Novel : Senja Membawamu Kembali ( Part 28 )
Abyan menjawab pertanyaan Shaga dengan gelengan kepala. “Belum sempat. Kejadiannya baru setahunan lebih, tapi saat itu gue sama Ayya sudah sering berselisih paham. Permasalahan yang timbul tidak pernah tuntas kami selesaikan. Sementara, kehadiran Lidya yang awalnya hanya untuk menolong, lama-lama jadi berkembang ke arah lain,” imbuh Abyan. “Gue jadi punya perasaan lebih sama dia dan sulit untuk mengatakan tidak atas semua permintaannya.”
“Dan lo selalu menjadikan kata janji pada ibunya itu, sebagai alibi atas perbuatan lo ini, iya, kan?” tebak Shaga lagi.
Abyan kehabisan kata-kata untuk menggambarkan keterkejutannya. Dia menatapnya begitu dalam.
“Sudah, sudah, nggak usah terkagum-kagum begitu, gue jadi seram,” celetuk Shaga yang membuat Elnara terkikik geli.
Suami Ayyara itu pun akhirnya ikut tertawa. Kemudian, dia melanjutkan ceritanya. “Dan yang parahnya lagi, sebelum berangkat ke KL, gue mencuri di rumah sendiri.”
“Hah? Maksud lo?” Shaga terlonjak.
Abyan pun menceritakan kronologis kejadian dan alasan dirinya melakukan perbuatan itu. Shaga pun geleng-geleng kepala saat mendengarnya.
“Gini saja, urusan surat-surat berharga yang lo jaminkan itu, setelah kembali ke Jakarta segera kita selesaikan. Nanti, gue yang ganti uang pinjamannya, jadi lo bisa langsung ambil kembali surat-surat tersebut,” ujar Shaga.
“Hah?” Giliran Abyan yang terkejut. “Kok, bisa segampang itu lo ngomong untuk urusan uang yang jumlahnya nggak sedikit? Kita berdua memang teman baik, tapi sudah lama banget nggak berhubungan. Kenapa lo baik banget sama gue?”
“Hahaha, GR lo! Siapa bilang karena alasan teman baik gue mau lakukan itu?” tanya Shaga.
“Lho, lantas karena apa?” Abyan balik bertanya.
Elnara tersenyum melihat reaksi Abyan. “Karena Mas El seorang investor juga. Dia bisa melihat peluang bisnis dengan cepat. Ya, walaupun alasan utamanya tetap karena ingin nolongin Mas Byan, tapi dia tidak pernah memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang.”
“Wow, how come? Gimana bisa, kalian saling memahami kayak gini?” Abyan semakin kehilangan kata-kata. “Kalian nikah sudah berapa lama, sih?”
“Belum lama, sih, masih pengantin baru,” canda Shaga diiringi tawa.
“Serius pengantin baru?” tanya Abyan.
“Ah, itu, sih, maunya Mas El,” kelit Elnara. “Nggak usah percaya, Mas.”
“Lho, memang salah kalau selalu berpikir sebagai pengantin baru? Kan, kapan pun jadi serasa honeymoon terus,” ujar Shaga sambil menaik-turunkan alisnya yang disusul dengan tinjuan Elnara di lengan sang suami.
“Wah, gue mesti belajar dari kalian, nih,” ungkap Abyan.
“Ngomong-ngomong soal belajar, mungkin, lo juga bisa belajar dari nasihat yang pernah gue terima dari seorang sahabat. Dia baru mengenal Islam, tapi pemahamannya itu jauh melebihi gue yang terlahir sebagai seorang muslim,” ungkap Shaga.
Abyan merasa tersindir dengan ucapan Shaga karena dirinya pun masih minim pemahaman akan agamanya. “Memang apa nasihatnya?”
“Ini tuh, dia dapat dari ceramahnya seorang ustadz yang mengatakan bahwa tugas laki-laki itu sebagai qawwam atau pemimpin bagi perempuan dan itu ternyata berat sekali. Kita tidak bisa menjalin sebuah hubungan secara baik jika hubungan kita kepada Allah belum baik. Dan tujuan menjalin hubungan dengan lawan jenis bagi seorang muslim hanyalah untuk menikah,” tutur Shaga.
Hati Abyan terasa seperti tersengat listrik saat mendengar kalimat terakhir Shaga. Dia teringat hubungan tidak jelasnya dengan Lidya. “Lalu apa tugas seorang qawwam itu?” tanyanya kemudian.
“Sebetulnya pembahasan tentang qawwam ini sangat luas, tapi yang lagi kita obrolin sekarang hanya fokus pada permasalahan hubungan dalam pernikahan. Ustadznya mengatakan bahwa tugas utama seorang suami itu memberikan perlindungan pada pasangan hidupnya. Sebagai laki-laki, kita harus mampu meningkatkan value atau nilai dari pasangan. Bahkan, kita mesti siap memberikan pembelaan atau dijadikan tameng ketika pasangan memeperoleh perlakuan buruk dari lingkungan sekitar, termasuk dari keluarga kita sendiri.”
