Novel : Room for Two Bab 35 (TAMAT): Satu Ruang untuk Dua Orang
Kepergian Sarah mengubah banyak hal dalam hidupku dan Reivan. Bukan hanya kami jadi lebih saling menyayangi, tetapi kami juga jadi makin saling memahami. Di sisi lain, aku berusaha mendewasa, sekaligus berupaya memantaskan diri untuk Reivan yang teramat baik hati.
Di tengah suasana duka yang masih terasa, datanglah hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Sesuai janjinya, Reivan mengajakku makan gelato—meski setelahnya ia dilanda perasaan bersalah yang tidak kuketahui apa penyebabnya.
“Aku enggak bermaksud bersukacita di atas kedukaan kamu,” jawabnya ketika kutanya apa alasan di balik sikap murungnya itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal aku mulai baik-baik saja. Aku juga bahagia dengan perhatian dan kasih sayang yang kuterima darinya. Namun, rupanya kebahagiaanku itu tidak valid jika hanya aku yang merasakannya.
“Aku seneng, kok, diajak makan gelato di sini. Tenang aja, aku enggak ngerasa kamu lagi bersukacita di atas kedukaanku, karena aku sedang belajar untuk enggak berduka terlalu lama. Itu yang pertama. Yang kedua, yang bersukacita, kan, bukan cuma kamu, tapi aku juga. Aku happy banget bisa jalan bareng suami yang tampan, rupawan, mapan, dermawan, sabar-wan, penyayang-wan ….”
Reivan tersenyum mendengar kata-kataku. “Jadi gini, ya, rasanya digombalin istri sendiri. Bikin klepek-klepek. Kamu lagi mau apa, sih? Aku beliin.”
Kali itu giliranku yang tertawa. “Wah, bisa cepet kaya, dong, aku, kalau tiap kasih pujian langsung dibeliin segala macem sama kamu. Jujur aja aku lagi enggak kepingin dibeliin apa-apa … eh, tapi aku tahu, aku tahu! Aku tahu apa yang aku mau.”
“Kamu mau apa?”
“Aku mau kenalan sama Bapak, sama ayah kamu.”
Raut wajah Reivan yang ceria berubah sendu seketika.
***
Pertemuan yang kuinginkan itu akhirnya terwujud juga. Reivan membawaku ke sebuah lapas yang terletak di Jalan Jakarta, Bandung. Itulah kali pertama dalam hidupku, aku mengunjungi lembaga pemasyarakatan.
Setelah mengikuti prosedur yang amat panjang—pendaftaran kunjungan, pemeriksaan barang bawaan, dan penggeledahan badan—akhirnya aku dan Reivan bisa memasuki ruang kunjungan. Yang kusebut ruang kunjungan adalah sebuah ruangan besar dengan beberapa meja dan kursi kayu. Meja-meja itu ditaruh berjajar dengan dua kursi panjang yang dibuat saling berhadapan.
Masa-masa menunggu membuatku gelisah, tetapi kegelisahanku itu mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang dirasakan Reivan. Setelah sekian tahun tidak bertemu, aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa pertemuan Reivan dengan ayah kandungnya itu.
“Reivan?” Suara itu datang dari balik punggung kami.
Aku dan Reivan serempak menoleh ke belakang. Dan di sanalah, berdiri seorang pria tua bertubuh tinggi dan kurus. Kulitnya yang kering keriput bercorak titik-titik borok yang mengering. Rambutnya yang lebat telah memutih seluruhnya. Ia membungkuk lalu menyipit, seakan-akan memastikan sosok yang sedang duduk di depannya adalah orang yang mungkin telah lama ia nanti-nantikan.
Tak lama berselang, pria tua itu tersenyum kepada Reivan. Wajahnya berlinang air mata. Dari senyumannya itu, aku bisa melihat ketampanan Reivan berasal dari siapa.
“Bapak.”
Hanya itu, hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Reivan. Selebihnya suamiku itu hanya menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. Mereka tidak saling bicara, hanya saling merangkul dan mengelus punggung masing-masing. Barulah setelah puas meluapkan kerinduan, mereka bisa saling melepaskan.
“Bapak.” Aku mengangguk takzim lalu menyalami tangan ayah mertuaku.
“Ini siapa? Istrimu, Van? Syukurlah, syukurlah. Syukurlah,” katanya berulang-ulang. Ayah mertuaku itu memeluk tubuhku lalu mencium keningku. Air matanya membasahi pipiku.
“Maaf Reivan baru bisa jenguk Bapak—”
“Jangan! Jangan minta maaf! Bapak yang salah. Bapak di sini untuk menebus dosa-dosa Bapak, sama kamu, sama ibumu, sama adikmu. Bisa lihat kamu hidup mapan, berkecukupan, dan bahagia saja sudah bikin hati Bapak plong, rasanya satu kesalahan Bapak diampuni Tuhan. Bilang terima kasih sama Bu Nawang. Terima kasih banyak sudah menyelamatkan kamu dari Bapak.”
Reivan terisak-isak di sebelahku. Aku menggenggam tangannya, berusaha memberinya kekuatan.
Waktu 30 menit yang kami miliki berlalu sekejap mata. Ketika sipir mengumumkan bahwa waktu kunjungan tersisa 10 menit lagi, aku buru-buru memberikan satu buah kue untuk Bapak—hanya itu yang mereka izinkan untuk kubawa masuk ke ruang kunjungan. Reivan, tampak berat meninggalkan ayahnya, berulang kali membuka mulut untuk bicara. Namun, tak juga ada kata-kata yang keluar dari sana. Ketika kebetulan kami bersitatap, aku mengangguk kepadanya.
“Kurasa kamu harus mengatakan apa pun yang ada di pikiranmu.”
Reivan mengiyakan kata-kataku lalu bicara, “Bapak, Reivan memang marah dan kecewa sama Bapak karena sikap kasar Bapak ke Mama. Tapi Reivan sudah memaafkan Bapak. Sekarang Reivan yang minta maaf karena bukan Bapak yang bikin Mama sama Resti enggak ada. Itu kesalahan Reivan. Kenapa Bapak—”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya