Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 21 )

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 10:29 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 21 )

“Gila lo! Ini serius, lo ambil keputusan begitu?” tanya Hardi begitu tahu Abyan mengizinkan Ayyara menerima tawaran Alden. Dia sampai menghentikan gerakan jemarinya menyusuri deretan keypad laptopnya.
Keduanya sekarang sedang berada di ruang kerja Abyan.
“Ya, mau gimana lagi? Cuma itu yang bisa bikin Ayya diam dan nggak terus mengungkit kedekatan gue sama Lidya,” jawab Abyan yang matanya masih fokus pada layar monitor.
“Lagipula, kenapa, sih, lo pertahanin Lidya? Memang lo beneran serius sama dia?” selidik Hardi untuk yang kesekian kalinya.
“Pertanyaan macam apa, itu? Gila saja kalau gue nggak serius? Lo pikir, gue badan amal? Sudah banyak banget yang gue investasikan ke perusahaan dia,” ungkapnya.
“Eh, Dodol, maksud gue bukan urusan kerjaan, tapi hubungan pribadi lo sama Lidya?” Hardi sedikit sewot.
Abyan tergelak mendengar julukan dirinya yang sudah lama tidak dia dengar. Dulu, semasa kuliah dia kerap kali diledek dengan panggilan “Dodol” karena terlalu lugu, terutama saat menyikapi sesuatu yang terkait perempuan. Lelaki ini jadi terkesan bodoh dan mudah dimanfaatkan.
“Jujur, sebagai laki-laki, gue memang tertarik pada Lidya. Tapi, untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius, gue belum kepikiran.” Abyan menjawab sembari menopang dagunya dengan sebelah tangan yang bertumpu pada siku di atas meja. Dia memandangi langit Jakarta siang itu yang cukup terik.
“Yan, lo pikir Ayyara percaya kalau kalian nggak ada apa-apa?”
Abyan menurunkan tangannya, lalu menoleh pada Hardi yang duduk di sofa tamu agak jauh dari meja kerjanya.
“Iya, gue tahu itu, Han. Makanya, daripada pusing dengerin kecurigaan dia, mending gue biarin saja dengan segala prasangkanya. Yang penting gue nggak berbuat hal buruk.”
“Astaghfirullah, Yan … gue memang bukan orang yang taat banget dalam menjalani ibadah, tapi nggak berani juga kalau harus bermain api macam lo ini.”
Abyan tersenyum seraya menghela napas. “Makanya, lo bantu gue selesaikan secepatnya project kita dengan perusahaan Lidya dan harus sukses besar, biar gue bisa menjalani hidup lebih tenang.”
Hardi geleng-geleng kepala. Dia tidak bisa lagi menasihati sahabatnya ini. Suami Manda tersebut hanya berharap bahwa Abyan akan menepati janjinya.
“Yan, balik ke soal kerjaan, untuk urusan pendanaan gimana, sudah ada solusinya? Tinggal hitungan hari, lho.”
“Nah, ini juga yang lagi gue pikirin. Ada orang yang bersedia ngasih bantuan dana cair, tapi masalahnya kita perlu sesuatu sebagai jaminannya,” ungkap Abyan yang kini bangkit dari kursi. Dia berjalan ke arah jendela, lalu berdiri mematung dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
“Lho, bukannya tempo hari lo bilang masih punya beberapa properti. Memang itu masih belum cukup sebagai jaminan?” tanya Hardi seraya mengikuti gerak-gerik Abyan.
“Lebih dari cukup, Har, tapi masalahnya, Ayya ngajuin syarat lain kalau gue tetap menjalin hubungan dengan Lidya seperti sekarang ini,” ungkap Abyan yang sekarang sedang memandangi jalanan di bawah sana lewat kaca jendela di ruangan tersebut.
“Maksud lo?”
Abyan menoleh ke arah Hardi. “Ayya minta semua aset yang gue sama dia miliki dialihkan atas nama anak-anak.”
“Hah? Dan lo setuju?”
Suami Ayyara mengangguk. “Bodohnya gue, dengan entengnya bilang, apapun syarat yang dia ajukan akan gue setujui. Dan nggak pernah kepikiran kalau Ayya akan mengajukan syarat seperti ini,” ungkap Abyan diiringi helaan napas.
Hardi tersenyum meledek. “Kesadaran yang terlambat, Bro. Ini bukti kalau bini lo cerdas,” tanggapnya sembari terkekeh. “Dia mungkin saja terlihat kuat dan tegar di depan lo, semata hanya karena bertahan demi anak-anak.”
Abyan mengerutkan kening, tampak tengah berpikir keras menghadapi situasi ini. Namun kemudian, dia kembali tersenyum ketika tiba-tiba ada pesan masuk dari Ayyara.
“Heh, kenapa lo, tiba-tiba senyum sendiri?” tanya Hardi heran.
“Gue dapat ide baru,” sahut Abyan yang sekarang sedang mengetikkan sesuatu, membalas pesan dari Ayyara sambil tersenyum.
“Ide apaan?” Hardi kian penasaran.
“Entar saja gue ceritanya, kalau ini beneran berhasil.”
Hardi langsung mencebik. “Sok misterius lo! Semoga saja nggak lebih gila dari keputusan lo tadi,” rutuk Hardi.
Abyan hanya mesem-mesem. “Sudah sana, balik ke ruangan lo sendiri. Gue mau pergi dulu,” titah Abyan. Dia berjalan ke pojok ruangan di belakang meja kerjanya untuk mengambil jas yang tergantung di sana.
“Pergi ke mana?” tanya Hardi sembari menutup laptopnya.
“Ketemu investor,” jawab Abyan singkat.
Dia keluar ruangan diikuti Hardi yang berjalan di belakang sambil menenteng laptopnya.
“Gue jalan dulu, ya. Wish me luck,” ujar Abyan seraya melambaikan tangan.
“Good luck, Bro,” sahut Hardi sesaat sebelum berpisah dan kembali ke ruang kerja pribadinya.
Sambil berjalan menuju parkiran, Abyan tak berhenti senyum-senyum sendiri memikirkan ide gila yang akan dia lakukan. Sejak Ayyara mengajukan pengalihnamakan semua aset, dirinya mengalami kesulitan untuk mendapatkan surat-surat berharga yang akan dijadikan jaminan.
“Iya, Sayang, pokoknya kamu tenang saja, besok aku antar, ya,” ucap Abyan ketika Ayyara meneleponnya untuk menanyakan kesediaan sang suami mengantarkan Zayan lomba robotik.
“Mas lagi di mana sekarang?” tanya Ayyara dari seberang.
“Lagi nyetir mau ketemu klien, kenapa?”
“Nggak apa-apa, tanya saja karena barusan aku dengar suara berisik kayak lagi di jalan raya.”
“Oh, iya, barusan ada belokan jadi aku buka kaca jendela buat kasih uang sama Pak Ogah,” jawab Abyan.
“Oke, deh. Hati-hati di jalan, Mas. Bye …!”
Sambungan terputus setelah Ayyara mengucapkan salam. Abyan menarik napas, memandangi jalanan di depannya yang mulai padat karena sebentar lagi tiba jam makan siang. “Maafkan aku, ya, Ay … aku terpaksa harus melakukan ini,” gumamnya dengan mata berkaca-kaca.
Sebetulnya, Abyan sendiri mengalami pergolakan batin. Hatinya terasa sesak kala melihat sang istri dilanda cemburu atas sikapnya yang mempertahankan Lidya. Namun, dia pun tak tega harus meninggalkan perempuan itu begitu saja tanpa menyelesaikan semua persoalan yang sudah terlanjur terjadi.
Keesokan harinya, sejak jam enam, sudah terjadi kehebohan di rumah Abyan. Pagi ini, mereka akan berangkat ke Jakarta untuk mengantarkan Zayyan lomba robotik.
“Mas, nanti ikut nungguin, kan?” tanya Ayyara yang sedang sibuk menyiapkan bekal untuk anak-anaknya selama menunggu lomba nanti.
“Iya, semoga nggak ada acara dadakan, ya,” jawab Abyan sambil menyuap roti sandwich-nya.
“Iih, jangan begitu. Mas. Aku nggak mau sendirian,” rengek Ayyara. Kemudian, dia berjalan menghampiri sang suami dan meletakkan beberapa kotak bekal di samping piringnya Abyan.
Lelaki itu terkekeh. “Kamu tuh, lucu … gimana ceritanya sendirian? Yang namanya lomba itu pasti ada banyak pesertanya, kan? Jadi nggak mungkinlah kamu sendirian di sana.”
“Iih, Mas Aby!” jerit Ayyara sambil mencubit lengan suaminya.
“Aw, adududuh, sakit, Yang.” Abyan meringis sambil mengusap-usap lengannya yang terasa perih.
“Rasain. Makanya jangan suka godain istrinya terus,” ujarnya dengan bibir mencucu.
Abyan kembali terkekeh. Dia pandangi sang istri yang berdiri di sampingnya. Kemudian, lelaki itu berdiri dan mengecup pipi Ayyara. “Aku siap-siap dulu, ya,” ucapnya sambil berlalu meninggalkan Ayyara. Dia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Ayyara hanya mengekori langkah suaminya dengan tatapan mata. Dia harus berdamai pada keadaan, menerima kehadiran perempuan lain dalam kehidupan rumah tangganya, meskipun itu tidak mudah. Jika dengan begitu bisa tetap melihat sikap hangat Abyan seperti barusan, dia akan suka rela melakukannya.
“Bunda, kok, melamun?” tanya Tsabita menyadarkan Ayyara dari lamunan.
“Eh, maaf, Sayang ….” Ayyara langsung berjongkok di depan Tsabita. “Tsa sudah siap?”
Putri bungsunya itu mengangguk.
“Kalau gitu, sekarang Tsa sarapan dulu, ya,” titah Ayyara seraya berdiri dan menyiapkan roti sandwich untuk putrinya.
Tsabita pun duduk di kursi yang tadi diduduki Abyan. Tidak lama kemudian, Zayyan datang. Keduanya pun makan bersama ditemani sang bunda.
“Ayah nggak sarapan, Bun?” tanya Zayyan.
“Ayah sudah duluan, tadi sambil bantu Bunda siapin bekal buat kalian,” jawab Ayyara. “Sekarang, lagi ganti baju.”
“Bunda, kok, belum siap?” tanya Tsabita.
“Kan, nunggu Tsa dulu selesai sarapan,” jawab Ayyara seraya mengelus kepala sang putri.
“Iih, Tsa udah gede, nggak usah ditungguin. Bunda kalau mau ganti baju, tinggalin aja. Lagian, di sini juga ada Abang,” ungkapnya begitu lucu dan menggemaskan.
“Masyaallah, makasih banyak, Sayang. Tsa keren, deh. Kalau gitu, Bunda siap-siap dulu, ya,” tanggap Ayyara, lalu dia bangkit dari duduknya. “Abang Zay, titip adiknya, ya.”
Zayyan memutar bola matanya ke atas sambil menghela napas. “Bunda lebay, deh. Kayak gitu saja harus dibahas,” ujarnya bersungut-sungut.
Ayyara berjalan menaiki tangga sambil terkikik geli melihat sikap Zayyan. Putranya itu sering kesal karena diperlakukan seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa.
“Kenapa, Yang, kok, senyum-senyum sendiri?” tanya Abyan saat istrinya masuk kamar.
“Itu, lucu saja lihat tingkahnya Zay yang sok jadi anak gede,” ujar Ayyara sambil membuka lemari pakaian.
“Nggak kerasa, ya, tahu-tahu mereka sudah gede saja,” tanggap Abyan sambil memeluk istrinya dari belakang.
Kini, Ayyara yang memutar bola matanya seraya menarik napas panjang karena suaminya mulai bertingkah.
“Mas, sudah siang ini, di-pending dulu, ya,” ucap Ayyara sembari melepaskan kedua lengan Abyan yang melingkar di pinggangnya.
Lelaki itu manyun. “Bonuslah, Yang … sebentar saja,” rengeknya dengan tatapan memelas.
Ayyara mesem-mesem. “Dasar mesum kamu,” candanya sembari melanjutkan aktivitasnya berganti baju.
“Biarin saja, yang penting mesumnya cuma sama istri sendiri,” sahut Abyan melayani candaan istrinya karena dia pun tahu kalau Ayyara masih haid.
Lelaki itu berjalan kembali mendekati istrinya, tapi baru juga beberapa langkah …”Ayaaah, kita sudah siap, nih!” teriak Zayyan dari ujung tangga.
Ayyara tergelak melihat ekspresi Abyan yang pura-pura cemberut. “Sudah sana, temenin dulu anaknya. Aku bentar lagi kelar, kok.”
Lelaki itu ikut tertawa, lalu berjalan keluar kamar. ‘Maafkan aku, ya, Ay …,’ batinnya. Abyan sejenak memejamkan mata saat menuruni tangga. Hatinya gelisah memikirkan rencana yang akan dia lakukan hari ini demi mendapatkan surat-surat berharga dari aset yang dia miliki.

Berita Terkait

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)

Jumat, 6 Desember 2024 - 14:25 WIB

Novel: Padamu Aku Akan Kembali (Part 7)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:23 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)

Senin, 2 Desember 2024 - 11:13 WIB

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 30)