Abyan mengerutkan kening, merenungkan kalimat yang disampaikan Shaga. Selama ini, hanya menuntut Ayyara untuk memahami dirinya tanpa ada usaha membantu sang istri untuk lebih bersinar. “Entar, boleh, ya, kenalin Ayya sama Elnara?” tanyanya. Dia berharap bisa sama-sama belajar dari pasangan ini.
“Boleh, dong. Apalagi, kata Anggi, istrinya Mas Byan orang Bogor, ya?” tanya Elnara.
“Iya, betul. Kenapa gitu?” Abyan balik bertanya.
“Karena Elnara juga orang Bogor, Yan,” jawab Shaga.
“Oh, ya? Jangan-jangan kita satu almamater lagi,” cetus Abyan.
“Wah, bisa jadi. Memangnya Mas Byan orang Bogor juga?” Elnara balik bertanya.
“Gue pindah dari Surabaya ke Bogor pas kelas 2 SMA karena Papa punya bisnis baru di sana,” jawab Abyan.
Sayangnya, obrolan mereka harus terhenti sampai di situ karena waktu masuknya penumpang ke dalam pesawat hampir tiba.
“Kita lanjut obrolannya nanti, ya. Saat sudah di Jakarta, kita bisa janji ketemuan. Terserah lo, mau di Jakarta ataupun Bogor, nggak masalah,” ujar Shaga dan langsung disetujui Abyan.
Ketiganya pun terbang ke Jakarta dengan menggunakan pesawat dari maskapai penerbangan terbaik di negeri ini. Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam mereka tiba di Bandara Internasional Soekarna-Hatta.
“Lo langsung balik ke Bogor, Yan?” tanya Shaga sebelum berpisah.
“Iya, gue sudah kangen banget sama orang rumah,” jawab Abyan sembari matanya menerawang membayangkan wajah anak dan istrinya.
“Oke, deh. Besok, kabar-kabari saja tentang waktunya kalau mau melanjutkan urusan investasi yang gue omongin tadi,” tanggap Shaga.
“Siap, thanks, ya, Ga,” ucapnya sembari menoleh ke arah Elnara. “Buat Nara juga, makasih banyak, ya.”
Elnara tersenyum dan mengangguk. “Dengan senang hati Mas Byan, salam juga buat Ayya.”
Kemudian, mereka berpisah ke tujuan masing-masing. Abyan tidak langsung ke Bogor, melainkan ke kantornya dulu untuk mengambil mobil di sana.
“Lho, Pak Lee? Bukannya besok baru kembali dari KL?” tanya Pak Heri sedikit terkejut saat meliat bosnya datang tiba-tiba.
“Iya, Pak, kebetulan ada agenda dadakan,” jawab Abyan pada satpam perusahaannya. “Tolong ambilkan mobil saya, ya, Pak. Ini kuncinya,” titah Abyan seraya menyerahkan kunci mobilnya.
“Siap, Pak. Laksanakan.” Pak Heri langsung berlari menuju tempat parkir khusus direksi.
Tidak membutuhkan waktu lama, mobil sudah berada di depan lobi. Abyan pun langsung berangkat menuju kota di mana anak dan istrinya tinggal. Waktu sudah dini hari, saat dia tiba di rumah.
Abyan langsung masuk ke kamarnya. Dia melihat sang istri sudah terlelap. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berjongkok persis di samping kepalanya.
“Sayang, maafkan aku, ya,” ucapnya seraya mengelus lembut pipi Ayyara.
Perempuan itu menggeliat. Matanya mengerjap, lalu terlihat kaget mendapati sang suami sudah ada di hadapannya.
“Hai,” sapa Abyan setengah berbisik. “Maaf, ya, tidurnya jadi terganggu.”
Ayyara belum sepenuhnya dalam kesadaran. Dia hanya diam, tidak merespon sapaan suaminya. Abyan tersenyum, lalu mengecup kening istrinya. “Sudah, kamu lanjut tidur saja,” ucapnya sembari bangkit dari jongkoknya dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Sesungguhnya, hati dia seakan teriris melihat aksi diamnya Ayyara. Tapi, Abyan harus siap menerimanya. Dia bertekad akan bersabar menjalani perjuangannya ini demi memperoleh kembali kepercayaan sang istri.
Rasa kantuk Ayyara tiba-tiba sirna. Ingatannya kembali pada peristiwa lima hari lalu. Hatinya berdebar-debar, detak jantungnya berpacu lebih kencang. Ingin rasanya bangkit dan berteriak di depan wajah suaminya itu, menumpahkan sumpah serapah yang dia pendam selama ini.
Namun kemudian, dia teringat pesan sepupunya. “Memaafkan bukan berarti sebuah kekalahan, tapi membalas keburukan dengan keburukan yang lain sudah pasti sebuah kezaliman.”
Dia tidak ingin menambah dosa. Meskipun tahu masalah dengan suaminya tidak akan selesai dengan mengalah, tapi untuk saat ini Ayyara memilih diam. Dirinya tidak mau kebahagiaan yang baru saja dialaminya dirusak dengan pertengkaran.
Abyan sudah selesai bersih-bersih dan mengganti pakaiannya. Dia naik ke tempat tidur. Lelaki itu tahu saat ini, Ayyara belum kembali tertidur, meskipun matanya terpejam.
“Maafkan aku, ya, Ay,” ucapnya lembut sambil memeluknya dari belakang. Dia mengecup lembut kepala istrinya. “Aku kangen banget sama kamu.”
Ayyara tidur dengan posisi miring membelakangi suaminya. Dia menghela napas panjang ketika mendengar bisikan lembut Abyan. Sejujurnya, dia pun menantikan saat-saat perjumpaan seperti ini. Setelah berpisah untuk beberapa waktu, keinginan terbesarnya memang pelukan hangat sang suami.
Meskipun Ayyara bersikap dingin, Abyan tidak melepaskan pelukannya. Sampai kemudian, dengkuran halusnya mulai terdengar. Itu artinya, lelaki ini sudah tertidur lelap.
Perlahan, Ayyara melepaskan pelukan sang suami. Dia turun dari kasur menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.. Kemudian, ibu dua anak ini berganti pakaian dan keluar menuju mushola kecil di sebelah kamarnya.
Ayyara menumpahkan segala keluh kesah dalam sujud panjangnya. Bersimpuh dengan linangan air mata, memohon kekuatan dari Sang Pemilik Diri. Mulai besok, dirinya akan menjalani kehidupan baru atas keputusan yang sudah dipikirkannya dalam beberapa hari ini. Saking lelahnya menangis, sampai dia tertidur di atas sajadah.
Ketika terbangun dan mendapati istrinya tak ada dalam pelukan, Abyan pun bergegas bangkit dari kasur. Waktu menunjukkan pukul 04:35, saat dia menoleh ke arah jam yang ada di atas meja nakas.
Lelaki ini berpikir, bahwa istrinya sedang salat subuh di mushola. Dia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu. Abyan terkejut ketika sampai di mushola, melihat Ayyara yang ketiduran di sana.
“Kok, Bunda tidur di situ?” tanya Zayyan yang tiba-tiba ada di belakang Abyan.
Sang ayah langsung berbalik. “Hai, Abang Zayyan sudah bangun?” Dia berjongkok dan memeluk sang putra.
“Ayah kapan datang?” tanya Zayyan sambil membalas pelukan sang ayah.
“Tadi malam, Zay,” jawab Abyan. “Ayah kangen banget sama Abang. Adik Tsa belum bangun?” tanyanya kemudian sambil melepaskan pelukan.
“Beluk kayaknya, mungkin sebentar lagi.”
“Ya, sudah, ayo kita salat dulu,” ajak Abyan sambil berjalan mendekati Ayyara yang masih tertidur.
Kemudian, dia berjongkok. “Sayang, kamu sudah salat Subuh?” tanya Abyan sambil mengusap punggung istrinya.
Ayyara terperanjat. Dia langsung terbangun. “Astaghfirullah, jam berapa ini, Mas? Aku ketiduran,” ujarnya.
“Jam setengah lima lebih, Bunda,” jawab Zayyan.
“Ya, ampun, aku kebablasan ini. Bentar, ya, Bunda wudhu dulu, habis itu kita salat sama-sama,” ucap Ayyara sembari beranjak keluar ruangan.
“Abang tunggu sebentar, ya, biar Ayah sekalian bangunan Tsa,” ujar Abyan yang dijawab anggukan oleh Zayyan.
Lima belas menit kemudian, keluarga kecil itu bisa melaksanakan salah Subuh berjamaah. Untuk pertama kalinya, Abyan menangis saat mengimami salat istri dan anak-anaknya.
Kala itu, dia membaca surat Al-Insyrah yang hanya 8 ayat pendek, tapi air matanya tak terbendung lagi. Apalagi, saat dia membaca ayat ke lima dan enam yang artinya, “Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.”
Abyan memohon dan berharap permasalahan yang dihadapinya saat ini, akan memperoleh jalan kemudahan dalam menyelesaikannya.
Ayyara cukup terkejut melihat suaminya sampai menangis begitu. ‘Apa yang terjadi sama Mas Aby?’ batin Ayyara bertanya-tanya.
Halaman : 1 2 Selanjutnya
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow