Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 24)
Hardi tiba di Kuala Lumpur, Malaysia sekitar jam tiga sore. Saat itu, dia langsung menuju hotel, tempat di mana Abyan menginap. Setelah melakukan check in dan menyimpan koper bawaannya, dia pun pergi ke lokasi pameran yang ada di area rooftop garden—sebuah taman yang berada di atap bangunan—mall besar di kawasan Bukit Bintang City Center.
Abyan memberikan informasi bahwa seluruh peserta festival sedang melakukan persiapan sebelum penyelenggaraan acara di mulai, esok hari.
“Har, di sini!” seru Abyan begitu melihat Hardi datang.
Lelaki itu berlari kecil menghampiri Abyan yang sedang sibuk membantu tim dari perusahaan Lidya untuk menyiapkan stand mereka.
“Sudah hampir selesai, ya?” tanya Hardi membuka pembicaraan.
“Iya, tinggal nyiapin perintilan yang kecil-kecilnya saja. Lo baru banget sampai?” Abyan balik bertanya.
“Iya, beneran. Ini nggak sempat ganti baju, sampai hotel cuma naro koper. Habis itu, gue langsung cabut kemari.”
“Hai, Pak Har, baru sampai?” Tiba-tiba Anggi datang menyapa.
“Hai, Nggi … iya, nih. Gimana, semua urusan di sini lancar, kan?” tanya Hardi. “Sudah dapat apa kamu, 2 hari di KL?” candanya.
“Hahaha, bisa saja, Pak Hardi ini … dapat apa, ya?” Anggi terlihat tengah serius berpikir. “Hmm, ketemu pengusaha-pengusaha keren yang pasti, Pak.”
Hardi pun terkekeh. Bersamaan dengan itu, dia melihat Lidya datang menghampiri sang sahabat. Dengan santainya, perempuan ini berbisik sehingga Abyan harus sedikit membungkukkan badan agar bisa mendengar ucapannya.
Suami Manda ini geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak tergoda kalau gerak-gerik Lidya seperti itu? Semua lelaki akan mengulurkan tangannya dengan suka rela jika dihampiri perempuan seperti dia. Hardi pun pura-pura berdeham untuk menyadarkan keduanya bahwa di sana tidak hanya ada mereka berdua.
“Oh, iya, Li … kenalin, nih, Hardi …. sahabat sekaligus partner bisnisku,” ujar Abyan seraya menoleh ke arah sahabatnya.
“Oh, halo Pak Hardi … saya Lidya, senang berjumpa dengan Anda,” sambutnya begitu formal sembari mengulurkan tangan.
Hardi menerima uluran tangan perempuan itu. “Halo, salam kenal.”
Belum sempat untuk berbicara lagi, Lidya sudah mendahului. “Mas, boleh antar aku dulu sebentar ke sana?” pintanya sembari menunjuk ke area dalam mall.
“Oh, oke,” jawab Abyan begitu ringan. “Har, gue tinggal sebentar, ya.”
Perempuan itu pun menggandeng lengan Abyan dan berjalan berdampingan memasuki mall. Hardi hanya bisa terbengong-bengong melihat interaksi keduanya.
“Kaget lihatnya, ya, Pak?” tanya Anggi mengejutkan Hardi.
“Oh, eh, iya, Nggi … saya baru pertama kali bertemu langsung.”
“Kirain cuma saya yang terkejut lihat Pak Lee bisa seramah itu sama perempuan,” ujarnya. “Beda banget dengan sikap dia di kantor.”
Hardi menghela napas sambil mengekori langkah Abyan yang masih terlihat olehnya karena dinding mall tersebut terbuat dari kaca.
“Kalau saya nggak tahu Pak Lee sudah nikah, mungkin akan langsung percaya kalau itu kekasihnya,” celetuk Anggi lagi. “Bu Lidya itu manja banget sama Pak Lee.”
Hardi memejamkan mata sejenak. Dia teringat rasa sakit di hatinya saat Ayyara menyatakan ketidakpeduliannya pada Abyan. ‘Mungkin itu juga yang dirasakan Ayyara,’ batin Hardi mencoba menganalisa.
“Tapi mereka nggak berbuat yang aneh-aneh, kan, Nggi?” selidik Hardi seraya menatap tajam karyawatinya ini.
“Masih aman, Pak … dari yang saya amati, kelihatannya Pak Lee itu sering merasa nggak enak untuk menolak.”
Hardi manggut-manggut. “Tebakanmu benar, Nggi … bos kamu itu memang nggak enakan ….”
“Kecuali urusan kerjaan,” potong Anggi sambil terkikik yang disusul oleh tawanya Hardi.
Sementara itu, Abyan setengah diseret memasuki sebuah outlet ternama yang menjual fashion dan semua pelengkapnya termasuk tas dan sepatu.
“Ngapain, sih, ke sini?” protes Abyan.
“Iih, Mas bantuin aku pilih baju buat acara pepembukaan besok,” rajuk Lydia dengan suara dibuat-buat.
Abyan memutar bola matanya seraya manarik napas kasar. “Li, kerjaan utama kita saja belum kelar, ini malah pilih-pilih baju,” dengkusnya kesal.
“Sebentar saja, Mas. Tunggu, ya, aku masuk kamar pas dulu, nanti, Mas kasih penilaian.” Lidya pergi dengan membawa beberapa stel baju yang akan dicobanya.
Abyan terlihat salah tingkah. Dia merasa jengah, tapi tak bisa menghindar dari situasi yang terjadi. Dirinya terpaksa berdiri mematung di dekat kamar pas sambil melihat kedua tangannya di depan dada.
Pikirannya tiba-tiba teringat pada sang istri. Dia malah membayangkan yang sedang ditunggunya itu Ayyara. Abyan juga baru menyadari bahwa mereka sudah lama sekali tidak pergi berdua sekedar untuk jalan-jalan, ataupun menikmati suasana belanja seperti awal-awal nikah dulu.
Saat sedang melamun itu, Lidya keluar dengan memakai pakaian pilihannya. “Gimana yang ini, Mas? Cocok nggak, di aku?”
Abyan terlihat senyum-senyum sendiri tanpa menjawab pertanyaan Lidya.
“Mas Aiden!” sentaknya cukup keras membuat Abyan gelagapan.
“Eh, sorry … tadi kamu tanya apa?”
“Iih, Mas jahat! Dari tadi nggak merhatiin aku, ya?” Lidya cemberut.
Abyan melangkah mendekati Lidya. “Li, please, kamu nggak usah kayak gini. Entar, dikira kita ada hubungan apa-apa lagi,” ucap Abyan setengah berbisik.
“Terus, kenapa? Memang ada hubungan apa-apa, kan?” tanggapnya tak peduli dengan penilaian orang-orang yang memperhatikan keduanya.
Abyan mengepalkan tangannya kuat-kuat, wajahnya mulai memerah dengan rahang yang mengeras. “Itu sudah oke, nggak usah coba yang lain!” ketusnya sembari melangkah pergi menuju meja pembayaran.
Dari kejauhan ada seorang pria sedang memperhatikan gerak-gerik Abyan, sejak dia berdiri mematung di depan kamar pas.
“Sayang, lagi ngapain? Kok, senyum-senyum sendiri?” tanya seorang wanita berjilbab kisaran usia 26 tahun pada pria tersebut.
“Eh, nggak, barusan aku lihat pasangan yang lagi berantem,” jawabnya masih menyisakan senyuman.
“Iih, Mas El … lihat orang berantem, kok, malah senang?” tegurnya.
“Lucu saja, jadi inget kamu kalau lagi ngambek,” ungkap pria itu.
“Jadi penasaran, yang mana, sih, orangnya?”
Pria yang dipanggil Mas El itu pun menoleh ke arah kamar pas. Saat itu, kebetulan Lidya keluar dari sana setelah berganti dengan pakaian semula.
“Tuh, ceweknya yang itu.” Dia menunjuk dengan gerakan mata dan sedikit memajukan bibirnya.
“Ow, pantas saja senang, cantik, sih. Gayanya mirip-mirip mantan kamu, ya?” sindirnya.
Pria itu terkekeh. “Tapi di mataku tetap kamu, istriku yang paling cantik,” akunya seraya merangkul perempuan berhijab itu.
“Halah, gombal,” ujarnya dengan bibir mencebik.
“Eh, beneran, Nara Sayaang, kamu masih nggak percaya? Apa perlu aku umumin di sini?” Pria itu bersiap untuk teriak, tapi dengan sigap sang istri menutup mulutnya.
“Iya, iya, aku percaya. Iih, Mas El kayak preman, deh, sukanya ngancam-ngancam,” ujar sang istri bersungut-sungut.
Lelaki itu kembali tertawa sambil mengusap gemas kepala wanita itu. “Kamu sudah belanjanya? tanyanya yang dijawab dengan anggukan.
“Kalau sudah, ayo … kita balik ke stand,” ajaknya pada sang istri sambil menggandeng lengannya.
“Eh, Mas … terus cowoknya yang tadi, mana?” tanya wanita itu sembari mengekori langkah Lidya yang berjalan ke arah kasir.
“Kayaknya pergi duluan, aku juga nggak sempat melihat wajahnya,” ucap pria itu.
“Pasti ganteng, soalnya itu ceweknya saja cantik banget,” tebak sang istri yang ditanggapi senyuman oleh suaminya.
Ternyata, pasangan itu pun menjadi salah satu peserta festival ASEAN food yang berasal dari Indonesia juga. Begitu sampai di area pameran, sang istri menyikut pinggang suaminya. “Mas, itu perempuan tadi?”
“Eh, iya, deketan lagi standnya sama kita,” timpalnya setengah berbisik.
“Permisi, Pak, Bu, boleh kenalan?” tiba-tiba seseorang menyapa keduanya dari belakang.
Pasangan itu menoleh ke arah suara secara bersamaan. “Oh, boleh-boleh … saya Elnara,” sahutnya sambil mengulurkan tangan.
“Saya Anggi,” balasnya seraya menyambut uluran tangan Elnara.
Sementara, pria itu baru saja akan mengenalkan diri, tapi keburu dipotong oleh Anggi. “Pak Shaga, kan?”
Elnara dan suaminya saling berpandangan. “Kok, tahu, Mbak?”
Anggi senyum-senyum. “Wah, jangan ngaku-ngaku pembaca setia majalah bisnis kalau nggak kenal Pak Shaga Elang Dirgantara,” akunya bangga. “Saya salah satu fansnya Pak Shaga, nih. Nggak apa-apa, kan, bu?” ujar Anggi sambil cengar-cengir.
Elnara terkekeh. “Baru tahu kalau suami saya punya fans juga. Sudah kayak artis-artis saja kamu, Mas,” ledeknya pada sang suami.
Shaga hanya mengedikkan bahu sembari menarik garis bibirnya ke bawah. “Oh, iya, Anggi peserta pameran juga?” Dia mengalihkan topik pembicaraan.
“Bukan saya, sih, tapi perusahaan yang menjadi klien di kantor tempat saya bekerja,” jawab Anggi. “Kalau Pak Shaga, produk apa, nih, yang diikutsertakan pada festival kali ini?”
Shaga menoleh ke samping. Tanpa melepaskan rangkulan pada istrinya, dia tersenyum dan berkata, “Kali ini, saya hanya mengantar istri saja.”
Anggi mengangkat kedua alisnya. “Wah, produk Ibu apa? Saya baru tahu, nih, ternyata istri Pak Shaga bisnis di bidang makanan juga, ya?”
Elnara tersenyum. “Masih belajar, Mbak. Ini ikut untuk mengenalkan saja ke pasar yang lebih luas,” jawabnya merendah. “Stand kliennya Mbak Anggi yang mana?” Elnara balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Anggi.
Kemudian, Anggi menunjuk stand yang ada tadi dilihat pasangan suami istri ini.
“Oh, yang ada wanita cantik itu, ya,” ungkap Elnara.
Anggi mengangguk. “Iya, itu pemilik perusahaannya.”
“Oh, dia datang sama suaminya, ya?” tebak Elnara. “Tadi, saya dan suami melihat mereka berdua lagi belanja di dalam.”
“Ooh, maksudnya Pak Lee? Dia bos saya, tapi bukan suaminya Bu Lidya. Mereka hanya rekan bisnis saja.” Anggi menjelaskan.
“Hoh?” Elnara membelalakan mata, lalu menoleh pada Shaga. “Tebakan kita salah ternyata.”
Anggi hanya sedikit menarik ujung bibirnya. Dia sengaja langsung memberitahukan kebenaran hubungan sang atasan sebelum banyak orang yang salah paham. Sejujurnya, Anggi pun tidak suka dengan tingkah Lidya.
“Bos kamu ke mana?” Shaga kembali bertanya.
“Oh, sedang keluar bersama rekannya. Mungkin besok saat pembukaan, Pak Shaga baru bisa bertemu.”
Shaga manggut-manggut. Semoga saja besok bisa berjumpa,” ucapnya. “Kalau begitu kami permisi dulu.” Keduanya pamit meninggalkan Anggi.
Sepeninggal pasangan itu, pegawai Abyan ini pun kembali ke stand milik Lidya. Dia ikut menyelesaikan segala keperluan untuk acara pembukaan besok. Sedangkan di lain tempat, tepatnya di kamar hotel, Abyan tengah uring-uringan setelah mendengar cerita Hardi tentang sikap Ayyara tadi pagi.
“Lo nggak usah nambah-nambahin, Har,” sergah Abyan sedikit meninggikan suara.
“Apa faedahnya buat gue, Yan? Justru gue ikut prihatin sama lo. Baru kali ini, gue lihat Ayya begitu. Bulu kuduk gue saja sampai merinding,” ungkap Hardi sambil bergidik.
“Tapi nggak mungkin Ayya begitu. Dia cinta banget sama gue karena gue pun begitu padanya,” sangkal Abyan masih tidak percaya.
“Bro, dulu mungkin iya, tapi pas lihat sikap lo ke Lidya tadi, gue bisa memahami sesakit apa Ayya atas perlakuan lo sama dia.” Hardi menyampaikan pendapatnya. “Saran gue, kalau memang lo masih mau mempertahankan Ayya, cepatlah bertindak. Sebelum, lo benar-benar terlambat! Karena penyesalan tidak pernah datang di awal.”
Abyan terdiam mencerna omongan sahabatnya itu.
“Kalau lo masih nggak percaya, coba lihat ini,” ujar Hardi lagi sambil menunjukkan kiriman foto dari Manda. “Apa pernah Ayya tersenyum sebahagia itu di depan laki-laki lain?”
Suami Ayyara ini menatap layar ponsel sahabatnya dengan perasaan tak keruan. Hatinya seperti dicubit kecil, berdenyut-denyut dan nyelekit sampai ke tulang.
Halaman : 1 2 Selanjutnya
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow