Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 22 )

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 10:33 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 22 )

Ayyara gelisah karena sudah lebih dari tiga puluh menit suaminya izin ke toilet, tapi belum juga kembali. Telponnya pun tidak dapat dihubungi.
“Bunda, ada apa?” tanya Tsabita.
“Nggak ada apa-apa Sayang. Bunda cuma kebelet pipis, tapi Ayah belum kembali. Tsa nggak ada yang nemenin kalau Bunda tinggal ke toilet,” jawab Ayyara terpaksa berbohong.
“Tsa berani, kok, ditinggal sendiri,” ungkap sang putri bungsu. “Bunda ke toilet saja.”
Ayyara tersenyum seraya mengelus kepala Tsabita. “Kita turun ke bawah, yuk. Tsa tunggunya dekat timnya Abang di bawah sana. Biar Bunda lebih tenang ninggalinnya,” ujarnya sambil menunjuk tempat Zayyan dan timnya berlomba.
Tsabita menganggukkan kepala. Kemudian, keduanya turun dari tribun menunju pinggiran lapangan yang digunakan untuk lomba.
“Mbak Nana, saya mau minta tolong titip adiknya Zayyan sebentar, bisa?” tanya Ayyara pada manajer club tempat Zayyan les robotik.
“Oh, iya, Bu, boleh. Sini Tsa, tunggu sama Mbak Nana,” ucapnya ramah.
Ayyara pun bergegas keluar GOR Padepokan Pencak Silat yang berada di TMII Jakarta sebagai tempat diselenggarakannya lomba. Dia berjalan ke arah toilet pria.
“Bang, lihat suami saya nggak? Tadi izin ke toilet, tapi sudah lama banget nggak balik-balik ke dalam ruangan,” tanya Ayyara sambil menunjukkan foto Abyan yang ada di ponselnya.
Dengan susah payah dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Sebetulnya, ada perasaan malu, tapi dia tak punya pilihan lain. Petugas kebersihan itu menatap Ayyara seakan memindai dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Ibu yakin nyari suaminya?” Dia balik bertanya dengan nada mengejek.
“Maksudnya apa, ya, Bang?”
“Kalau beneran suaminya, nggak mungkin pergi begitu saja. Mana alasannya ke toilet lagi,” cibirnya. “Lagian, nggak ada orang dengan stelan jas begitu datang ke toilet ini, Bu.”
Ayyara mendelik tajam. ‘Orang harusnya dibantu malah dinyinyirin,’ gerutunya dalam hati. Ingin rasanya mengumpat, tapi dirinya harus bisa menahan diri.
“Makasih,” ucap Ayyara sedikit ketus. Dia cepat-cepat pergi dari tempat tersebut dengan hati berdebar-debar. Wajahnya memerah dengan deru napas memburu cepat. Dia berlari ke parkiran, memeriksa mobilnya dan begitu sampai tenyata kendaraannya masih berada di tempat yang sama.
Ibu dua anak ini kian resah karena ponsel Abyan masih saja tidak aktif. Kemudian, terpikir olehnya untuk menghubungi Handi.
“Iya, Ay, ada apa?” tanya Hardi begitu sambungan telpon terhubung.
“Mas, hari ini ketemu Mas Aby, nggak?”  Ayyara malah balik bertanya.
“Lho, bukannya hari ini ngantar lo sama anak-anak ke Jakarta. Katanya, Zay lagi lomba robotik?”
“Iya, Mas, ini kita lagi di TMII. Tadi, Mas Aby izin ke toilet, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya. Gue sudah hubungi dia berulang kali, tapi HP-nya nggak aktif,” cerocos Ayyara dengan suara bergetar.
“Lo tenang dulu, ya, Ay. Gue coba cari tahu juga. Entar, kita kabar-kabari lagi,” usul Hardi mengakhiri telponnya.
Tangan Ayyara gemetar. Dadanya kian sesak menahan desakan air mata yang berlomba ingin keluar. Dia harus bertahan sekuat tenaga. Jangan sampai kedua buah hatinya tahu kalau ayahnya pergi begitu saja meninggalkan mereka.
Dia tidak menyangka di balik sikap manis suaminya tadi pagi, ada rencana besar yang disembunyikan. Kemarin malam, Abyan pulang dari kantor naik KRL dengan alasan ingin bernostalgia, mengenang masa-masa kuliah dulu. Sehingga hari ini, mereka berangkat ke Jakarta menggunakan mobil Ayyara. Rupanya, memang sengaja di-setting seperti itu karena sang suami akan pergi meninggalkan anak dan istrinya.
Ibu dua anak ini berusaha mengatur ritme napasnya agar bisa lebih tenang sebelum kembali memasuki ruangan. Ayyara memejamkan matanya untuk beberapa saat sembari berdoa mohon kekuatan. Kemudian, dirinya melangkah pasti menghampiri kedua buah hatinya.
“Bunda, katanya sebentar?” protes Tsabita begitu ibunya datang.
“Iya, maafkan Bunda, Sayang … tadi antar Ayah dulu ke depan,” jawab Ayyara beralasan.
“Memangnya Ayah mau ke mana?” Sang putri bertanya lagi.
“Ayah ada urusan mendadak. Dia harus kembali ke kantor karena ada pekerjaan penting.” Ayyara terpaksa kembali berbohong.
Tsabita manggut-manggut tanda mengerti. Kondisi seperti ini sudah sering dia alami, jadi tidak perlu membutuhkan banyak penjelasan untuk memahaminya.
Setelah menunggu lama, akhirnya perlombaan selesai. Waktu sudah menjelang sore, Ayyara memutuskan untuk segera pulang sebelum jalanan semakin padat. Apalagi, Hardi mengirimkan pesan bahwa dirinya pun belum berhasil menghubungi Abyan. Pupus sudah harapannya bahwa sang suami akan datang menjemput.
“Zay, maafkan Bunda karena kita nggak bisa nunggu sampai acaranya benar-benar selesai,” sesal Ayyara memohon pengertian sang putra.
“Iya, Bunda, nggak apa-apa. Sisanya cuma nonton pameran hasil karya saja, kok,” tanggap Zayyan sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.
Senyum manisnya Zayyan menjadi penghiburan tersendiri untuk Ayyara di tengah situasi yang terjadi.
“Bismillah, doakan perjalanan kita lancar, ya,” ucapnya saat mulai melajukan mobilnya keluar dari Taman Mini Indonesia Indah.
Ayyara sepanjang jalan tak putus merapalkan doa memohon perlindungan. Ini untuk pertama kalinya dia menyetir mobil dalam perjalanan jauh. Selama ini, dirinya hanya berani berkendara di dalam kota saja, itu pun dalam jarak dekat seputar rumah dan sekolah anak-anak.
Menjelang maghrib, mereka tiba kembali di rumah. Ayyara bisa bernapas lega setelah melewati ketegangan sepanjang jalan. Bersyukur kedua buah hatinya tertidur sehingga membantunya lebih tenang. Terbayang jika Zayyan dan Tsabita terjaga dan melihat keresahannya, dirinya akan mengalami tingkat stress yang lebih tinggi.
“Sayang, Bunda izin istirahat dulu, ya,” tutur Ayyara pada kedua putra-putrinya saat mereka berada di depan pintu kamar.
“Iya, Bunda. Adik Tsa nanti aku jagain. Kalau laper aku angetin makanan di microwave saja,” tanggap Zayyan.
Ayyara langsung memeluk Zayyan. “Masyaallah, makasih banyak anak salihnya Bunda,” ucapnya. Tanpa terasa sudut-sudut matanya mulai basah.
“Bunda kenapa nangis?” tanya Tsabita yang berdiri di samping sang kakak.
Ayyara melepaskan pelukannya, lalu beralih memeluk Tsabita. “Karena Bunda bangga punya anak-anak hebat seperti kalian. Bunda terharu,” jawab Ayyara seraya mengusap lembut punggung sang putri.
“Aku sayang sama Bunda,” ucap Tsabita lirih.
Ayyara tersenyum, lalu mencium pipi kedua anaknya bergantian. Kemudian, dia pun masuk ke kamarnya. Begitu juga dengan Tsabita dan Zayyan, keduanya masuk ke ruangan masing-masing.
Ibu dua anak ini langsung mengunci pintu kamarnya. Dia sudah tak kuat menahan desakan air mata yang sejak tadi ditahannya. Perempuan muda ini duduk bersimpuh di lantai di samping tempat tidurnya sambil nangis sesenggukan.
Setelah puas menumpahkan air matanya, dia pun bangkit berjalan ke ruang ganti baju. Ayyara tertegun dengan mulut menganga melihat pemandangan di depannya. Beberapa tumpukan baju terlihat berantakan, lalu dia membuka lemari gantung. Lebih dari satu stel jas Abyan pun raib.
Ayyara semakin syok ketika membuka lemari brangkas, beberapa sertifikat tanah dan juga sebagian logam mulia ikut hilang. Kepalanya seketika terasa berdenyut-denyut, tubuhnya lemas, terhuyung-huyung sampai harus berpegangan pada dinding.
“Mas Abyyy!”
Sayangnya, teriakan Ayyara tak ada yang mendengar karena ruangan tersebut kedap suara. Dia melorotkan tubuhnya ke lantai. Air matanya kembali tumpah, hatinya terasa tercabik-cabik. Setengah merangkak ibu dua anak ini keluar dari ruangan ganti baju.
Masih mengenakan pakaian yang sama  dia mencoba merebahkan tubuhnya yang terasa remuk. Matanya memandangi langit-langit yang beberapa hari lalu dia tatap dengan perasaan bahagia bersama lelaki yang sangat dicintainya. Tapi kini, kenangan itu tertinggal di dalam angan.
Dalam benaknya Ayyara berpikir, ‘Entah kapan semuanya akan kembali utuh atau mungkin, ini memang harus berakhir untuk selamanya.’
Nun jauh di sana, ternyata ada juga seseorang yang merasakan resah dan gelisah atas apa yang telah diperbuatnya.
“Yan, dari mana saja lo?” sergah Hardi ketika malam itu, Abyan menghubunginya lewat telpon.
Abyan sampai menjauhkan ponselnya dari telinga saking kerasnya suara Hardi. “Eh, bisa nggak tuh volume dikecilin, sakit kuping gue, tahu!” sahutnya ikut meninggikan suara.
“Lagian, tingkah lo kebangetan. Ada apa, sih, Yan? Sampai harus kabur dari istri dan anak-anak lo,” cecar Hardi.
“Sst, bawel lo kayak cewek. Ini makanya gue telpon, mau jelasin semuanya,” dengkus Abyan terbawa emosi.
“Yang harus lo kabarin itu Ayya, bukan kita,” sanggah Manda. Rupanya Hardi menyalakan mode loud speaker sehingga omongan Abyan ikut didengarkan istrinya.
Sorry, Man … terpaksa gue hubungin kalian. Gue belum berani ngomong langsung sama Ayya. Gue nggak siap,” akunya.
“Dasar Dodol lo! Kalau nggak siap, ya, jangan berbuat. Gimana, sih?” Hardi kembali mencak-mencak.
“Pokoknya, gue minta tolong kalian berdua temenin Ayya untuk sementara waktu. Gue nggak akan komunikasi dulu dengan Ayya.”
“Sampai kapan, Yan?” Hardi bertanya lagi.
“Nggak tahu, yang jelas sampai urusan project kita di KL kelar. “
“Memang, Mas Aby ngapain Ayya? Sampai nggak berani ngomong langsung sama dia.” Manda bertanya lagi.
“Gue habis kabur dari rumah dan mencuri beberapa sertifikat tanah dan juga LM yang ada di rumah.”
“Astaghfirullah, Abyan Aiden Lee! Lo nyadar nggak dengan yang lo lakuin ini?” bentak Hardi.
Abyan kembali meringis mendengar teriakan Hardi sambil mejauh dari ponselnya. “Gue sadar sesadar-sadarnya, Har, tapi ini terpaksa,” dalihnya membela diri.
“Ya Allah, Mas Aby … kenal Ayya sudah berapa lama, sih? Masa harus mencuri di rumah sendiri? Memang Mas pikir, Ayya bakalan marah kalau bicara baik-baik?” cecar Manda sedikit ngos-ngosan. Hatinya deg-degan dengan deru napas cepat.
“Masalahnya, gue sudah terlanjur mengiyakan untuk mengalihkannamakan semua sertifikat atas nama anak-anak, tapi ternyata ada kebutuhan mendesak. Pokoknya gue nggak mau berdebat lagi dengan dia. Lebih baik gue ambil diam-diam, toh nanti gue ganti lagi, kok.”
“Gila kamu Mas! Gue aja gedek dengar lo ngomong gini, gimana Ayya?” Manda mencaci suami sahabatnya.
Abyan terdiam mendengar cibiran dari Manda. Dia tidak punya alasan untuk membela diri.
“Yan, gue jujur kecewa sama lo. Gue pikir solusi yang lo dapat itu tidak melibatkan keluarga, tapi nyatanya? Bukannya lo sendiri yang bilang beberapa waktu lalu, kalau dana darurat keluarga nggak akan lo otak-atik?” Hardi mengingatkan.
Terdengar helaan napas berat dari Abyan. “Gue nggak melanggar janji itu, Har. Yang gue pinjem ini di luar itu semua. Tabungan kita, masih aman, kok. Jadi, nggak akan mengganggu dana darurat keluarga.”
Hardi ikut menghela napas. Dia hanyalah orang luar yang tidak punya hak apapun untuk melarang sahabatnya ini, selain sebatas mengingatkan.
“Jadi, sekarang lo di mana?” tanya Hardi kemudian.
“Tadi sore, gue habis anterin surat-surat berharga ini sebagai jaminan pada seseorang yang sudah bersedia mengucurkan dana bantuannya. Selepas itu, gue langsung berangkat ke KL. Sekarang, lagi di hotel, nih.”
“Heh, bukannya besok, jadwal lo ke KL?” tanya Hardi sedikit curiga. “Sama siapa lo berangkat?”
“Lydia ….”
“Apa, Yan? Jadi lo sekarang, sekamar sama dia?” sambar Hardi tanpa menunggu Abyan menyelesaikan kalimatnya.

Berita Terkait

Selasa, 4 Februari 2025 - 17:40 WIB

Ini Dia Juara Pandora IWZ x Redaksiku.com 2024

Senin, 20 Januari 2025 - 10:32 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali ( Part 13 )

Senin, 20 Januari 2025 - 10:31 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali (Part 31)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Redaksiku.com
Alamat : STC SENAYAN LT.4 ROOM 31-34 Jl. Asia Afrika , Pintu IX Senayan, RT.1/RW.3, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270
Email : redaksiku.official@gmail.com