Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 16 )
Keesokan harinya, Ayyara kembali diliputi kebimbangan. Dia ingin sekali mengajukan pertanyaan tentang kebersamaan suaminya dengan Lidya kemarin siang, tapi melihat wajah Abyan yang berseri-seri membuatnya ragu.
“Zay sudah siap?” tanya Abyan yang dijawab anggukan kepala oleh Zayyan, saat mereka masih di meja makan setelah menikmati sarapan paginya.
Zayyan kemudian turun dari kursi, berjalan menunju wastafel untuk mencuci piring bekas sarapan dia dan adiknya.
“Sayang, pagi ini aku aja yang antar anak-anak sekolah, ya,” tawa Abyan pada sang istri.
“Yeey, asyiik … akhirnya bisa diantar Ayah lagi!” pekik Tsabita.
Ayyara ikut senyum-senyum melihat reaksi Tsabita. Gadis kecil itu turun dari kursi, bersiap mengambil tasnya yang masih berada di kamar. Zayyan pun ikut menyusul sang adik menaiki tangga menuju kamarnya.
“Mas memang nggak ke kantor?” tanya Ayyara.
“Ke kantor, nanti siang. Paginya aku ada meeting dulu, tapi masih di daerah Bogor,” jawab Abyan sambil menoleh ke samping.
Matanya memandang sang istri dengan tatapan yang membuatnya salah tingkah. Apalagi lelaki itu
tersenyum menggoda, menggigit bibir bagian bawah sambil menaikkan sebelah alisnya. Ibu dua anak ini langsung teringat sentuhan Abyan tadi malam hingga dirinya semakin tersipu malu.
“Ayo, Yah … kita sudah siap,” ajak Zayyan yang sudah kembali bersama sang adik.
Abyan bangkit dari kursi. Sebelum beranjak pergi, menyusul anak-anaknya yang sudah jalan duluan menuju garasi, dia masih sempat mengecup sekilas bibir istrinya, “Nanti malem lagi, ya.” Abyan menggoda sang istri sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ayyara langsung bergidik. Kenapa Mas Aby jadi sering godain aku begitu, ya? Apa untuk menutupi rasa salahnya? Dia bergumam sambil berjalan menuju lantai 2.
Sepeninggal suami dan anak-anaknya, Ayyara segera bergant baju. Sebelumnya, dia sudah siap dengan pakaian rapi karena harus mengantar Zayyan dan Tsabita ke sekolah. Berhubung sang suami menggantikannya, ibu dua anak ini memutuskan untuk kembali mengenakan pakaian kebesaran selama di rumah. Daster selutut jadi pilihannya kali ini.
Ayyara menggelung rambutnya menggunakan jepitan yang berbentuk klip sehingga gelungannya bisa bertahan lama di atas kepala. Kemudian, dia kembali ke dapur, menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan setelah masak untuk sarapan tadi.
Setelah lebih dari 30 menit, terdengar salam dari Abyan yang baru kembali dari sekolah anak-anaknya.
“Yang, di mana kamu?” teriaknya mencari Ayyara.
“Di dapur, Mas,” jawab Ayyara tanpa menghentikan aktivitasnya menyiapkan beberapa bahan masakan.
Abyan langsung menuju dapur. Begitu sampai, dia berdiri di ambang pintu untuk beberapa saat, memandangi tampilan istrinya dari belakang. Dengan model rambut yang diangkat ke atas seperti itu, membuatnya senyum-senyum sendiri. Lelaki ini kembali teringat akan perjumpaan pertama dengan Ayyara yang membuatnya jatuh cinta.
Sekarang istrinya sudah berjilbab, berarti hanya dia seorang yang bisa menikmati keindahan leher jenjangnya Ayyara. Masih dengan bibir tersenyum, Abyan berjalan perlahan menghampirinya.
“Astaghfirullah … Mas Aby! Bikin kaget saja.” Ayyara terperanjat karena tiba-tiba Abyan memeluknya dari belakang.
“Salah sendiri kamu menggoda aku,” dalih Abyan sambil mengeratkan pelukannya. Dia pun mulai mengendus-enduskan hidungnya, menciumi aroma harum di leher Ayyara.
“Iih, geli, Mas,” protes Ayyara sambil kepala dan tubuhnya bergerak-gerak karena kegelian.
Dia tidak bisa menghindari keisengan sang suami karena tangannya tengah sibuk memarinasi filet paha ayam untuk stok makanan. Sedangkan Abyan, pura-pura tak peduli pada protesnya Ayyara, malah semakin menyengajakan perbuatannya itu.
“Mas, kemarin, jadi bawa temannya ke dokter?”
“Hmm.” Hanya itu kata yang keluar dari bibir Abyan.
“Nama temannya Lidya?” tanya Ayyara lagi masih dengan nada suara datar.
“Eh, kok, kamu tahu?” Dia balik bertanya, tanpa menghentikan keisengannya mencium-cium leher sang istri.
“Ada temen yang lihat, terus tanya ke aku, siapa perempuan itu?” jawab Ayyara sambil menoleh ke samping yang langsung dimanfaatkan Abyan untuk mengecup singkat bibir istrinya.
Dia terkekeh saat melihat Ayyara terkejut atas ulahnya.
“Terus, pagi ini, meeting sama dia lagi?” tanya Ayyara sedikit ketus
Kali ini pertanyaan Ayyara menghentikan aktivitas Abyan. Dia melepaskan pelukan pada Ayyara. Ekspresi wajahnya langsung berubah. “Harusnya iya, tapi kan, dianya sakit.”
“Kalau dia sakit kenapa kamu masih tetap meeting?”
Abyan menghela napas. “Maksud pertanyaanmu apa, sih?” Nada suaranya terdengar tak suka.
“Iya kan, kamu bilang pagi ini mau meeting sama Lidya, tapi nggak bisa karena dia sakit. Terus, kamu tetap mau pergi, ngapain? Ngerawat dia?” tuduh Ayyara yang suaranya terdengar mulai bergetar menahan tangis.
“Ya, ampun, Ay … kamu ….” Abyan menggantung kalimatnya. “Aaah, sudahlah!” sergahnya sembari berjalan menjauhi Ayyara yang sekarang sudah mencuci tangan dan menyelesaikan pekerjaannya.
“Mas, aku kan, cuma mau kamu jujur,” ungkap Ayyara sambil memutar badannya dan berjalan mendekati Abyan yang masih berdiri di dekat meja makan.
“Ay, memang kapan aku nggak jujur sama kamu?” tanya Abyan dengan tegas.
“Itu, kamu selalu bilang urusan kerjaan, nyatanya malah pergi bareng Lidya,” sindir Ayyara.
“Lho, memang iya urusan kerjaan, kok? Pertanyaan kamu tadi, kenapa aku tetap meeting, meskipun Lidya sakit? Ya, karena nggak cuma dia yang terlibat dalam kerjaan ini, masih ada tim aku dan tim dia juga,” urainya.
“Tapi kenapa harus pergi berduaan terus sama dia doang?” tanya Ayyara makin sewot.
“Kamu tahu dari mana kalau aku pergi berduaan terus? Apa buktinya?” tantang Abyan.
“Waktu dulu harusnya jemput aku dari rumah sakit, terus kemarin? Ini yang ketahuan, mana tahu selian itu ada juga,” sahut Ayyara masih dengan nada tinggi.
Abyan memutar bola matanya ke atas seraya menghela napas. Namun, belum sempat dia menjawab, tiba-tiba ponsel Ayyara yang tergelak di atas meja makan, berdering.
Kedua orang ini menoleh bersamaan, menatap layar ponsel Ayyara. Saat nama Dhandhan muncul di layar sebagai orang yang melakukan panggilan suara.
“Iya, Dhan, ada apa?” tanya Ayyara setelah menjawab salam ketika sambungan telepon telah terhubung.
Abyan menatap istrinya yang sedang menyimak ucapan adik laki-lakinya dari seberang.
“Mbak, bisa cepetan ke rumah, ya, Papa tiba-tiba ngedrop,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Hah, kenapa Papa? Eh, ya, sudah, Mbak langsung ke sana saja.” Ayyara menutup telponnya.
Abyan ikut panik melihat istrinya gelisah seperti itu. “Papa kenapa, Yang?”
“Nggak tahu, tapi aku harus ke sana sekarang. Katanya Papa tiba-tiba drop,” ucap Ayyara dengan suara tercekat menahan tangis. Tiba-tiba pikirannya melayang ke mana-mana.
Ketika melihat istrinya seperti itu, Abyan langsung memeluknya. “Kamu tenang, ya. Insyaallah Papa nggak apa-apa,” ucapnya. “Sekarang, kamu ganti baju dulu. Nanti, aku anterin ke rumah Papa.”
“Mas bukannya ada meeting?”
“Sudah, nggak usah mikirin itu. Urusan Papa lebih penting. Lagipula, bukannya kita sudah niat juga mau ke rumah Papa? Ini cuma dipercepat saja waktunya,” ungkap Abyan seraya melepas pelukannya.
Ayyara bergegas mengganti pakaian, setelah itu keduanya langsung menuju kediaman keluarga Bagja. Sesampainya di sana, semua orang tengah mengelilingi sang ayah.
“Papa …!” pekik Ayyara sembari berlari menghambur ke hadapan ayahnya.
Saat itu, kondisi Pak Bagja kembali lumpuh karena serangan stroke untuk yang kesekian kalinya. Hanya mata yang masih bisa berkedip dan mulut berbicara, walaupun sangat pelan. Dia tersenyum saat putri sulung beserta suaminya datang.
“Papa, maafkan Ayya sama Mas Aby baru datang sekarang,” ucap Ayyara lirih dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Pak Bagja hanya bisa menatapnya dengan mata berbinar. Kemudian, dia melirik ke arah Abyan. Sang menantu langsung peka, dirinya seketika berjongkok di samping Ayyara. Karena suara ayahnya itu sangat pelan, Abyan pun mendekatkan telinganya.
“Aby, Papa titip Ayya. Papa percaya, kamu akan selalu menjaganya,” ucap Pak Bagja dengan susah payah.
Abyan mengangguk. “Papa nggak usah khawatir soal itu. Abyan janji,” ucapnya.
Sang mertua kembali tersenyum. Dia memandangi anak menantunya satu per satu, sampai kemudian menutup mata setelah mengucapkan kalimat tahlil.
“Papaaa!” jerit Ayyara histeris.
Abyan mengucapkan kalimat istirja’, “Innalillahi ….” Kemudian, dia memeluk sang istri yang tengah tersedu. “Sabar, Sayang. Kita doakan Papa diberikan kemudahan perjalanannya. Insyaallah husnul khotimah.”
Ayyara tak menyangka harus kehilangan sang ayah pada saat rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Dia belum berhasil menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sungguh ini menjadi beban pikiran tersendiri karena dirinya tidak ingin mengecewakan harapan terakhir sang ayah.
Fathiya pun akhirnya datang berkunjung begitu tahu Pak Bagja meninggal. Sekarang, dia tengah berbicara berdua saja dengan Ayyara di kamarnya.
“Ikhlasin, ya, Ay. Kamu pasti kuat … insyaallah ini jalan terbaik yang Allah kasih buat papamu,” tutur Fathiya. Dia genggam kedua tangan sepupunya.
Ayyara mengangguk. Dia masih berlinang air mata. “Yang bikin aku sedih itu, sebelum kepergiannya, Papa begitu bahagia lihat Mas Aby datang. Bahkan, orang yang terakhir diajak ngomong juga Mas Aby,” ucapnya pelan.
Fathiya mengernyit. “Kok, malah sedih Ay? Bukannya ikut happy.”
Saat memperoleh pertanyaan seperti itu, Ayyara tidak langsung menjawab. Dia kembali terisak. Fathiya peluk sepupunya itu dan membiarkannya untuk menangis beberapa saat.
“Aku malu sama kamu Fath. Kemarin, aku bilang, pernikahanku sudah lebih baik, tapi tak lama setelah kamu telpon, aku lihat Mas Aby sama perempuan itu jalan berdua,” ungkap Ayyara.
“Hah, kok bisa? Kamu lihat di mana?”
“Di kafe yang sama ketika aku janjian dengan Manda. Aku lihat Lidya keluar dari kafe tersebut dan yang datang menjemputnya itu Mas Aby.”
Fathiya terdiam untuk beberapa saat. “Kamu sudah konfirmasi masalah ini ke Mas Aby?” tanyanya yang dijawab anggukan kepala oleh Ayyara. “Terus, dia mengiyakan?” sambungnya.
“Iya, bahkan dia menjawabnya dengan tenang,” ungkapnya. “Tapi yang bikin heran, tiap kali aku sewot urusan perempuan itu, sikap Mas Aby selalu berubah. Dia tambah mesra sama aku. Apa mungkin ini cara dia untuk menutupi perselingkuhannya?” tanya Ayyara seraya menatap lekat pada Fathiya.
Sang sepupu menghela napas. “Jawabannya bisa iya, bisa juga nggak. Kita nggak bisa generalisir sikap seperti Abyan sebagai ciri suami berselingkuh,” tanggap Fathiya. “Kamu sendiri menerimanya gimana? Happy atau terasa pura-pura?”
Halaman : 1 2 Selanjutnya
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow