Novel : Room for Two Bab 32: Balada sang Waktu
Menurutku, arah perputaran waktu selalu merupakan kebalikan dari keinginan manusia. Saat kita menginginkan waktu berjalan lebih lambat, waktu malah seakan-akan berlari lebih cepat. Namun, saat kita mengharapkan sebaliknya, waktu selalu terasa berputar makin lambat.
Masih jadi misteri mengapa waktu tidak bisa melangkah bersisian dengan harapan manusia. Yang pasti, waktu yang telah berlalu tidak mungkin akan kembali. Sekeras apa pun aku berusaha, waktu tetap bergerak maju, tak mau berhenti. Waktu tak mau tahu apa yang telah ia tinggalkan di belakangnya, apakah itu harapan, atau justru penyesalan.
Begitulah kemudian yang terjadi kepadaku. Setelah mendengar kabar dari Bang Hadi yang disampaikan oleh Reivan, aku berusaha mengejar waktu. Kunyalakan ponsel, kubaca kabar berita yang seharusnya telah kuketahui beberapa jam lebih awal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Papa masuk ICU. Papa kritis. Papa tidak sadar.
Meski ingin memburu-buru waktu, tetap saja pada akhirnya waktulah yang memaksaku menyesuaikan diri. Kepulanganku ke Bandung pun, mau tidak mau, harus diselaraskan dengan banyak waktu; waktu keberangkatan pesawat, waktu kedatangan di bandara, waktu menaiki kereta cepat, waktu tiba di stasiun, hingga waktu perjalanan ke rumah sakit.
Akan tetapi, waktu memang tidak pernah datang terlambat. Ia selalu memastikan segala sesuatu terjadi tepat pada saatnya. Bahkan meski aku memohon sekalipun, waktu tetap bergerak maju, tak mau berhenti.
Waktu tak pernah mau tahu apa yang telah ia tinggalkan di belakangnya, apakah itu harapan, ataukah penyesalan … seperti yang kurasakan.
Kurasa sia-sia saja memohon maaf dari Papa, karena aku tak pernah punya waktu untuk menemuinya. Tak akan pernah punya. Dan selamanya aku akan hidup bersama perasaan bersalah itu. Dan selamanya adalah satu-satunya hal yang takkan pernah bisa terukur oleh waktu.
***
Aku sudah terlalu banyak menangis. Aku menangis saat mendengar kabar Papa kritis, aku menangis saat menunggu pesawat yang tak kunjung lepas landas, aku menangis saat tak sempat menjumpai Papa di saat-saat terakhirnya. Namun, aku tidak menangis saat peti Papa masuk ke lubang kuburnya.
Saat tanah merah pertama dijatuhkan ke atas peti, aku tidak menangis. Saat kelopak-kelopak daun berjatuhan mewarnai makamnya, aku tidak menangis. Saat berjalan pulang meninggalkan area pemakaman, aku tidak menangis. Aku tidak bisa menangis. Aku tidak bisa berpikir, aku tidak bisa merasa. Aku hanya bisa diam.
Aku diam saat Mama menyesalkan sikap bodohku. Aku diam saat Bang Hadi memaki-maki kelakuan minusku. Aku diam saat mereka menyebutku sebagai penyebab kepergian Papa. Mereka bilang seharusnya hidupku mudah, tinggal jalani saja semua yang dititahkan, jangan banyak ulah, tidak usah banyak tingkah, jadilah anak yang penurut.
Maka aku jalan ketika mereka menyuruhku jalan. Aku makan ketika mereka menyuruhku makan. Aku tidur ketika mereka menyuruhku tidur. Aku menuruti semua yang mereka inginkan. Aku mengikuti segala yang mereka titahkan. Tapi … ketika mereka menyuruhku berpisah dari Reivan ….
Setelah kehilangan Alston, lalu kehilangan Papa … sungguh aku tidak sanggup jika harus kehilangan Reivan juga. Kenapa harus semuanya? Padahal hubungan kami sudah baik-baik saja, padahal Reivan juga sudah bilang kalau dia cinta, aku pun sudah mengakui hal yang sama kepadanya. Namun, jika mereka memaksa, apa boleh buat.
Kurasa sebelum semua itu terjadi, lebih baik aku saja yang pergi.
***
“Stres berlebih dapat berakibat buruk bagi kandungannya ….”
“Dia minum obat keras terlalu banyak ….”
“… kondisi ibunya jelas tidak sehat ….”
“… kandungannya tidak terlalu kuat ….”
“Reivan mau pertahankan pernikahan ini ….”
“… kamu bukan ayahnya ….”
“Ayahnya sudah titip Ishana ….”
“… ini keputusan Reivan.”
Aku mendengar suara-suara dalam tidurku. Suara itu datang silih berganti, mengetuk gendang telingaku berkali-kali. Pada akhirnya, suara-suara itu membuatku terjaga.
Hal pertama yang kulihat adalah layar teve yang menyala. Berikutnya, kusadari ada tirai yang bergoyang perlahan dipermainkan angin. Di balik tirai itu, kudengar beberapa suara saling menyahut. Suara-suara itu kukenali sebagai suara milik Reivan, Mama, dan Bu Nawang.
“Coba pikirkan lagi,” kata Bu Nawang. “Ibu enggak mau kamu menyesal nantinya.”
“Mbak Nawang, gimana kalau kita serahkan saja semuanya ke anak-anak—”
“Iya, Tri, Mbak setuju. Tapi Mbak kepingin anak Mbak berpikir dengan jernih, dia sudah dimanfaatkan selama ini, uangnya, tenaganya, pikirannya … bahkan sampai fisiknya! Anak saya mana pernah saya biarkan sampai babak belur begitu—”
“Bu! Reivan sudah putuskan, Reivan enggak akan bercerai sama Ishana. Titik. Tolong Ibu hormati keputusan Reivan. Pernikahan ini juga, kan, dulu kemauan Ibu—”
“Tapi bukan untuk dijadikan main-mainan seperti ini, Reivan! Ibu sayang sama Hana, Ibu lebih sayang lagi sama kamu! Ibu tahu gimana sulitnya kehidupan kamu waktu kecil, kamu berhak bahagia, Nak!”
Halaman : 1 2 Selanjutnya