Melihat keadaan Reivan yang seperti itu—sekaligus menyadari, akulah yang menyebabkannya menjadi begitu—kupikir sebaiknya segera kubawa ia ke dokter. Namun, episode mual muntah sialan itu kembali menerjang, membuatku tidak bisa melakukan hal yang lain selain berdiam diri di kamar mandi. Aku merasa begitu marah kepada janin dalam perutku karenanya. Sejak ia hadir di rahimku, pagi hariku selalu penuh drama.
“Kuharap kamu mati aja!”
Kubisikkan kata-kata itu dalam hati, berulang-ulang. Aku ingin memastikan ia tahu, keberadaannya tidak pernah kuharapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kata orang, mual muntah kayak gini cuma sebentar. Sabar, ya,” ujar Reivan yang tetap mendampingiku di kamar mandi. Ia membantuku memegangi rambut saat aku menunduk menghadap kloset sambil merasakan gejolak tak enak yang mengocok perut.
“Kalau aku udah mendingan, kita ke dokter, ya.”
“Kenapa? Kamu mau periksa kandungan?”
“Bukan aku, tapi kamu. Aku mau kamu periksa, soalnya badan kamu masih panas terus mata kamu juga makin bengkak. Aku takutnya kamu demam karena ada luka serius di sekitar mata kamu itu. Kita harus cari tahu.”
Anehnya, Reivan malah tertawa begitu aku selesai bicara. Aku heran, bagian mana dari kata-kataku yang menurutnya lucu hingga ia bisa tertawa seperti itu?
“Perasaan aku enggak lagi ngelawak.”
“Maaf, kamu enggak usah khawatirin saya—”
“Ya mana bisa? Coba ngaca, deh, lihat mukamu itu kayak apa?”
Reivan mengangguk. “Udah, aku udah lihat. Ini depan aku ada kaca. Emang jelek, aku tahu, tapi ini bukan luka serius.”
“Tapi kamu ngeluh sakit kepala kemarin! Terus kamu demam! Aku takut kamu kenapa-kenapa, Reivan!”
“Saya enggak akan kenapa-kenapa—”
“Tahu dari mana kamu? Memangnya kamu dokter?”
“Saya bukan dokter tapi saya tahu. Enggak usah khawatir. Saya udah sering begini, waktu masih kecil malah lebih parah. Habis dipukulin Bapak, bengkaknya bisa sampai dua minggu. Tapi tenang aja, biasanya sembuh sendiri.”
“Tapi—”
“Dan biasanya kalau abis dipukul gitu saya memang agak demam, tapi minum obat penurun panas juga langsung reda. Ini saya belum minum lagi obatnya, jadi masih kerasa sumeng. Mama dulu bilang, demam itu pertanda bahwa tubuh saya lagi bertambah kuat. Saya malah khawatir kalau abis dipukulin enggak demam.”
“Tapi ….”
“Sudah, ya—”
“ … kamu begitu karena saya. Saya yang bikin kamu babak belur.”
Reivan mengangguk. “Memang sudah seharusnya, kan? Kalau bukan saya, siapa lagi yang mau belain kamu? Saya suami kamu.”
Kadang aku ingin bertanya langsung kepada Tuhan, untuk tujuan apa Ia menciptakan lelaki sebaik Reivan. Mengapa Ia menjodohkan lelaki berhati malaikat seperti itu untuk seorang perempuan tak tahu diri sepertiku? Mengapa, dari sekian banyak orang di dunia, mengapa kami yang ditakdirkan harus bersama? Saat kecil Reivan sudah kenyang terluka, bukankah seharusnya kini ia bahagia?
“Ishana, jangan bengong! Hape saya bunyi, saya mau angkat telepon dulu.”
Reivan buru-buru keluar kamar mandi lalu kembali dengan ponsel menempel di pipinya.
“Hape Ishana?”
Aku menoleh saat mendengar Reivan menyebut namaku.
“Oo … kayaknya habis batere, Bang. Ada, lagi … lagi di kamar mandi. Kenapa? Oh! Tapi pesawat kami baru berangkat jam dua siang, perkiraan sampai Bandung malam. Iya nanti saya sampaikan ke Ishana.”
“Kenapa?” Aku bertanya setelah yakin Reivan tidak sedang berbicara.
“Hape kamu mati?”
“Iya. Sengaja aku matiin. Dari kemarin Mama sama Bang Hadi neleponin terus soalnya. Di telepon marah, nanti ketemu juga pasti marah lagi, lebih baik marahnya nanti aja—”
“Ishana … papamu kritis.” []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2