Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 23 )

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 10:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 23 )

“Sembarangan saja kalau ngomong!” protes Abyan. “Gue belum segila itu, Har.”
“Terus, Lidya di mana?” desak Hardi.
“Di kamar lainlah. Kalau nggak percaya, lo telepon saja Anggi, mereka sekamar. Lagipula, niat gue datang ke KL itu untuk urusan kerja, bukan yang lain.” Abyan membela diri.
Sebetulnya, pemilik ataupun pemimpin perusahaan tidak harus hadir langsung di acara seperti ini. Namun, karena Lidya dan Abyan ingin membangun koneksi yang lebih luas, jadi sengaja memanfaatkan acara tersebut. Keduanya berharap, bisa bertemu dengan beberapa kolega yang berpotensi menjadi partner bisnis baru.
“Tapi lo tetap gila, Yan … demi Lidya, sampai tega nyakitin istri lo sendiri,” sindir Hardi.
“Enak saja, siapa bilang ini demi Lidya? Gue melakukannya untuk masa depan keluarga, kok. Ya, walaupun mungkin tetap terkesan demi Lidya karena memang ini perusahaannya, kan?”
Manda mendengkus mendengar ucapan Abyan. “Mas, Aby … kalau memang yang Mas lalukan ini ada dalam kebaikan, kenapa harus sembunyi? Mas nggak tahu, ya, hari ini Ayya sepanik apa? Mas Aby kan, tahu kalau dia belum pernah nyetir ke luar kota?” Manda sengaja menyindir Abyan,
“Iya, tahu, kok. Gue lakuin itu pastinya dengan penuh pertimbangan. Nggak mungkin gue sengaja mau nyelakain anak dan istri sendiri. Gue tahu pasti gimana Ayya dan gue yakin kalau dia mampu melakukannya.” Abyan kembali berdalih.
“Kalau Mas Aby tahu banget gimana Ayya, kirimlah kabar padanya … biar dia nggak cemas,” sindir Manda lagi. “Dia nggak gigit, kok,” sarkasnya.
“Ya, sudah, nanti gue kabarin, deh. Thanks, ya, buat kalian berdua. Tolong jagain Ayya.”
Abyan mengakhiri sambungan teleponnya. Kemudian, dia membuka ruang obrolan bersama Ayyara. Untuk beberapa saat, dia pandangi layar ponselnya. Sedikit ragu, lelaki itu mulai mengetikkan pesan.
Abyan: Sayang, maafkan aku, ya. Aku janji kalau urusan kerjaannya sudah beres, aku pasti akan jelasin semuanya ke kamu. Please, kasih aku waktu sebentar lagi, ya.
Abyan mengakhiri pesannya dengan mengirimkan emoti permintaan maaf yang banyak. Dia berharap Ayyara masih mau memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Pada menit ke lima belas, centang pada pesan itu berubah menjadi biru, tapi hanya terbaca. Karena setelah tiga puluh menit, balasannya tak kunjung datang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22:30. Saat itu, Ayyara tengah duduk bersandar di atas kasur, menatap pesan yang dikirimkan suaminya sambil tersenyum sinis. Abyan tidak tahu sebelum dirinya mengirim pesan, sudah ada pesan lain yang terlebih dahulu masuk ke ponsel istrinya.
Mira: Raa, suami lo memang idaman banget. Tadi, gue nggak sengaja lihat dia di bandara lagi nolongin orang yang kopernya kesangkut. Jaura banget memang ‘Mas Aby-mu’ itu.
Begitu isi pesan yang dikirimkan Mira, salah satu anggota dari geng emak-emak teman TK-nya Zayyan. Pesan tersebut menyertakan foto Abyan tengah menyeret koper seseorang.
Dalam foto tersebut tidak hanya wajah Abyan yang tampak, tapi di sana juga ada Lidya. Gadis itu tengah berbicara pada Abyan sambil tersenyum lebar.
Ayyara menatapnya dengan perasaan campur aduk. Bagaimana dirinya sepanjang hari ini gelisah memikirkan sang suami, tapi ternyata orangnya tengah pergi berdua ke luar negeri.
‘Kamu pikir, bisa selamanya menutupi ini dengan dalih pekerjaan, Mas? Tanpa aku minta, bukti itu selalu Allah hadirkan ke hadapanku,’ batin Ayyara.
Hatinya terkoyak, tapi entah kenapa tak ada air mata yang menetes. Seakan sumbernya telah kering, ia enggan untuk mengalirkan kembali buliran bening itu pada pipinya. ‘Apakah ini yang namanya mati rasa?’ Ayyara bertanya dalam hati.
Dia matikan telepon genggamnya, lalu meletakkan benda tersebut di atas meja nakas. Setelah itu, Ayyara menarik selimut dan mencoba untuk memejamkan mata. Sampai terbangun keesokan harinya dengan semangat baru.
Ibu dua anak ini ingin bangkit dari keterpurukan, menghadapi kenyataan hidup dengan optimis. Fokusnya akan dia alihkan pada hal-hal lain yang bisa membuatnya lebih bahagia.
Setelah mengantarkan anak-anak sekolah dan menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Ayyara pun berangkat menuju sebuah kafe di kawasan Yasmin. Sekitar jam sepuluh pagi, dia membuat janji temu dengan Manda dan Hardi di sana.
“Sini, Ay!” teriak Manda sambil melambaikan tangan menyambut kedatangan Ayyara.
Ibu dua anak itu tersenyum dan bergegas menghampiri. “Hai, sudah lama nunggunya, ya?” sapa Ayyara basa-basi.
“Nggak, kok. Kita juga belum lama datangnya,” tanggap Manda. “Lo gimana kabarnya hari ini?”
“Alhamdulillah, gue baik, sangat baik, malah,” ujarnya dengan wajah berseri-seri.
“Wuih, Abyan berhasil bujukin lo?” tanya Hardi penasaran.
Ayyara mengernyitkan kening. “Apa hubungannya sama dia? Sudahlah, nggak perlu bahas-bahas lagi soal dia. Males gue, nggak penting!” tegasnya dengan wajah serius.
Manda dan Hardi saling berpandangan. Saat mendengar Ayyara mengucapkan kalimatnya, ada desiran halus yang Hardi rasakan. Entah kenapa, rasanya seperti kita hadir di depan seseorang, tapi orang itu seakan tidak melihatnya.
Hardi yang tadinya bermaksud untuk membantu menjelaskan alasan kepergian Abyan, jadi mengurungkan niatnya setelah melihat reaksi Ayyara seperti itu.
“Hari ini jadi kan, kita ketemu Mas Alden?” tanya Ayyara antusias.
Manda mencubit lengan suaminya yang berada di bawah meja. Hardi sedikit meringis, tapi dia paham maksud istrinya. Dia pun sama-sama khawatir melihat perubahan sikap Ayyara.
“I-iya, insyaallah jadi,” jawab Manda sedikit terbata.
“Iih, jadi nggak sabar pengin cepat-cepat tahu kerjaannya kayak gimana,” ungkap Ayyara seakan bicara pada dirinya sendiri.
“Oh, iya. Ay, mau titip pesan, nggak? Siang ini, rencananya gue bakalan nyusul Abyan ke KL,” tawar Hardi sekaligus memberikan informasi.
“Oh, jadi mereka pergi ke KL,” ujarnya tak acuh. “Salam saja, semoga bahagia.”
Ayyara mengucapkan itu dengan ekspresi wajah datar, bahkan sikapnya terkesan sangat dingin. Dia tak acuh dan sibuk membaca deretan nama makanan dan minuman yang tertera di dalam buku menu kafe tersebut.
Bulu kuduk Hardi sampai meremang kala melihat Ayyara yang super jutek seperti itu. Dia pun segera pamit meninggalkan istri dan sahabatnya ini. “Sayang, dari kantor nanti, aku langsung ke bandara, ya.”
Manda mengangguk. “Oke, hati-hati, ya. See you soon.”
Hardi pun pergi setelah mencium kening istrinya. Ayyara ikut senyum-senyum melihat kemesraan mereka berdua.
“Gue ikut happy lihat kalian berdua. Semoga langgeng sampai kakek nenek,” doanya tulus.
Manda tersenyum. “Thanks, Ay. Gue harap lo juga akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya bersama Abyan.”
Ayyara tidak bereaksi atas ucapan sang sahabat. Lebih tepatnya dia pura-pura tidak mendengar. Manda pun tidak mau terkesan memaksa, jadi memilih mengikuti apa maunya saja.
“Btw, Ay … tadi, lo komentar, ‘Oh, mereka pergi ke KL?’, maksud merekanya itu siapa?” tanya Manda penasaran.
“Alah, nggak usah pura-pura, lo! Sebelum gue, pastinya lo sama Mas Hardi sudah tahu lebih dulu, kan, bahwa Mas Aby ke KL sama Lidya?” tebak Ayyara.
Manda sedikit menundukkan wajahnya. “Entahlah, apa lo duluan atau kita yang lebih dulu tahu. Yang jelas, gue sama Mas Hardi baru tahu tadi malam sekitar jam setengah sepuluh. Itu pun Mas Aby sendiri yang ngabarin Mas Hardi.”
“Berarti gue tahu lebih dulu karena ada teman yang kirim foto Mas Aby waktu di bandara berdua dengan Lidya,” ujar Ayyara tanpa ekspresi.
“Gue bukan mau belain Mas Aby, tapi mereka nggak pergi berdua, kok. Ada pegawai di kantor yang ikut barengan, namanya Anggi.” Manda mencoba membantu sedikit meluruskan situasi.
Namun, Ayyara bergeming. Dia tidak terpengaruh dengan informasi yang diterimanya sekarang. Bagi ibu dua anak ini tidak ada bedanya, yang jelas sang suami sudah menentukan pilihan, begitu pula dengan dirinya.
“Sudahlah, Man … nggak usah belain ataupun bantuin dia lagi dengan kasih info ini itu. Gue sudah nggak peduli!” tegasnya trdengar sangat ketus.
Manda pun terdiam tak berkutik. Dia tak mau memperpanjang persoalan. Sampai kemudian, datanglah seorang mengurai ketegangan di antara mereka berdua. Lelaki berperawakan tegap setinggi Abyan. Bedanya, orang ini berkulit cokelat khas pria Indonesia, sedangkan Abyan berwajah oriental.
Lelaki tersebut datang menghampiri setelah Manda melambaikan tangannya ketika dia memasuki kafe tersebut. “Hai, Man, sorry gue telat.”
“It’s okay. Gue juga belum lama, kok,” tanggap Manda sambil berdiri, lalu melirik ke arah Ayyara yang ada di depannya. “Oh, iya, kenalin, nih … Ayyara.”
Lelaki itu langsung menoleh ke samping. “Hai, apa kabar kamu?” tanyanya langsung mengubah panggilannya tidak seperti pada Manda.
Ayyara terdiam beberapa saat sambil mengingat wajah orang tersebut. Keningnya berkerut. “Sebelumnya, kita pernah ketemu, ya?” Ayyara tidak menjawab malah balik bertanya.
Lelaki itu tersenyum sambil menaikkan alisnya, lalu menganggukan kepala. “Ingat nggak di mananya?”
“Eh, kalian berdua malah main tebak-tebakan. Ayo, duduk dulu, Al,” titah Manda memotong pembicaraan keduanya.
Lelaki itu terkekeh, lalu tanpa ragu duduk di sebelah Ayyara. Manda baru menyadari ketika sahabatnya datang, dia masih duduk bersebelahan dengan sang suami. Sehingga istri Abyan itu duduk di kursi kosong yang ada di depan mereka.
Sekarang, posisinya gantian. Manda duduk sendiri, sedangkan Ayyara berdampingan dengan Alden. Ada perasaan menyesal dalam hatinya karena tidak menyadari hal ini lebih awal. Bagaimana dia harus menghadapi pertanyaan Abyan nanti, padahal dirinya sudah dititipi untuk menjaga Ayyara.
“Sekarang, sudah ingat di mana kita pernah ketemu?” Alden mengulangi pertanyaannya sambil menoleh ke samping menatap lekat wajah Ayyara yang pagi itu terlihat sangat segar dan berseri-seri.
Ayyara sedikit tersipu. Dia langsung memalingkan wajahnya, tidak berani membalas tatapan lelaki itu lebih lama lagi. Hatinya seketika berdebar-debar ketika pandangan mereka tak sengaja saling bertemu. Dalam hatinya, dia langsung beristighfar. ‘Ayya, kamu memang marah sama Mas Aby, tapi bukan berarti harus balas mengkhianatinya!’ tegurnya pada diri sendiri.
“Duh, di mana, ya? Aku masih nggak ingat. Maaf,” ucap Ayyara sambil pura-pura menggaruk pelipisnya untuk menghindari tatap mata Alden yang tak mau berpaling dari wajahnya.
“Kita satu kelompok pas dulu ospek universitas,” ungakapnya.
Ayyara kembali mengerutkan dahi mengingat peristiwa yang terjadi hampir sepuluh tahun lalu. “Tapi seingatku, nggak ada yang namanya Alden?” sangkalnya.
“Iya, dulu aku kenalannya dengan nama Prasetyo,” ujarnya menjelaskan.
“Ooh, iya, iya, aku ingat. Dulu aku panggilnya, Mas Pras, kan? Karena umur kamu lebih tua satu tahun.” Ayyara mulai teringat kembali kenangan itu.
Manda yang menyaksikan dua orang bernostalgia jadi kesal sendiri. Apalagi, keduanya menggunakan panggilan aku-kamu yang biasanya hanya digunakan pada orang-orang terdekat di lingkungan keluarga, bukan dalam lingkup pekerjaan.
Kemudian, dia pun iseng memotret keakraban di antara Ayyara dan Alden saat ini dan mengirimkan foto tersebut pada sang suami dengan caption, “Ancaman berat buat Abyan.”

Berita Terkait

Selasa, 4 Februari 2025 - 17:40 WIB

Ini Dia Juara Pandora IWZ x Redaksiku.com 2024

Senin, 20 Januari 2025 - 10:32 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali ( Part 13 )

Senin, 20 Januari 2025 - 10:31 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali (Part 31)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Redaksiku.com
Alamat : STC SENAYAN LT.4 ROOM 31-34 Jl. Asia Afrika , Pintu IX Senayan, RT.1/RW.3, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270
Email : redaksiku.official@gmail.com