Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 19 )

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 10:10 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 19 )

Setelah Abyan mandi dan berganti pakaian, keluarga kecil ini berangkat ke rumahnya Hardi yang berada di kawasan Cilandak. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit, mereka sudah tiba di kediaman sahabatnya.
“Makasih Mas Aby, sudah anterin Ayya ke sini,” ucap Manda saat menyambut kedatangan mereka.
Abyan tersenyum. “Gue yang harusnya bilang makasih karena sudah undang kita makan malam, jadi bisa ketemuan seperti sekarang.”
Hardi ikut senyum-senyum menyaksikan kebersamaan sahabatnya itu bersama pasangan dan keluarganya, pemandangan yang belakangan ini mulai jarang dilihatnya.
“Ayo, masuk! Jangan kelamaan berdiri di luar, nanti makanannya keburu dingin,” celetuk Hardi mengalihkan suasana.
Mereka pun masuk ke dalam rumah, lanjut menikmati makan malam bersama. Setelah itu, Zayyan dan Tsabita bermain bersama anak-anaknya Hardi, sementara kedua orang tuanya ngobrol santai di ruang keluarga.
“Mas Aby lagi sibuk banget, ya?” tanya Manda mengawali percakapan.
Abyan melihat ke arah Hardi yang duduk di samping Manda di depan dirinya. “Apa ini pertanyaan yang harus dijawab?” tanyanya sambil mengalihkan pandangan pada istri sahabatnya ini. “Bukannya suami lo kerja di tempat yang sama dengan gue?”
Manda terkekeh. “Iya, Mas … tapi suami gue nggak sesibuk seperti cerita Ayya tentang lo,” sindirnya sembari melirik Ayyara yang sekarang ada dalam rangkulan sang suami.
Abyan langsung menoleh ke samping, lalu memegang lembut pipi kanan Ayyara dan memutar perlahan sehingga wajah mereka sekarang saling berhadapan. “Memangnya iya, begitu, Sayang?”
Wajah Ayyara langsung merona. Dia segera menundukkan kepala sambil mesem-mesem.
“Ya, ampun, kalian berdua ini, jarang ketemu saja bisa semesra itu, gimana kalau sering?” sindir Manda sambil menyikut pinggang sang suami.
Hardi tertawa mendengar ucapan istrinya. “Yan, lo makanya jadi cowok jangan kayak gitu. Bikin standar para istri jadi berpatokan pada sikap lo memperlakukan perempuan.”
Ketika mendengar kalimat Hardi, sang istri langsung menatapnya. Begitu juga dengan Ayyara, dia seketika memandang Abyan.
“Apa maksudnya memperlakukan perempuan?” tanya Manda. “Apa ini berlaku untuk semua perempuan?” desaknya.
Hardi langsung gelagapan, apalagi saat melihat ekspresi wajah Ayyara seketika berubah.
“Lo jangan bikin orang berasumsi yang nggak-nggak dong, Har!” protes Abyan karena tak ingin Ayyara salah sangka. Meskipun dalam hatinya terdapat perasaan bersalah juga sebab ada satu yang dia perlakuan berbeda dari sekian banyak perempuan yang dikenalnya.
“Iya  sorry, sorry, maksud gue ke orang-orang saja baik, apalagi ke Ayyara,” ralat Hardi.
Manda yang melihat gelagat suaminya langsung peka. Meskipun ada kecurigaan, tapi dirinya tak ingin kalau Ayyara berpikir ke mana-mana tentang suaminya. “Eh, btw, kalian ingat Alden, nggak?” tanyanya mengalihkan topik.
Semua orang terlihat tengah berpikir mengingat seseorang.
“Maksud kamu Alden temen seangkatan S2 kita?” tanya Hardi pada istrinya.
“Iya, dia kuliah S1-nya di Bandung. Pas S2 baru bareng kita,” jawab Manda sambil melihat ke arah suami, Abyan, dan Ayyara secara bergantian.
Hardi melirik Abyan. Dia memperhatikan ekspresi wajah sahabatnya itu. “Lo ingat, Yan?”
Ekspresi wajah Abyan sedikit berubah. Meskipun dia berusaha menyembunyikannya, tapi bagi Hardi yang sudah bersahabat cukup lama tetap bisa melihat perubahan itu.
“Iya, memang ada apa sama dia?” tanggap Abyan.
“Jadi gini, beberapa waktu lalu, dia datang ke kantor gue buat konsultasi terkait bisnis barunya,” ungkap Manda. “Nah, saat ngobrol itu gue baru tahu kalau ternyata dia juga kenal sama Ayya.”
“Hah? Kok, bisa?” Ayyara mengernyitkan kening. “Memang kenal gue di mana?”
Abyan langsung melotot ke arah Hardi, sementara suami Manda itu hanya bisa mengedikkan bahu.
“Katanya, waktu kuliah S1 dia sekampus sama lo, Ay,” ujar Manda.
“Oh, ya?” Ayyara masih belum mengingatnya.
“Sudahlah, Sayang … nggak harus dipaksakan ingat juga, kan?” timpal Abyan berusaha untuk mengalihkan perhatian istrinya. Dia justru senang kalau sang istri tak mengingatnya sama sekali.
“Jadi maksud cerita lo ini, apa? Mau pamer punya klien baru? Yang mana dia lebih pilih perusahaan tempat lo kerja dibandingkan perusahaan suami lo?” sindir Abyan.
Manda langsung mendelik. “Idih sensi. Siapa juga yang mau pamer. Lagipula, dia bukannya nggak mau datang ke perusahaan kalian, tapi takut sama lo!” ungkap Manda sembari memonyongkan bibirnya ke arah Abyan.
“Kenapa takut sama gue? Memang salah gue apa sama dia?” protes Abyan bersungut-sungut.
“Nggak ada, tapi kata Alden, tatapan lo saja sudah cukup mengintimidasinya,” ungkap Manda sembari terkekeh.
Ayyara sedikit memutar tubuhnya menghadap Abyan, memperhatikan tampilan dirinya dari ujung kepala sampai kaki. “Aku baru tahu ada orang yang setakut itu sama Mas Aby?” ujarnya seraya mengamati wajahnya hingga kedua mata mereka saling berpandangan.
Ketika melihat reaksi istrinya seperti itu, Abyan malah terpikir untuk menjailinya. Apalagi sampai Ayyara memiringkan kepala saking seriusnya mengamati sang suami. Lelaki itu langsung mengecup bibirnya yang sedikit manyun.
“Astaghfirullah … Mas Aby!” Ayyara terlonjak kaget. Dia pun refleks menepuk pundak sang suami. “Kebiasaan, deh … malu, tahu!” protesnya dengan bibir mencebik dan pipi merona.
Sementara Manda dan Hardi geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
“Yan, lo nggak usah mancing-mancing gitu. Memangnya gue nggak bisa lebih dari lo?” Hardi ikut protes sambil bersiap memonyongkan bibirnya, tapi secepat kilat mulutnya itu didorong tangannya Manda agar menjauh dari wajahnya.
Kini, giliran Abyan dan Ayyara yang tertawa-tawa.
“Sudah ah, malah jadi ke mana-mana.” Manda melerai. “Maksud gue cerita ini dan undang kalian berdua datang itu karena ada hubungannya dengan Alden.”
Ekspresi wajah Abyan langsung berubah lagi menjadi mode serius, menatap Manda menunggu penjelasan selanjutnya.
“Dia baru saja membeli perusahaan garmen yang nyaris bangkrut ….”
Belum selesai kalimatnya, Ayyara langsung memotong karena tak sabar. “Ooh, jadi tawaran kerjaan yang waktu itu lo bilang, punyanya Alden?” celetuk Ayyara.
“Kamu sudah tahu, Sayang?” tanya Abyan dengan ekspresi terkejut dan mulai berpikir ke mana-mana. “Kok, nggak pernah cerita ke aku?”
Ayyara dan Manda langsung berpandangan. Keduanya teringat peristiwa di kafe saat kaki Lidya terkilir.
“Bukannya nggak mau cerita, jutru Mas Aby yang nggak punya waktu buat dengerin cerita Ayya,” ungkap Manda mewakili jawaban Ayyara.
“Maksud lo?” tanya Abyan terdengar ketus.
“Waktu gue bahas soal ini, Mas Aby itu lagi sibuk ngurusin ….” Manda menggantung kalimatnya. “Siapa namanya, Mas?” Manda menoleh pada Hardi.
Hardi mengerutkan dahi. “Siapa? Lydia?” Dia balik bertanya.
“Nah, iya, bener … Lidya,” ungkap Manda. “Jadi nggak usah marah-marah sama Ayya. Dia nggak salah apa-apa. Pokoknya, inti dari cerita aku tuh, mau mencari kepastian dari keputusan Ayya soal menerima atau tidak tawaran tersebut karena katanya, mau izin Mas Aby dulu.”
“Yah, Man, gimana mau kasih izin, persoalannya saja gue belum paham,” timpal Abyan.
“Lha, sekarang kan, lagi kita bahas. Dari tadi nggak maju-maju ceritanya karena banyak interupsi,” dalih Manda dengan bibir mencuci.
“Iya, iya, maaf … ayo lanjut,” ujar Abyan.
“Jadi, Alden ini mau mengembangkan bisnisnya. Kan, itu perusahaan tadinya hanya sebuah garmen yang memproduksi produk siap pakai dengan merek-merek yang nggak terkenal. Nah, sekarang, dia ingin garmennya itu produksi produk dengan brand baru,” urai Manda.
Belum selesai menjelaskan, Abyan sudah bisa menembak arahnya mau ke mana. “Jadi maksud lo, dia mau Ayya jadi fashion designer di perusahaannya?”
Exactly! Hebat lo, Mas … kok, bisa langsung tahu, sih?” tanya Manda sembari mengacuhkan jempolnya.
“Bukan hebat, tapi itu insting dia mendeteksi musuh,” kelakar Hardi yang diikuti pelototan Abyan.
Ayyara terlihat masih kebingungan. Dia bahkan belum mengingat Alden itu orangnya yang mana.
“Jadi gimana, Mas? Ayya diizinkan kerja di sana?” todong Manda to the point.
Abyan tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Sejujurnya, dia tidak suka jika istrinya berhubungan intens dengan lelaki lain. Meskipun mungkin tidak selalu bertemu, tapi pastinya akan sering berkomunikasi terkait pekerjaan.
“Kalau Mas Aby nggak izinin, aku juga nggak marah, kok,” ungkap Ayyara mencoba membantu suaminya untuk mengambil keputusan.
Abyan menatap istrinya. ‘Kamu memang sepolos itu, Ay… sampai nggak pernah menyadari ada banyak lelaki yang terpesona pada dirimu,’ batinnya.
“Jadi beneran nggak diizinin?” tanya Manda mengkonfirmasi.
Abyan menarik napas panjang. “Jujur, gue sudah terbiasa dengan Ayya yang selalu ada di rumah, ngurusin anak sambil nungguin kepulangan gue,” ungkapnya sembari menatap sang istri. “Gue masih belum bisa ngebayangin kalau tiba-tiba pas pulang, Ayya nggak ada atau dia lagi sibuk dengan kerjaannya.”
“Halah, lebay lo, Mas! Bukannya akhir-akhir ini lo lebih sering pulang pas Ayya sudah di alam mimpi?” sindir Manda. “Jadi sebetulnya, siapa yang lebih dulu mengubah keadaan?”
Wajah Abyan memerah. Dia pun merasakan panas di telinga seakan ada yang menyentilnya.
“Diizinin saja, ya, Mas? Biar Ayya punya kegiatan baru. Ya, tentunya tanpa meninggalkan kewajiban utama dia sebagai istri dan ibu dari anak-anak kalian,” ungkap Manda. “Alden bilang, kerjanya nggak harus selalu datang ke kantor, kok, WFH juga nggak masalah.”
Abyan tidak bisa berkutik. Dirinya tak punya alasan kuat untuk menolak permintaan istrinya Hardi ini. Bagaimanapun apa yang dikatakan Manda itu ada benarnya. Apalagi, hal ini pernah dia inginkan juga. Hanya saja, kalau nanti Ayyara benar-benar bekerja, akan ada lelaki lain yang lebih banyak berdiskusi dengannya.
“Gini aja, nanti gue bakalan obrolin ini berdua Ayya. Kita kan, nggak bisa ambil keputusan gegabah untuk urusan yang berkaitan dengan keluarga,” dalih Abyan mencari alasan untuk menghindari persetujuannya saat itu juga.
Manda menarik napas. “Ya, sudahlah … tapi jangan lama-lama mikirinnya!”
Abyan hanya mengacungkan jempol sebagai tanda setuju atas ucapannya Manda.
“Eh, nggak kerasa ternyata sudah malam ini. Besok Zay sama Tsa masih harus sekolah. Kita pamit sekarang aja, yuk, Mas,” ajak Ayyara sengaja menyudahi pembicaraan mereka yang sedikit menimbulkan ketegangan buat dirinya.
Mereka pun akhirnya berpamitan karena waktu sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Abyan dan Ayyara memilih diam selama di perjalanan. Apalagi, ibu dua anak ini duduk di kursi belakang menemani Tsabita yang sudah terkantuk-kantuk saat masuk ke dalam mobil.
Benar saja, Tsabita langsung terlelap begitu mobil melaju meninggalkan kediaman Hardi. Sesekali Abyan hanya bertanya pada Zayyan yang duduk di samping dirinya. Itu pun dijawab dengan ogah-ogahan karena sang putra juga berulang kali menguap karena rasa kantuknya.
Sesampainya di rumah, kedua buah hati mereka langsung masuk kamar masing-masing dan segera terlelap ke alam mimpi.
“Sayang, tadi Zay disuruh ganti baju dulu, nggak?” tanya Ayyara begitu masuk kamar setelah menggantikan baju Tsabita karena putrinya itu benar-benar sudah tertidur nyenyak.
“Iya, aku sempat bantu juga. Dia sampai merem pas ganti baju saking ngantuknya,” jawab Abyan sambil terkekeh.
“Mas sudah salat Isya?” tanya Ayyara lagi. Dia berjalan ke arah lemari baju sambil melepaskan jilbab yang membalut kepalanya.
“Sudah, tadi pas kamu masih di kamar Tsa. Aku salat dulu, baru ganti baju,” jawabnya sambil naik ke atas kasur dengan stelan piyama satin berwarna hitam. Dia duduk bersandar, menarik selimutnya sampai pinggang, lalu mengambil buku yang ada di atas meja nakas di sampingnya. “Kamu masih haid?” tanyanya lagi tanpa menoleh pada Ayyara.
“Masih, mungkin dua atau tiga hari lagi baru selesai. Kenapa? Kangen sama aku?” celetuk Ayyara.
Abyan terkekeh. “Kangen kamu itu nggak usah nunggu lagi haid, setiap kali aku Jauh-jauhan pasti kangen,” ujarnya seraya menghentikan fokus matanya dari buku dan beralih pada sang istri yang sedang mengganti pakaiannya depan sang suami.
Lelaki itu tertawa. “Nggak usah mancing-mancing, deh ….”
Ayyara ikut mesem-mesem. “Idih, siapa juga yang mancing-mancing? Itu, sih, kamu saja yang kepengin,” ledeknya puas berhasil menggoda sang suami.
Kemudian, ibu dua anak ini duduk di meja rias untuk menghapus make-up-nya. Dia memperhatikan gerak-gerik sang suami yang berada di belakangnya lewat pantulan cermin.
“Mas, aku boleh tanya sesuatu?” tanya Ayyara memberanikan diri karena sang suami terlihat sedang rileks.
Abyan ikut menoleh ke arah cermin. “Memang mau tanya soal apa?”
Mata keduanya saling beradu pandang meskipun tidak duduk berhadapan.
“Apa Mas masih berhubungan dengan Lidya?”

Berita Terkait

Selasa, 4 Februari 2025 - 17:40 WIB

Ini Dia Juara Pandora IWZ x Redaksiku.com 2024

Senin, 20 Januari 2025 - 10:32 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali ( Part 13 )

Senin, 20 Januari 2025 - 10:31 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali (Part 31)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Redaksiku.com
Alamat : STC SENAYAN LT.4 ROOM 31-34 Jl. Asia Afrika , Pintu IX Senayan, RT.1/RW.3, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270
Email : redaksiku.official@gmail.com