“Itu kemauan Bapak, Reivan, itu cara Bapak menebus dosa Bapak sama kalian. Musibah yang terjadi waktu itu, semuanya berawal dari Bapak, bukan kesalahan kamu. Segini saja Bapak bersyukur karena kamu masih mau bertemu. Terima kasih, Reivan. Kamu harus hidup jadi laki-laki yang lebih baik dari Bapak.”
Reivan kembali memeluk ayahnya. Hari itu, melihat Reivan bisa berdamai dengan masa lalunya, kurasa kebahagiaanku makin sempurna.
***
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski tidak lagi mengandung, aku memutuskan tidak kembali ke Sebar Kabar Benar, setidaknya untuk sementara waktu sampai aku bosan. Untuk mengganti rutinitasku, aku memilih menikmati keseharianku sebagai ibu rumah tangga, sekaligus sebagai penulis lepas di beberapa portal kepenulisan. Kebetulan, di saat yang bersamaan, aku menemukan hobi baru yaitu menulis cerita.
Menulis ternyata melegakan. Aku tidak hanya bisa menumpahkan isi hatiku, tetapi juga bisa mengosongkan isi pikiranku yang penuh dengan monolog-monolog tak berkesudahan. Mulanya hanya sebaris atau dua baris kalimat, tetapi kemudian memanjang menjadi satu paragraf dan berakhir menjadi sebuah cerita pendek.
Berangkat dari sana, aku terpikir menuliskan kisah hidupku yang penuh drama. Kutuliskan cerita itu di sebuah portal menulis dan kusamarkan nama-namanya … aku menjadi Sarah, Reivan menjadi Rey, sedangkan Alston tetap dengan namanya sendiri. Sebagai catatan, di cerita karanganku itu tokoh Alston kubuat terkubur hidup-hidup dalam peti mati yang kekecilan—hukuman atas perbuatannya yang kerap mempermainkan perempuan. Di dunia nyata, aku sudah memutus hubungan sama sekali dengan makhluk yang satu itu. Entah apa yang terjadi kepadanya, aku tak tahu dan tak mau tahu.
Seperti biasa, Reivan selalu mendukung kegiatanku. Ia akan membiarkanku menghabiskan waktu-waktu sendirian di malam hari untuk melanjutkan tulisanku. Ia cukup mengerti bahwa konsentrasiku akan penuh saat berada di kesunyian malam. Jadi, sementara aku menulis, ia akan menyibukkan diri dengan kegiatan lain yang tidak melibatkanku.
Akan tetapi, tentu saja, hal itu tidak berlangsung setiap malam. Ada kalanya Reivan membutuhkan perhatian, seperti yang kualami malam itu. Reivan—sudah melepas t-shirt dan hanya mengenakan kaus dalam, memamerkan tato RV di punggungnya—tiba-tiba duduk di sampingku.
“Kamu lagi sibuk, ya?” tanyanya, seakan-akan aku yang duduk di kasur di sebelahnya tidak sedang fokus mengetik, melainkan sedang asyik bermain ular tangga.
Segera kuhentikan jari-jemariku yang sedang menari lincah di papan kibor. “Kenapa?”
“Masih nulis cerita?”
“Masih … kenapa?”
“Udah sampai bab berapa? Lagi nyeritain adegan apa?”
Menyadari ada yang tidak biasa dalam pertanyaan Reivan, segera kututup layar laptop tanpa sempat mematikannya. “Kenapa, kok, tiba-tiba kamu jadi perhatian gitu?”
“Enggak … nanya aja.”
“Tumben, biasanya enggak nanya sampai sedetail itu. Kenapa? Ada apa?”
Reivan menggeliat di kasur, meregangkan lengan ke atas kepalanya. “Siapa tahu kamu butuh bantuan, gitu ….”
“Maksudnya? Sejak kapan aku butuh bantuan kamu buat nulis cerita? Aneh-aneh aja.” Kuperhatikan wajah Reivan yang mengulum senyum. Sikapnya benar-benar mencurigakan. “Ih, kamu kenapa? Ada apa, sih?”
“Aku penasaran, dua karakter utama di tokohmu sudah berbaikan, kan? Kayak kita?”
“Iya.”
“Oke … jadi mereka sudah jadi pasangan suami istri seutuhnya, kan?”
“Iya … terus? Aku enggak nangkep arah pembicaraanmu ini ke mana.”
“Barangkali … barangkali kamu butuh inspirasi untuk adegan mesranya, gitu, aku bisa bantu kasih visualisasinya.”
Aku tertawa kecil mendengar ucapan Reivan. “Maksud kamu?”
“Ya … siapa tahu kamu mentok pas nulis adegan mesra, aku bisa bantu kasih kamu rangsangan dengan tahapan-tahapan yang sistematis, supaya nanti terbayang di kepalamu, gimana caranya membuat kedua tokoh utama itu bisa berinteraksi romantis secara natural sebagai pasangan yang baru berbaikan—”
“Aduh, intinya aja, deh!”
“Kita bikin adegan romantis, yuk?”
“Di tulisan?”
“Bukan, dong. Live action.”
“Apa?”
“Ayo … aku, kamu …. Kita ….”
Reivan memberiku kode-kode lewat gerakan jari tangannya yang langsung kupahami dalam sekejap mata.
“Reivan, dokter bilang aku belum boleh—”
“Banyak jalan menuju Roma, Sayang. Yuk, malam ini kita visualisasikan dan realisasikan adegan romantisnya.”
Aku melihat jam di dinding, masih terlalu sore untuk dikategorikan malam hari. “Sekarang?”
“Iya, sekarang.”
Aku menyingkirkan laptop lalu menarik selimut. Reivan buru-buru ikut masuk ke balik selimut itu sambil melingkarkan lengannya ke pinggangku. Tangannya menangkup wajahku, bibirnya mulai menjelajahi wajahku, mendekat ke bibirku ….
“Tunggu-tunggu-tunggu!” Kusibakkan selimut hingga mata kami langsung terpapar silaunya cahaya lampu kamar. “Aku kelupaan nulis sesuatu.”
“Aduh, harus banget sekarang, ya?”
“Harus! Gawat kalau dinanti-nanti, takut keburu lupa.”
Begitu laptop menyala, segera kutuliskan kata-kata yang terlintas di benakku tadi.
Begitulah Sarah menyadari, bahwa pernikahan adalah bangunan yang didirikan di atas tanah berlandaskan kepercayaan, kesetiaan, dan kesabaran. Begitu masuk ke sebuah rumah yang bernama pernikahan, maka semua pintu dan jendela harus ditutup dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Tidak perlu ada kamar tambahan bagi orang yang sesekali datang, karena sesungguhnya hanya ada satu ruang bagi dua orang yang saling sayang.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya