“Aku udah feeling, sih, pas kamu bilang mau pulang pakai kapal laut dan bukannya pakai pesawat.”
Kudengar suara embusan napas Alston yang begitu kuat, seakan-akan ia sedang digantungi beban yang teramat berat. Dari spion, kuperhatikan raut wajahnya yang semrawut.
“Ibu kamu sakit apa, sih, Bee, sampai harus operasi dan butuh biaya besar gitu?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Alston kembali menghela napas. “Ada komplikasi. Kemarin itu dia harus cepet-cepet dioperasi, kalau enggak nyawanya terancam.”
Kutanya komplikasi apa, Alston enggan menjawab. Kubiarkan saja karena mungkin Alston tidak nyaman membicarakannya.
“Aku harus mulai dari nol lagi sekarang, Hun, karena aku udah enggak punya tabungan.”
“Tapi kamu pegang uang, kan, Bee?”
Mendengar pertanyaanku itu, Alston hanya menyunggingkan senyuman kecut. Lekas-lekas kuingat-ingat jumlah saldo yang tersisa di rekening Reivan. Itu uang belanja, aku tahu, tapi Reivan telah mengizinkanku menggunakannya untuk kebutuhanku. Alston termasuk dalam kategori itu.
Kuparkirkan mobil begitu kami sampai di tujuan. Meski begitu, kami masih melanjutkan percakapan.
“Udah, enggak usah khawatir. Aku akan bantu support keuanganmu sampai kamu normal lagi, Bee.”
Alston menoleh ke arahku. Senyum mulai merekah di wajahnya. “Bener?”
Aku mengangguk sambil menyugar rambut Alston yang berombak. Kasihan sekali, Alston pasti kalut sampai-sampai tidak sempat merawat diri. Ujung-ujung rambutnya yang biasanya rapi telah memanjang sampai menyentuh telinga. Rahang tajamnya yang biasanya bersih kali itu ditumbuhi janggut berumur beberapa hari. Aku mungkin harus membawanya bercukur agar ia kembali tampan seperti sedia kala.
“Iya. Apa, sih, yang enggak buat kamu, Bee?”
“Kamu memang yang terbaik! Love you, Hun.”
“Love you more!”
***
Malamnya, Reivan datang dengan wajah yang sama kusutnya seperti Alston siang tadi. Ia bahkan tidak menyapa ketika berpapasan denganku di ruang makan. Karena khawatir Reivan akan iseng memeriksa rekaman CCTV, aku segera meminta Bu Lia menyiapkan segelas jus pisang susu untuknya. Lalu, kubawakan jus itu ke kamarnya.
Kuketuk pintu kamar Reivan tiga kali. Karena tidak ada jawaban, kuberanikan diri untuk langsung membukanya.
Reivan ada di dalam. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang sambil menghadap jendela yang mengarah ke balkon.
“Iya, aku tahu. Tenang, tenang dulu.”
Aku tidak bermaksud mencuri dengar, tetapi karena aku sudah kadung berada di sana, jadi kudengarkan saja semuanya. Sambil memasang telinga, aku mengawasi layar CCTV yang menampilkan gambar terkini. Ada sembilan blok gambar yang masing-masing menampilkan area yang berbeda. Salah satunya ruang tamu. Tidak ada Alston di sana. Aman.
“Rayna … dengar. Rayna. Hei, dengar. Aku mau ngomong dulu. Aku tahu itu salah, tapi kita akan selesaikan itu bareng-bareng. Aku akan cari solusinya. Kamu tenang dulu. Enggak, enggak. Aku enggak marah, aku kesal, tapi itu enggak akan menyelesaikan masalah.”
Mendengar nama Rayna membuatku menajamkan pendengaran dua kali lipat. Berikutnya, mendengar nada suara Reivan yang lemah lembut dan cara bicaranya yang santai membuat dadaku bergemuruh. Bisa-bisanya dia bilang aku-kamu sama perempuan yang disebut Rayna itu, sementara denganku, yang notabene istrinya, dia malah membahasakan dirinya saya. Cih!
Aku masih menunggu sampai Reivan selesai bertelepon. Namun, Reivan buru-buru menyelsaikan panggilan begitu berbalik badan dan mendapatiku di kamarnya.
“Nanti kita ngobrol lagi,” katanya sebelum kemudian bertanya, “Ada apa?”
Aku menggeleng. “Cuma mau nganterin ini.”
Reivan menerima gelas jus pisang dari tanganku dan berterima kasih sekilas. “Ada lagi?” tanyanya ketika aku tak kunjung pergi.
“Kamu kenapa? Lagi ada masalah di kantor?”
Kening Reivan berkerut, mungkin heran karena tidak biasanya aku bersikap perhatian semacam itu. Jadi langsung kuperjelas saja.
“Cuma nanya, siapa tahu kamu butuh teman cerita. Aku tadi dengar sekilas-sekilas kayaknya ada problem serius. Kalau kamu enggak mau cerita juga enggak apa-apa, bukan urusanku.”
Mungkin karena berusaha menghargaiku, Reivan cepat-cepat menimpali, “Ada kesalahan di barang pesanan yang saya kirimkan untuk customer. Dia pesan meja lab dan ada perbedaan ketinggian permukaan sekitar satu setengah senti. Dia enggak mau terima barangnya. Aku harus ganti.”
Oke … kupikir itu bukan masalah yang terlalu serius, kan? “Dan kamu mau ganti?”
Reivan berdecak. “Mau kalau cuma satu. Masalahnya ada seratus meja. Saya harus produksi ulang sementara waktu kontrak enggak bisa diperpanjang. Masalah berikutnya, meja-meja yang dibalikin itu spesifikasinya enggak umum, jadi enggak mungkin bisa saya jual ke orang lain.”
“Astaga! Jadi sebetulnya itu kesalahan siapa?”
“Bukan siapa-siapa. Salahku. Salah timku.”
“Salah Rayna?”
Pertanyaannku langsung membungkam Reivan. Keheningan yang tiba-tiba datang itu pun membuat suasana menjadi benar-benar tidak nyaman.
Reivan menggigit bibir bawahnya, membuat dekik di pipinya keluar dari persembunyian. Namun, dekik itu segera menghilang seiring kemunculannya yang hanya sesaat.
“Kalau kamu enggak ada yang mau diomongin lagi ….”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya