Reivan tertawa lagi lalu membiarkanku mencari posisi nyaman dengan menyenderkan kepala ke dadanya. Ia membelai rambutku menggunakan tangan kanan sementara aku memainkan jemari tangan kirinya yang melingkari perutku yang mulai membesar.
“Tau enggak, kok tiba-tiba aku kepingin makan gelato, ya?”
“Gelato? Kamu ngidam?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku mengangkat bahu.
“Besok, yuk. Ke tempat yang waktu itu, mau? Sekalian ngerayain ulang tahun pernikahan kita yang … masih dua mingguan lagi, sih.”
Aku tertawa sebentar sebelum berkata, “Mau-mau!” Setelah itu kudekati Reivan dan kukecup pipinya berulang kali.
“Buat apa ini?”
“Ucapan terima kasih.”
“Ucapan terima kasih bukan kayak gitu,” sahutnya, “tapi gini.”
Reivan menempelkan bibirnya ke bibirku lalu mengecupnya dengan penuh kelembutan. Dalam sekejap, kecupan yang penuh kehangatan itu berganti menjadi lenguhan, lalu berakhir dengan peluh penuh kenikmatan.
***
Aku terbangun karena rasa mulas yang meremas-remas perutku. Saat itu hari masih pagi, bahkan terlalu pagi karena Reivan pun belum bangun untuk melakukan rutinitas lari keliling kompleks. Dengan mata yang masih mengantuk, aku berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Namun, rasa kantukku hilang ketika kutemukan flek kemerahan memanjang di pakaian dalamku.
“Van! Reivan!”
Karena yang kupanggil tak kunjung bangun, aku bergegas menghampiri Reivan. Saat itu rasa melilit di perutku menjadi-jadi.
Melihatku membungkuk sambil memegangi perut, Reivan pun langsung meloncat dari posisi tidur. Tampaknya ia melewati tahapan “mengumpulkan nyawa” dan langsung siaga ke posisi terjaga.
“Sakit banget? Kita ke rumah sakit, ya, sekarang. Kamu bisa jalan?”
Aku menggeleng sambil meremas tangan Reivan. Sakit seperti itu belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti nyeri haid, tapi dengan skala yang berlipat-lipat ganda.
Reivan menyuruhku menunggu. Selama masa-masa tunggu itu kurasakan ada sesuatu yang menggumpal keluar dari jalan lahir. Perasaanku langsung tidak enak.
“Reivan!”
Yang datang kemudian bukannya Reivan, melainkan Bu Lia. Dengan wajah masih mengantuk ia tergopoh-gopoh mendatangiku.
“Kenapa, Neng? Mana yang sakit?”
“Perut bawah.”
“Ya ampun, Neng!”
Kepanikan dan ketakutan yang tersirat dari suara Bu Lia membuatku yakin, bahwa perasaan tidak enak yang melandaku bukanlah kebetulan belaka. Pasti ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang buruk. Aku tidak berani memikirkannya apalagi menunduk untuk memastikannya.
“Mobilnya udah siap ….”
“Kenapa? Kenapa?! Reivan kenapa muka kamu kayak gitu?”
“Bu Lia ikut saya ke rumah sakit!”
Tanpa bertanya apakah aku mau diperlakukan seperti itu, Reivan langsung membopongku. Bersamaan dengan itu, nyeri yang begitu luar biasa kembali menyerang perutku.
“Sakit banget!”
“Sebentar, tahan dulu. Kita ke IGD,” kata Reivan sambil terengah-engah.
Sepuluh menit kemudian, aku meringkuk di kursi belakang ditemani Bu Lia, sementara Reivan menyetir dengan kecepatan yang membabi buta. Tidak kuhitung berapa lama perjalanan kami menuju rumah sakit, yang jelas sepanjang masa itu nyeri yang kurasakan tidak berkurang sama sekali.
Begitu tiba di IGD, Reivan langsung berlari meminta bantuan. Tidak lama kemudian, seorang perawat berjalan cepat menuju mobil sambil mendorong kursi roda. Bersama Reivan ia mendudukkanku ke kursi itu, kemudian aku dibawa ke tempat pemeriksaan bertriase merah. Tidak butuh waktu lama, seorang dokter perempuan muda datang dan melakukan pemeriksaan.
“Bapak,”—dokter itu bicara kepada Reivan—”maaf, janin di kandungan Ibu sudah tidak ada detak jantungnya. Saya sudah coba periksa berulang kali, hasilnya sama. Kehamilan Ibu tidak bisa diselamatkan. Demi kesehatan dan keselamatan Ibu, kami harus segera melakukan tindakan. Mohon disetujui.”
Bu Lia, yang berdiri di samping kasur yang kutiduri, langsung menangis tersedu-sedu. Sementara Reivan, ia mematung. Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya. Ia juga tidak merespons ketika aku meremas tangannya. Entah mengapa aku melakukan itu, mungkin aku hanya ingin membuat Reivan merasakan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh tangan-tangan tak kasatmata yang sedang meremas-remas hatiku.
“Bapak, bagaimana?”
Reivan menoleh ke arahku. Ia mengerjap beberapa kali lalu berdeham membersihkan tenggorokannya, sebelum kemudian berkata dengan suara amat pelan, “Maaf.” []
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel
Halaman : 1 2