Reivan ternyata menggunakan foto pernikahan kami sebagai wallpaper ponselnya. Di foto itu kami sama-sama tersenyum manis ke kamera, berpura-pura menjadi pasangan sempurna. Tidak ada yang tahu bahwa pada akhirnya pernikahan kami akan porak-poranda.
“Reivan?”
“Hmm?”
Aku melebarkan lengan dan langsung memeluk tubuh suamiku. Sedikit ceroboh karena kudengar kemudian ia mengaduh kesakitan.
“Makasih, ya.”
“Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, Ishana. Selama saya masih jadi suamimu, anak itu enggak akan lahir tanpa nama ayahnya.”
***
Ternyata, kondisi Reivan tidak menjadi lebih baik saat aku bangun pagi keesokan harinya. Bengkak di wajahnya terlihat lebih buruk dibandingkan kemarin, sementara suhu tubuhnya masih terasa sama tinggi seperti semalam.
Halaman : 1 2 Selanjutnya