Beberapa hari setelah menjenguk ayahnya, Ayyara janjian dengan Manda untuk makan siang bersama di sebuah kafe dengan konsep modern. Bangunan dua lantai yang desainnya didominasi kaca riben sehingga memberikan nuansa teduh. Ketika kita memasuki ruangan tersebut langsung terasa ademnya.
Ini untuk kali pertama Ayyara datang ke sana. Dia terkagum-kagum begitu memasuki kafe tersebut. Interiornya terlihat sangat elegan. Ruangan besar dengan dominasi kaca riben dan warna putih semakin membuatnya terkesan mewah dan megah.
Meskipun ada area outdoor yang tak kalah menarik, tapi Ayyara dan Manda tetap memilih bagian dalam ruangan. Kafe ini berada di jalan Pajajaran Indah, yang hanya butuh waktu 10 menit saja dari pintu tol Bogor Selatan. Tempat yang tepat untuk direkomendasikan pada para kaum muda milenial. Sangat cocok untuk meeting, mengerjakan tugas kuliah atau sekolah, bahkan untuk sekedar santai bersama teman-teman.
Bagian indoor di lantai satu kafe tersebut dibagi menjadi dua bagian yang berada di sisi kiri dan kanan. Sementara di bagian tengahnya digunakan untuk display makanan yang bersifat prasmanan. Kali ini, Ayyara dan Manda memilih duduk di pojok ruangan yang berada di sisi kanan agar tidak banyak pengunjung lain berlalu lalang. Meskipun demikian, Ayyara masih bisa melihat dengan jelas ke area parkiran karena dinding kafenya terbuat dari kaca.
“Ay, lo lagi happy, ya? Wajah lo berseri-seri banget.” Manda berkomentar saat hidangan makan siangnya sudah tersaji di atas meja.
Ayyara tersenyum mendapat komentar yang sama untuk kesekian kalinya. Sambil bersiap menyuap sup Iga favoritnya, dia berujar, “Alhamdulillah, Man, gue merasa akhir-akhir ini kehidupan rumah tangga gue perlahan membaik.”
“Jadi, foto-foto yang gue kasihin waktu itu nggak jadi masalah, ya?” tanya Manda yang dijawab gelengan kepala oleh Ayyara. “Syukur deh, gue ikut senang dengarnya,” ucapnya semringah.
“Semoga ya, Man … waktu itu gue tanya Mas Aby tentang hubungannya dengan perempuan itu dan dia tetap menjawab bahwa mereka hanya sebatas rekan kerja.”
“Iya, Ay … gue doain rumah tangga lo baik-baik aja. Sebetulnya, secara pribadi gue percaya sama Aby, tapi namanya laki-laki kalau terus-terusan dipepetin cewek cakep, apa iya bisa tahan?” ujar Manda yang berhasil membuat Ayyara tertegun.
Saat melihat sahabatnya terdiam seperti itu, Manda jadi tak enak hati. Dia pun menepuk bibirnya sendiri. Dasar moncong lo, Man! Nggak bisa direm, rutuknya dalam hati.
Ayyara menyesap es kopinya sambil melamun. Pikirannya melayang pada sosok suami yang sudah dikenalnya selama 14 tahun ini. Apa iya, Mas Aby juga akan goyah kalau terus-terusan dideketin gitu? batinnya.
Lamunannya langsung buyar kala dering dari ponsel yang tergelak di atas meja berbunyi. Ayyara melirik ke arah layar ponselnya dan melihat bahwa nama Fathiya muncul di sana. Dia memberikan kode pada Manda untuk meminta izinnya mengangkat panggilan tersebut dan dijawab anggukan oleh sahabatnya itu.
“Iya, Fath, alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana?” Ayyara balik bertanya setelah menjawab salam.
“Alhamdulillah, aku pun baik. Eh, besok aku balik ke Jakarta, tapi cuma dua hari, sih. Gimana, jadi kita ketemuan?” tanya Fathiya dari seberang.
Ayyara pun baru teringat kalau beberapa waktu lalu dia pernah menghubungi sepupunya itu, saat menggebu ingin bercerai dari Abyan.
“Iih, sebentar amat pulangnya?” protes Ayyara.
“Iya, karena kerjaan Kakang nggak bisa ditinggal lama-lama. Ini maksain pulang demi Ibu yang minta kita datang ke nikahan ponakannya.”
“Ponakan dari Om Anwar, ya?” tebak Ayyara karena kalau dari tantenya pasti dia tahu juga bakal ada pesta.
“Iya, anak adiknya Ayah yang di Kalimantan. Kebetulan calon mantunya orang Jakarta,” ungkap Fathiya.
“Oh, gitu. Ya, sudah, nggak apa-apa kalau emang nggak sempet. Kapan-kapan saja kita ketemuan lagi,” tanggap Ayyara dengan suara nyaring.
“Padahal kangen banget pengin ketemuan, tapi apa daya,” ujarnya. “Lagipula, kalau denger dari suara kamu kayaknya udah baik-baik saja, ya?” tebak Fathiya.
Ayyara terkekeh. “Iya, Fath … alhamdulillah, kami sudah lebih baik sekarang. Doain terus, ya.”
“Masyaallah, ikut senang aku. Insyaallah doaku menyertaimu, semoga pernikahanmu bahagia selalu.” ucap Fathiya. “Sudah dulu, ya … besok kalau ada waktu aku telpon kamu lagi.”
Ayyara mengaminkan doa sepupunya itu dengan mata berbinar. Manda yang berada di depannya ikut senyum-senyum kala melihat sahabatnya semringah begitu.
“Ay, mumpung lo lagi happy, gue mau nawarin project bagus buat lo,” ujarnya sesaat setelah Ayyara kembali meletakkan ponselnya di atas meja ketika sambungan telpon sudah terputus.
“Project apaan?” tanya Ayyara sembari mencomot cireng rujak favoritnya.
“Ini, lho … teman gue itu habis nolongin orang yang butuh duit,” ungkapnya mengawali cerita.
Ayyara langsung mengernyitkan kening, meraba-raba project macam apa yang ditawarkan sahabatnya ini.
“Temenku ini beli sebuah pabrik garmen yang nyaris bangkrut. Nah, dia itu nggak cuma beli semua mesin, tapi beserta karyawannya,” urai Manda yang masih disikapi kerutan di dahi Ayyara.
“Terus, hubungannya sama gue apaan?”
“Dia maunya, itu karyawan tetap digaji. Dengan begitu, otomatis harus ada yang dikerjain dong,” ungkap Manda lagi. “Jadi, dia butuh desainer baru yang bisa bantu memproduksi barang yang lebih inovatif dibandingkan produk-produk sebelumnya,” sambung Manda.
“Ooh, maksudnya produk yang dulu-dulu kurang laku di pasaran?” Ayyara menyela omongan Manda.
“Pertama, iya, produknya kurang laku. Yang kedua, manajemen perusahaan yang sebelumnya berantakan karena banyak korupsi di dalamnya. Biasalah, perusahaan warisan keluarga. Mereka cuma bisa menghabiskan uangnya saja, tapi nggak punya kemampuan untuk mengelola. Alhasil, lama-lama ludeslah itu uang.”
Ayyara manggut-manggut. Dia mulai memahami permasalahannya.
“Lo kan, dulunya anak tata busana. Terus, gue lihat lo juga jago desainnya. Makanya, gue coba tawarin kerjaan ini buat lo, gimana?*
Ketika mendapat pertanyaan tersebut bukannya menjawab, Ayyara malah kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
“Sayang, kalau aku kantornya di lantai dua, terus di lantai satunya kamu buka butik, gimana?”
Ayyara mengernyitkan kening mendapat pertanyaan seperti itu. “Ngapain aku buka butik?”
“Ya, nggak apa-apa. Selain memanfaatkan tempat yang kosong, setidaknya kita punya topik yang bisa dijadikan bahan diskusi bersama. Anggap saja butik kamu ini klien pertama aku,” ujar Abyan begitu antusias.
“Ih, nggak, ah. Lagian, nyari nafkah itu kewajiban suami. Tugas aku mah cukup di rumah, ngurusin semua kebutuhan kamu dan anak-anak.” Ayyara menegaskan pendapatnya.
“Iya, sih, apa yang kamu katakan itu memang benar,” sahut Abyan. “Tadinya kupikir, kamu buka butik buat ngisi waktu saat aku sudah ngantor dan anak-anak ke sekolah. Punya aktivitas produktif, tapi tetap bisa dekat-dekat aku,” imbuhnya sambil mesem-mesem.
Ayyara hanya mengernyitkan kening sembari menatapnya heran.
“Ya, sudahlah kalau kamu nggak mau, aku kontrakin ke yang lain saja!” ujarnya seyara berjarak pergi meninggalkan Ayyara dengan wajah cemberut. Aku sudah selalu ngikutin apa mau kamu, tepi kamu nggak mau ngertiin aku, gerutu Abyan dalam hati.
Saat itu, Abyan baru saja resign dari perusahaan sebelumnya. Hal ini terjadi karena dirinya kembali terkena rumor wanita idaman lain. Kemudian, atas usulan Ayyara, dia pun membuka perusahaan konsultan bisnis sendiri, walaupun masih kecil-kecilan.
Lokasi kantor Abyan itu di ruko-ruko yang berada di komplek perumahan Pak Bagja. Secara posisi, gedung tersebut panggung-panggungan dengan rumah sang mertua. Meskipun untuk masuknya tidak bisa langsung lewat pintu belakang. Ayyara tetap harus memutar arah, masuk lewat jalan komplek di samping gedung tersebut.
Seiring berjalannya waktu, perusahaan baru Abyan mengalami kemajuan pesat. Banyak klien yang dulu pernah dilayani saat masih bekerja di perusahaan sebelumnya, berpindah ke perusahaannya.
Sementara itu, meskipun Ayyara tidak jadi membuka butik, tapi di lantai satu gedung tersebut tetap ada sebuah butik milik orang lain. Awalnya, semua berjalan lancar. Istri Abyan itu sering juga datang ke kantor tersebut, meski hanya sekedar lewat karena tujuan utamanya tentu saja rumah ayahnya sendiri. Dia bisa ikut merawat sang ayah di kala waktu kosong saat menunggu anak-anak pulang sekolah.
Sampai suatu hari, entah kenapa secara tiba-tiba Ayyara iseng mengecek rekaman kamera CCTV di kantor sang suami. Jadi, gedung dua lantai itu, tangga naiknya berada di luar gedung. Itu menjadi salah satu alasan juga kenapa Abyan mengontrakkan pada orang lain. Aktivitas orang yang keluar-masuk kantornya tidak akan menganggu penghuni di lantai satu.
Selain itu, di sebelah kantor suaminya tersebut masih ada satu kamar yang ukurannya cukup luas dan dikontrakan juga pada orang lain. Awalnya, semua itu tampak tak ada yang mencurigakan hingga tiba pada rekaman persis di depan kantor suaminya.
Mata Ayyara langsung melotot, tangannya gemetaran. Jantungnya berdegung kencang saat melihat perempuan muda keluar dari kantor suami dengan mengenakan hotpants dan tanktop ketat yang bagian lehernya sangat terbuka. Kemudian, orang tersebut masuk ke kamar di sebelah kantor suaminya ini.
Ayyara terkesima untuk beberapa saat. Dia tak bisa berkata-kata, lidahnya seakan kelu. Dadanya terasa sesak menahan gejolak di dalam hatinya. Kenapa ujian dalam pernikahannya itu selalu perempuan lain yang datang menghampiri sang suami?
“Ay … Ay …!” Manda sedikit meninggikan suara karena sahabatnya itu ditanya bukannya menjawab malah melamun.
“Eh, iya, sorry … lo tanya apa barusan?” tanya Ayyara sedikit tergagap.
“Soal tawaran gue tadi, gimana? Lo mau ambil?” Manda mengulang pertanyaannya.
Ayyara tersenyum. Mungkin kabar ini akan membuat Mas Aby lebih senang, batin Ayyara. Semoga bisa membayar hutangku akan keinginan Mas Aby dulu, doanya penuh harap.
Perempuan beranak dua itu kembali meraih dan menyerap es kopinya yang merupakan paduan dari cold brew—kopi yang metode penyeduhannya menggunakan air dingin—dengan apel, mawar dan avage—sejenis tanaman sukulen yang bisa dimanfaatkan sebagai pemanis pengganti gula.
“Aku tanya ke Mas Aby dulu, ya,” jawab Ayyara masih dengan bibir tersenyum memandang Manda yang tiba-tiba melotot.
Uhuk!
Dia nyaris terdesak kala matanya memandang ke dinding kaca di sebelahnya.
“Lo kenapa, Man?”
Dibaca: 133
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow