Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 25)

- Penulis

Senin, 2 Desember 2024 - 10:42 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( part 14 )

Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 25)

“Apa iya, Ayya sesakit itu, Har?” tanya Abyan dengan tangan masih memegang ponsel milik sahabatnya.
Hardi menepuk-nepuk pundak Abyan yang masih melongo melihat foto istrinya sedang senyum semringah di samping Alden. “Lo harus kuat ,Yan … gue rasa masih ada kesempatan kalau memang lo serius mau memperbaiki.”
“Tapi, gue nggak pernah bermaksud menyakiti Ayya, Har … demi Tuhan gue cinta banget sama dia.” Abyan merengek seperti anak kecil.
“Gue tahu, tapi terkadang kesadaran itu datang terlambat,” selorohnya. “Meskipun begitu, nggak ada salahnya untuk berjuang dulu, buktikan kalau lo masih menginginkannya.”
Abyan menatap sahabatnya. “Apa gue balik ke Bogor sekarang juga?”
“Ya, nggak gitu juga, Yan … lo masih punya tanggung jawab di sini.”
“Ck, tadi suruh berjuang? Sekarang, malah dilarang,” gerutunya.
Hardi terkekeh. “Lo tenang saja, gue yakin Ayya nggak akan secepat itu berpindah ke lain hati. Ya, walaupun mungkin sikapnya itu sedingin es di Kutub Selatan, tapi hatinya nggak akan mudah berpaling. Percaya sama gue,” hibur Hardi.
Senyum Abyan kembali terbit. “Thanks, Har, gue jadi optimis lagi.”
“Anytime, Bro.” Sang sahabat hanya mengacungkan jempolnya. Kemudian, dia berjalan ke arah tempat tidur. Maksud hati ingin merebahkan badan sejenak karena sejak datang tadi, dia belum istirahat sama sekali. Tapi, suara ketukan pintu mengurungkan niatnya.
Hardi menoleh pada Abyan yang masih duduk di ujung tempat tidurnya. “Lo ada janji?” tanyanya yang dijawab gelengan kepada oleh Abyan.
“Jangan-jangan Lidya?” tebak Hardi. “Lo mau temuin?”
Abyan bukannya menjawab, malah naik ke atas kasur. Kemudian, dia memiringkan tubuhnya dan menutup mata. “Gue mau tidur.”
Sang sahabat tersenyum, lalu berjalan menuju pintu. Benar dugaannya, begitu pintu dibuka, ada Lidya berdiri di sana.
“Mas Aiden ada di dalam?” tanyanya tanpa basa-basi sembari menggerak-gerakkan kepala melongok ke dalam.
“Ada, tapi sudah tidur,” jawab Hardi.
“Hah? Nggak mungkin. Ini baru jam tujuh, masa sudah tidur?” sanskinya.
Dia pun penasaran dan berusaha untuk masuk kamar, tapi Hardi sigap mencegahnya dengan segera memegang handle pintu agar tidak terbuka lebih lebar.
“Mbak, Abyan beneran sudah tidur, jadi silakan kembali ke kamarnya,” pinta Hardi masih dengan cara baik-baik.
“Tapi aku nggak percaya. Mas Aiden nggak pernah kayak gini, biasanya selalu ngabarin.” Lidya masih ngotot. “Aku nggak akan pergi sampai lihat sendiri.”
Hardi menarik napas kasar, hatinya menggerutu. Dia berharap Abyan benar-benar tertidur agar rencananya untuk mulai menjauhi Lidya bisa terlaksana.
“Ya, sudah, tapi kalau terbukti sudah tidur, jangan ganggu dia lagi!” Hardi mewanti-wanti.
“Oke,” jawab Lidya begitu percaya diri karena dia tahu, tidak mungkin Abyan tidur secepat itu.
Hardi memutar tubuhnya, berjalan menuju tempat tidur Abyan dan diikuti Lidya dari belakang.
“Yan, ada yang nyariin, nih!” seru Hardi cukup lantang, tapi Abyan bergeming.
Lidya pun datang mendekat. Dia melihat lelaki pujaannya memang sudah tertidur. Ritme napasnya teratur, bahkan dengkuran halusnya pun mulai terdengar. Perempuan itu tambah cemberut karena tangan Abyan memegang ponsel yang masih menyala, menampilkan foto Ayyara di layar.
Hardi tersenyum puas, ternyata sahabatnya ini benar-benar menunjukkan keseriusannya. “Silakan keluar sekarang, ya, Mbak. Saya juga mau istirahat.” Hardi mengusirnya secara halus.
Lidya sedikit menghentakkan kakinya, melangkah keluar sembari bersungut-sungut. Hardi langsung menutup dan menguncinya karena khawatir perempuan itu akan kembali lagi.
Sepeninggal Lidya, Hardi mencoba membangunkan Abyan. “Bro, aman! Sudah cabut tuh, cewek,” ujarnya, tapi ternyata suami Ayyara ini benar-benar tertidur pulas.
Sang sahabat akhirnya hanya bisa nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia pun mengabadikan momen itu dengan memotret Abyan yang tertidur lelap sambil memegangi foto istrinya.
Selanjutnya, dia melakukan video call pada istrinya, melaporkan kelakuan sahabat mereka.
“Jadi beneran tidur, dia?” tanya Manda masih tak percaya.
“Iya, ini, coba lihat sama kamu. Mana sambil pegangin foto Ayya lagi,” kata Hardi sambil mengarahkan kamera pada Abyan yang posisi tidurnya masih belum berubah.
Manda terkikik geli. “Eh, coba kita add Ayya, siapa tahu bisa bantu redakan perang dingin mereka,” usul Manda.
“Nah, boleh, tuh, coba kamu saja, Sayang … add sekarang.”
Manda pun langsung menambahkan nomor kontak Ayyara pada panggilan video tersebut.
Tak lama kemudian, “Iya, Man … ada apa? Pakai acara video call grup segala,” tanyanya saat panggilan tersambung.
“Ini lho, Ay … lucu lihat kelakuan suami lo yang lagi kangen sama istrinya.” Hardi menjawab pertanyaan Ayyara.
“Memangnya dia ngapain, Mas?” tanya Ayyara dengan ekspresi wajah datar seperti pagi tadi.
Hardi langsung memutar arah kameranya menjadi kamera belakang yang menunjukkan Abyan sekarang. Lelaki itu masih berada dalam keadaan tidur pulas dengan posisi miring ke kanan. Kedua tangan ada di samping wajahnya di mana tangan kanan memegangi ponsel dengan layar yang masih menyala karena tersentuh oleh ujung jari tangan kiri.
“Yan, bangun … makan dulu, yuk!” ajak Hardi sambil menggoyangkan badannya, tapi Abyan bergeming. Bahkan saat Hardi iseng mencoba menarik ponselnya, secara refleks tangan Abyan menahannya dengan cengkraman kuat.
Melihat itu, Ayyara berusaha tetap tenang, mempertahankan ekspresi datar pada wajahnya, meskipun dalam hati bersorak-sorai. Sejak Hardi mengalihkan kameranya, diam-diam dia merekam panggilan tersebut dengan segera menekan lambang screen record atau rekam layar pada ponselnya.
“Sejak kapan dia tidur, Mas?” tanya Ayyara berusaha setenang mungkin.
“Tadi, habis salat. Padahal, cuma ditinggal buka pintu karena ada yang ngetuk-ngetuk kamar,” jawab Hardi.
“Terus, Mas belum makan malam dong?” Manda mengalihkan topik takut Ayyara menanyakan siapa yang ketuk pintu.
“Ya, belumlah. Teman nongkinya ngorok gitu,” tanggap Hardi sambil tertawa diikuti Manda. Sementara Ayyara, hanya sedikit menarik ujung bibirnya.
“Ya, sudah, Mas Hardi … gue izin keluar, ya. Biar kalian bisa lanjut ngobrolnya. Lagian, gue harus nemenin Tsabita tidur,” ungkap Ayyara beralasan.
“Oke, deh. Bye!” Hardi melambaikan tangan.
“By Manda!” Ayyara pun pamitan pada sahabatnya.
“Eh, Mas, lihat Ayya barusan, nggak? Aku pikir dia bakalan antusias, senyum-senyum pas lihat Abyan gitu, tapi ternyata masih sama kayak tadi pagi.” Manda langsung berkomentar saat panggilan dengan Ayyara terputus.
“Iya, serem juga lihat dia begitu, ya?” tanggap Hardi.
“Sebetulnya dulu, Ayyara itu emang anaknya cepat marah. Meskipun ramah, tapi dia itu galak, bahkan bisa jutek banget kayak tadi pagi. Justru sejak berhubungan dengan Abyan, dia jadi lebih lembut. Makanya, kalau sekarang balik ke mode asal, pasti karena terlalu kecewa pada Abyan,” ungkap Manda.
Hardi menarik napas cukup panjang. “Semoga mereka bisa lewatin ini semua dengan baik. Bisa sama-sama lagi seperti awal mula keduanya memutuskan untuk bersama.”
Manda mengaminkan doa suaminya, sekaligus mengakhiri panggilan video mereka. Sedangkan sang suami, memutuskan pergi keluar untuk mencari makanan pengganjal perutnya yang sejak tadi menjerit kelaparan.
Keesokan harinya, Abyan memutuskan untuk berangkat ke lokasi festival lebih pagi dari jam pembukaan acara. Dia beralasan ingin memastikan semua kebutuhan pameran sudah disiapkan dengan lengkap.
“Bu Lidya mau berangkat jam berapa?” tanya Anggi yang sudah siap berangkat.
“Nantilah, ini baru jam 09:00, masih ada waktu satu jam-an lagi,” ujarnya sambil mematut diri di depan cermin.
“Oh, kalau begitu saya izin berangkat duluan, ya, Bu.” Anggi pamit.
“Ya, sudah, tapi tolong kirimkan pesan pada Pak Lee, saya lagi ribet,” titahnya sambil mengangkat kedua tangannya yang sedang memegang alat make-up. “Bilangin, untuk jemput saya sebelum dia berangkat.”
Setelah ragu Anggi buka suara. “M-maaf, Bu, setahu saya Pak Lee sudah berangkat dari jam 08:30 tadi, katanya ada yang harus diurus dulu.”
Lidya terkesiap. Dia menghentikan gerakan tangannya yang sedang menyapukan blush on di wajahnya, lalu melotot ke arah Anggi. “Kamu tahu dari mana? Kok, dia nggak kabarin saya?” sergahnya.
“Eueu, itu, tadi waktu saya sarapan ketemu Pak Lee di bawah,” jawab Anggi takut-takut.
“Kenapa kamu nggak ngomong sama saya?” bentaknya.
“M-maaf, Bu. Saya kira Pak Lee sudah kabarin Ibu duluan,” jawab Anggi. “Kalau begitu, saya permisi, ya, Bu.”
Anggi cepat-cepat pergi meninggalkan kamar tersebut. Dia senyum-senyum sendiri karena sesaat sebelum keluar masih mendengar Lidya uring-uringan sebab Abyan tidak mengangkat teleponnya.
Sementara orang yang sedang dibicarakan itu tengah asyik menikmati kopi paginya bersama Hardi di kafe yang berada di lokasi acara.
Good job, Bro. Langkah yang keren,” ujar Hardi sembari mengacungkan jempolnya.
“Sebenarnya gue nggak tega, Har, tapi gue lebih nggak rela Ayya dekat-dekat Alden.”
Hardi terkekeh. “Sudah lama gue nggak lihat mode cemburunya seorang Abyan Aiden Lee.”
Abyan hanya mengernyih. “Eh, btw, pagi ini kenapa gue happy banget, ya, Har? Rasanya beda saja, kayak ada sesuatu yang gue nanti-nantikan,” cetusnya sembari mata menerawang jauh.
“Karena lo ninggalin Lidya di hotel, kali,” canda Hardi sembari tergelak.
Abyan mengerutkan kening. “Masa, sih, apa karena tadi pagi Ayya chat gue, ya?”
“Wuih, ngomong apa dia?” tanya Hardi sembari deg-degan karena peristiwa video call tadi malam belum dia ceritakan pada sahabatnya itu.
“Nggak banyak, sih, cuma bilang kalau sepupu sama suaminya mungkin akan datang ke acara festival ini,” jawab Abyan. “Seenggaknya, Ayya sudah mau chat gue duluan, daripada kemarin nggak dibalas sama sekali.”
“Iyalah, lo yang sabar saja. Mengembalikan kepercayaan yang pernah kita khianati itu memang nggak mudah,” komen Hardi.
“Heh, sembarangan! Memangnya kapan gue berkhianat pada Ayya?” Abyan langsung menatap tajam sahabatnya hingga membuat Hardi sedikit gentar.
“Iya, gue tahu, tapi nyatanya … tanpa lo sadari, Ayya merasa dikhianati,” lontar Hardi.
Abyan terdiam. Suasana hatinya yang tadi sedikit cerah, kini terasa sesak kembali. Dia merasa permasalahannya berputar-putar di satu tempat yang sama. Saat bengong itulah datang seseorang menyapa.
“Permisi!” sapanya.
Abyan langsung menoleh pada seorang pria yang berdiri di depan mejanya.
“Byan, kan?” tanyanya lagi.
Sedikit mengerutkan kening, Abyan balas menatap pria tersebut, berusaha mengingatnya.

Berita Terkait

Selasa, 4 Februari 2025 - 17:40 WIB

Ini Dia Juara Pandora IWZ x Redaksiku.com 2024

Senin, 20 Januari 2025 - 10:32 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali ( Part 13 )

Senin, 20 Januari 2025 - 10:31 WIB

Novel Senja Membawamu Kembali (Part 31)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:41 WIB

Novel Hitam Putih Pernikahan (Bab 16)

Sabtu, 7 Desember 2024 - 08:38 WIB

Novel : Hitam Putih Pernikahan (Bab 15)
Redaksiku.com
Alamat : STC SENAYAN LT.4 ROOM 31-34 Jl. Asia Afrika , Pintu IX Senayan, RT.1/RW.3, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270
Email : redaksiku.official@gmail.com