SEMANGKUK TEMPOYAK BERBUMBU CINTA
Bab 2: Lalai
Usai mengantar Alif ke sekolah, Liza tidak langsung pulang. Ia memiliki janji temu dengan Nilam, teman semasa kuliahnya yang kini berprofesi sebagai Healt and Fitness Vlogger. Pertemuan itu bertujuan untuk mendiskusikan proyek yang akan mereka kerjakan bersama. Rencananya, Liza dan Nilam akan membuat konten kolaborasi berseri yang membahas seputar tip dan trik kecantikan bagi pegiat olahraga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ide bagus, Za. Kolaborasi ini dapat memperluas jangkauan audience kita!” Begitu respons Nilam pada percakapan mereka melalui telepon beberapa hari yang lalu. Ia begitu antusias menyambut gagasan Liza tersebut. Selama bertahun-tahun menggeluti bidang pembuatan konten video, Nilam sudah sering berkolaborasi dengan kreator dari berbagai fokus bidang, tetapi memang belum pernah dengan beauty vlogger.
Sebagai beauty vlogger yang baru “setengah matang”, tidak mudah bagi Liza mendapatkan endorsment ataupun sponsorship dari jenama-jenama besar. Platform media sosialnya masih dalam tahap pertumbuhan dengan jumlah penggemar yang belum terlalu signifikan. Meskipun konten yang ia hasilkan cukup berkualitas, tetapi interaksi dan apresiasi dari penonton masih sangat rendah. Liza sering kali merasa frustrasi melihat betapa sulitnya meningkatkan jumlah tayangan dan pengikut. Padahal, ia sudah berusaha mengikuti tren terbaru. Sebab itulah, Liza bertekad untuk melakukan gebrakan baru, salah satunya dengan cara menggaet konten kreator lain.
Ide kolaborasi bersama konten kreator lintas bidang sebenarnya sudah sejak lama ada di benak Liza. Namun, gagasan itu belum terlaksana karena sulitnya menemukan partner yang pas. Begitu teringat pada Nilam, tanpa ragu Liza langsung menghubunginya dan mengajukan rencana-rencana yang telah ia susun. Gayung bersambut, Nilam menerima tawaran itu dengan penuh minat.
Pertemuan itu bertempat di Sprightly Fitness Center, pusat kebugaran milik Nilam. Jaraknya tidak sampai dua kilometer dari rumah Liza, tetapi berlawanan arah dengan taman kanak-kanak tempat Alif sekolah. Begitu Liza tiba di sana, aktivitas di gedung itu belum dimulai. Bahkan, pintu dan jendelanya masih tertutup rapat. Namun, Liza tahu Nilam sudah menunggunya. Setelah memarkirkan skuter matiknya di area parkir yang tersedia, Liza lantas mendaki tangga spiral di samping bangunan utama yang membawanya langsung ke ruang kerja Nilam di lantai dua.
“Welcome to my little word!” sambut Nilam begitu Liza tiba di depan pintu. Kedua perempuan itu berangkulan dan saling bertukar kabar. Ini merupakan kali pertama mereka bertemu semenjak Liza menikah.
“Kamu ke sini pakai skuter matik, Za?” tanya Nilam. Ia sedikit terkejut melihat Liza yang dulunya selalu bepergian dengan mobil, kini mengendarai kendaraan roda dua. Kendatipun demikian, Nilam berusaha untuk tidak menimbulkan konfrontasi dalam nada suaranya.
“Iya,” jawab Liza sambil merapikan ujung pasminanya yang berantakan akibat tertiup angin selama berkendara tadi.
“Memangnya mobil kamu kenapa?” tanya Nilam lagi. Ia menggiring temannya ke sofa di ujung ruangan.
“Dipakai suami ke tempat kerja, Nil.” Sebisa mungkin Liza menampilkan senyum yang mengisyaratkan pernyataan “aku baik-baik saja”, tetapi sorot mata dan nada suaranya justru menunjukkan sebaliknya.
“Loh, mobil suamimu ke mana?”
“Yang dipakai ke tempat kerja itu mobil dia sendiri, kok.” Lagi-lagi Liza memaksakan senyuman.
Nilam menjatuhkan diri di ujung sofa, lalu dengan isyarat tangan ia mempersilakan Liza duduk. “Maksud kamu, sekarang kalian cuma punya satu mobil?” Ragu-ragu Nilam melontarkan pertanyaan itu. Ia khawatir akan menyinggung perasaan temannya.
Liza mengangguk, kali ini tak kuasa lagi untuk pura-pura tetap tersenyum. Ia duduk di ujung lain sofa dan buru-buru mengeluarkan hand and body lotion dari shoulder bag-nya. Meskipun matahari belum muncul, paparan udara bebas selama berkendara tadi membuat kulitnya terasa kering. Ketika mengoleskan cairan pelembab itu ke bagian tubuhnya yang terbuka, Liza sempat menangkap tatapan simpati dari mata Nilam.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Liza menerima reaksi keprihatinan terhadap perubahan gaya hidupnya, seolah-olah nasibnya kini amat menyedihkan dan patut dikasihani. Dalam pandangan teman-temannya, Liza adalah figur nyata wanita hedonis yang jatuh sengsara setelah menikah. Sekuat apa pun upaya Liza untuk meluruskan kesalahtanggapan itu, tetap saja sia-sia karena memang demikianlah keadaannya secara kasatmata. Padahal, yang terjadi sesungguhnya ia hanya sedang berusaha untuk hidup lebih bersahaja, sesuai dengan cita-cita pernikahannya.
Liza sepenuhnya menyadari, ada hal-hal yang akan dan memang harus berubah setelah seseorang menikah. Sebab itulah, atas nama “dedikasi seluruh hidup dan waktu demi keluarga”, tanpa ragu ia melepaskan pekerjaannya sebagai direktur operasional pada perusahaan pertambangan batu bara milik ayahnya sejak Alif lahir ke dunia. Akibatnya, sumber keuangan keluarga sepenuhnya bergantung dari gaji bulanan Lukman serta toko batik yang dikelola suaminya itu. Sebisa mungkin, Liza berupaya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Meskipun hingga saat ini dirinya masih belum terbiasa.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya