Peristiwa pada saat salat Subuh itu menjadi misteri bagi Ayyara dan juga anak-anaknya. Abyan tidak mau menjawab saat Tsabita bertanya kenapa sang ayah menangis. Dia hanya tersenyum dan mengatakan, “Tolong Tsa sama Abang Zay bantu Ayah dengan doa agar Allah selalu memberikan jalan kemudahan untuk semua urusan kita.”
Tsabita terlihat tidak puas dengan jawaban ayahnya, tapi dia tidak berhasil memaksa sang ayah untuk menjelaskan lebih panjang. Sementara Ayyara, memilih diam dan menyimpan rasa penasarannya itu.
“Mas, hari ini aku mau berangkat ke Bandung sama Manda dan Mas Alden,” ujar Ayyara saat Abyan sedang berdiri di depan cermin sambil memasang dasi yang biasanya dilakukan sang istri.
Dia menghentikan gerakan tangannya, memandang Ayyara dari pantulan cermin yang terlihat sedang menyiapkan beberapa lembar kertas desain dan laptopnya ke dalam tas.
“Ada urusan apa ke Bandung?” Abyan masih menahan nada bicaranya agar terdengar biasa saja.
“Mau melihat kondisi di perusahaan baru Mas Alden, biar aku lebih tahu keadaan karyawannya di sana,” jawab Ayyara tanpa menoleh pada sang suami.
Abyan membalikkan badannya. “Apa urusannya sama kamu? Bukannya kata Manda, kamu itu direkrut sebagai fashion desainer, ngapain harus tahu kondisi karyawan segala?” Abyan mulai terdengar sewot.”
Ayyara belum selesai mengucapkan kalimatnya keburu dipotong Abyan dengan bentakan keras.
“Alden, Alden, Alden terus! Bisa nggak, kamu nggak usah sebut-sebut nama dia depan aku?”
“Kenapa? Nggak terima? Bukannya kamu juga punya Lidya, yang selalu kamu sebut-sebut?”
“Sudahlah, Mas … nggak perlu diperpanjang, aku capek. Apa yang aku lakuin nggak sebanding dengan perbuatanmu.”
“Ow, jadi kamu lagi balas dendam?” Abyan kian meninggikan suara, tapi Ayyara tak peduli. Dia tetap asyik dengan dirinya sendiri.
“Ay, kamu dengar aku nggak, sih?” Abyan menarik lengan Ayyara agar berbalik menghadapnya.
Ayyara segera menepis lengan sang suami, lalu menatapnya dengan sorot mata tajam. Baru kali ini, Abyan melihat kilatan mata Ayyara penuh amarah seperti itu. Gerakan dadanya turun naik dengan cepat.
Abyan menjadi gentar ditatap seperti itu. Dia mundur beberapa langkah sembari menarik napas panjang. “Maaf, maaf, Sayang … aku kebawa emosi. Tolong, Ay… kasih aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku janji, ini terakhir kalinya kita berselisih urusan Lidya,” ungkapnya sembari berjalan mendekat.
Abyan bersiap untuk memeluk istrinya, tapi Ayyara dengan sikap dingin menepis kedua tangan suaminya yang sudah terentang. Ibu dua anak ini menyambar tas dan laptopnya. “Maaf, Mas … aku butuh waktu,” ucapnya sambil berlalu meninggalkan Abyan.
Kedua tangan Abyan terkulai lemah. Dadanya terasa sesak, tenggorokan tercekat, tak ada kata yang mampu terucap. Dia terduduk di ujung kasur, menatap tampilan dirinya di depan cermin. Kemudian, dia menundukkan kepala, memikirkan kata-kata Shaga saat mereka menunggu koper di bagian pengambilan bagasi tadi malam.
Shaga mengatakan bahwa kebahagiaan terbesar seorang muslim itu memiliki kelapangan hati.
“Karena kelapangan hati itu pemberian Allah, jadi tidak setiap orang akan beruntung memperolenya. Maka dari itu, siapapun yang mendapatkannya haruslah bersyukur,” ucap Shaga kala itu yang membuat Abyan berpikir, ingin menjadi manusia yang beruntung tersebut.
Shaga juga menjelaskan, bukti bahwa kelapangan hati itu pemberian Allah ada pada ayat pertama di surat Al-insyirah, yang menyampaikan bahwa Allah memberikan kelapangan di hati Rasulullah Saw. Dan ayat ini diturunkan sebagai penghiburan atas semua kepedihan yang menimpa Rasulullah Saw.
Oleh karenanya, Abyan menahan diri untuk tidak melanjutkan pertengkarannya tadi. Dia harus bersabar dan membersihkan hatinya dari segala prasangka agar kelapangan itu segera hadir dalam hatinya.
Abyan menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Dia kembali berdiri, berjalan ke depan cermin dan memperbaiki letak dasinya. Selanjutnya, lelaki ini keluar dari kamar menuju ruang makan.
Ruangan sepi, tidak seorang pun di sana. Hanya beberapa potong roti lapis dan segelas jus nanas tersedia di atas meja. Beserta secarik kertas berisi tulisan singkat. “Aku ke Bandung sampai sore, anak-anak pulang sekolah akan dijemput Gita.”
Abyan tersenyum, ternyata semarah-marahnya Ayyara, masih peduli padanya. Masih ada secercah harapan di hati ayah dua anak ini untuk kebahagiaanku keluarga kecilnya. Dia pun semakin semangat untuk memperbaiki diri.
Abyan berangkat ke kantor dengan suasana hati lebih tenang. Semalam, dia berharap akan memulai hari ini sebagai babak baru dalam kehidupan rumah tangganya. Meskipun, Ayyara membukanya dengan pertengkaran, tapi dia tidak mau berputus asa.
Saat dalam perjalanan, Abyan menerima telepon dari Shaga yang mengatakan bahwa dirinya punya waktu luang pagi itu untuk membantunya menyelesaikan permasalahan pinjamannya pada seseorang.
“Oke, kita ketemu langsung di lokasi saja, kebetulan gue ada di daerah itu,” ujar Shaga ketika Abyan mengatakan bahwa lokasinya ada di daerah Kemang.
Sekitar jam sepuluh pagi, Abyan tiba di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Daerah terkenal tidak hanya sebagai kawasan perumahan elit bagi warga Jakarta, tetapi juga para ekspatriat—warga negara asing yang tinggal di luar negara asalnya, baik secara sementara maupun menetap—yang sudah lama tinggal di Indonesia.
Salah satunya, keluarga Adinata Aiden Lee, ayahnya Abyan. Sebelumnya, mereka memang tinggal di Bogor, tapi setelah Abyan menikah dan perusahaan ayahnya semakin besar, orang tuanya pindah ke Jakarta.
Alasan memilih rumah di sana karena merasa punya keluarga baru, sama-sama pendatang. Mereka kebanyakan bukan murni WNI, seperti halnya ayah Abyan, seorang blasteran Belanda-China-Jawa. Meski kenyataannya, mereka terkadang malah tidak saling kenal dengan tetangga sebelah. Karena orang-orang tersebut sangat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Mobil Abyan memasuki pekarangan sebuah rumah mewah, bergaya modern tropical house. Bangunan dua lantai yang sangat asri, benar-benar terasa nuansa tropisnya. Taman bunga yang luas, bangunan yang didominasi jendela-jendela besar. Pekarangan samping dilengkapi kolam renang, yang langsung menghadap taman. Suara gemericik air dari sudut pekarangan depan, menambah kesejukan dan ketenangan setiap yang mendengarnya.
Tak lama kemudian, mobil Shaga pun datang. Abyan menyambut sahabat barunya itu dengan wajah berseri-seri.
“Rumah pribadi?” tanya Shaga begitu turun dari mobil.
Abyan tersenyum. “Iya, ayo masuk.”
Shaga mengikuti Abyan dari belakang. Dia sedikit heran karena sahabatnya ini terlihat begitu familiar dengan rumah tersebut. Bahkan, dia dengan santainya membuka pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh menyambut kehadiran Abyan.
“Mbok Sum, Bapak ada di rumah, kan?” tanya Abyan.
“Ada di dalam, Den. Silakan langsung ke teras samping saja,” ucap Mbok Sum ramah.
Shaga terkesima. “Bapak?”
Abyan tersenyum. “Iya, orang itu bokap gue. Sst, lo pura-pura nggak tahu saja.”
Shaga mengerutkan dahinya. Meskipun tak paham, tapi dia mengikuti keinginan Abyan.
“Pagi, Pak,” sapa Abyan sembari mencium takzim tangan sang ayah.
“Duduk, Yan,” titahnya dingin sembari menoleh ke arah Shaga.
“Oh, iya, kenalin ini teman lama Byan. Dulu satu kampus waktu kuliah S1,” ungkap Abyan.
Pak Adinata manggut-manggut. “Jadi, ada perlu apa pagi-pagi sudah datang ke sini?”
Shaga melirik sahabatnya itu, lalu beralih pada ayahnya. Dia bertanya-tanya, hubungan macam apa itu? Untuk ukuran sebuah keluarga, rasanya terlalu kaku dan formal.
“Ini Pak, Byan mau menebus kembali surat-surat berharga yang kemarin di jaminkan untuk pinjaman modal.”
“Ooh, sudah dapat uangnya? Cepat juga kamu?” komentarnya tetap datar.
“Iya, alhamdulillah ada yang mau jadi investor baru di perusahaan. Jadi nanti, tinggal transfer uangnya ke rekening Bapak.”
“Siapa investornya?”
“Ini, orangnya Byan bawa,” ucap Abyan sambil menoleh ke arah Shaga.
“Pagi, Pak, saya Shaga.”
“Kamu hanya investor atau menjalankan usaha juga?” tanya Pak Adinata seperti sedang menginterogasi.
“Alhamdulillah, saya investasi di beberapa perusahaan dan juga mengelola usaha di bidang kafe.” jawab Shaga.
“Mengelola kafe mamangnya cukup untuk menjadi seorang investor?”
Abyan memutar bola matanya sembari menarik napas. Dia merasa tak enak hati melihat Shaga disepelekan oleh ayahnya sendiri.
“Alhamdulillah, cukup, Pak. Selain itu, saya masih memiliki saham di beberapa perusahaan properti,” jawab Shaga sengaja. Dia pikir orang seperti ayahnya Abyan tidak akan berhenti sebelum lawan bicaranya benar-benar terpojok.
“Ow, perusahaan apa namanya? Kebetulan saya juga mengelola properti,” tanyanya lagi.
“DHC grup, Pak,” jawab Shaga mantap.
“DHC, Dirgantara Holding Company, milik Pak Himawan Dirgantara?” tanya Pak Adinata semakin penasaran.
“Betul, Pak,” jawab Shaga singkat.
Abyan ikut terkesima. “Nama lo kan, Shaga Elang Dirgantara? tanya Abyan. “Jadi, lo anak tunggalnya DHC grup?”
Shaga hanya mengangkat kedua aslinya sambil tersenyum tipis. Pak Adinata langsung berdiri. “Wah, saya tidak mengira bisa kedatangan orang besar pagi-pagi seperti ini,” ujarnya sambil berjalan mendekati Shaga. “Terima kasih sudah mau berteman dengan anak saya.” Pak Adinata menepuk-nepuk pundak Shaga.
“Sama-sama, Pak. Saya juga senang memiliki teman seperti Byan.”
“Mbok, Ibu mana?” teriaknya pada Mbok Sum.
“Ibu masih di kamar, Juragan. Apa perlu saya panggil?”
“Iya, bilangin, tolong siapkan makanan untuk tamu istimewa hari ini,” titahnya.
“Baik, Juragan,” sahut Mbok Sum. Dia pun kembali masuk ke dalam rumah.
“Pak, nggak usah repot-repot. Byan nggak lama, lagipula Shaga juga masih banyak urusan.”
“Ya, sudah, kamu ambil surat-suratnya di ruang kerja Bapak,” ujar Pak Adinata sambil berjalan masuk ke dalam rumah menuju ruang kerjanya.
Baru beberapa langkah, orang tua itu berbalik. “Nak Shaga, lain waktu mampir lagi, main-main kemari. Sekalian, ajarin Byan bisnis yang benar.”
“Baik, Pak. Insyaallah saya agendakan berkunjung lagi ke sini,” jawab Shaga sambil berdiri dan sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.
Pak Adinata manggut-manggut, lalu melanjutkan langkahnya diikuti Abyan dari belakang. Setelah memeroleh kembali surat-surat tersebut, Abyan baru menemui sang bunda.
“Maaf, ya, Bu, Byan nggak bisa lama-lama,” ucap Abyan tidak kalah kaku seperti pada ayahnya tadi.
“Ya, sudah, tapi nanti ajak anak-anak dan istrimu liburan ke sini, ya? Biar ramai rumahnya, Ibu bosan cuma ngurusin tanaman doang,” ucap Bu Gayatri.
“Insyaallah, Bu. Sebentar lagi mereka liburan akhir tahun nanti aku ajak ke sini.”
Bu Gayatri mengiyakan dengan anggukan.
“Kami pamit, ya, Bu,” ucap Abyan.
“Pamit juga, Bu.” Shaga ikut menyalami ibu sahabatnya.
Keduanya keluar dari rumah tersebut.
“Lo langsung balik ke kantor?” tanya Abyan.
“Nggak, gue nggak punya kantor,” jawab Shaga.
“Bercanda lo? Mana ada pengusaha nggak punya kantor?” ujar Abyan.
“Hahaha, iya, kantor gue kan, kafe. Nggak bisalah disebut kantor.”
“Ya, sudah, kalau lo punya waktu, kita ngobrol-ngobrol dulu,” ajak Abyan.
“Oke, di kafe gue saja, ya, yang di cabang Senayan, gimana?”
“Oke, kita ketemu di sana.”
Keduanya berpisah dengan mobilnya masing-masing. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit, mereka tiba di Kopi Karib cabang Senayan.
“Kafe lo, ada juga cabangnya di Bogor?” tanya Abyan.
“Makanya, lo tuh, main … jangan kerja melulu? Justru, kafe pertama gue itu adanya di Bogor,” ujar Shaga.
“Serius?” Abyan masih tak percaya.
“Iya, itu juga tempat gue pertama kali ketemu Elnara. Kapan-kapan, lo ajak Ayya, kita ketemuan di sana,” usul Shaga.
“Siap, segera diagendakan.”
“Eh, Yan, oot, nih, gue rada heran lihat interaksi lo sama orang tua lo, tadi. Memang biasanya sekaku itu?”
Abyan mengangguk. “Sejak kecil gue nggak pernah ngobrol sama mereka di luar urusan sekolah. Itu pun sebatas informasi, perintah, bukan obrolan. Hidup gue diatur senua sama mereka,” tutur Abyan. “Gue menjalankan kehidupan untuk memenuhi kesenangan orang lain.”
Shaga terdiam. Dia sekarang mulai memahami kenapa pernikahan Abyan bermasalahnya dalam hal komunikasi.
“Ayyara orang pertama yang memahami gue. Dia mau mendengarkan keinginan-keinginan gue. Begitu pun, saat gue memilih jadi dosen dibandingkan meneruskan bisnis Bapak. Ayyara yang bantu gue meyakinkan mereka, walau pada akhirnya, gue pun berhenti jadi dosen atas permintaan dia juga.”
Shaga berpikir untuk beberapa saat. “Lo pilih jadi dosen karena kerjaannya ngebimbing orang, ya? Lo merasa didengarkan dan para mahasiswa itu membutuhkan lo, gitu, kan?”
Abyan memandang Shaga sambil mesem-mesem. “Keren lo, bisa memahami cara berpikir gue hanya lewat obrolan selintas lalu,” puji Abyan.
“Bakat, mungkin. Gue memang suka mengamati tingkah laku orang-orang di sekitar, makanya bisa cepat memahami karakter seseorang,” jawab Shaga. “Hasil analisa sok tahu gue, lo itu tipe orang yang disebut people pleasure. Sebuah istilah untuk seseorang yang selalu berusaha menyenangkan orang lain dan memenuhi ekspektasi mereka, bahkan dengan mengorbankan diri sendiri.”
Abyan terdiam. Dia tidak menyangkal ucapan sahabatnya itu.
“Seperti lo bilang tadi, hidup lo hanya untuk memenuhi kesenangan orang lain. Dan pemikiran seperti ini nggak baik kalau terus-terusan lo biarkan. Nggak baik juga untuk kesehatan mental lo, Yan.”
“Terus gue harus gimana?”
“Pertama, lo sadari dulu bahwa dalam diri lo ada masalah. Kedua, lo obrolin ini dengan Ayya biar dipaham maunya lo kayak gimana? Dan minta tolong dia untuk bantu lo sembuh dari kebiasaan ini. Ketiga, kalau memang dirasa perlu, nggak usah malu untuk datang ke tenaga profesional yang lebih ahli di bidang ini, seperti psikolog atau psikiater.”
Abyan mengangguk-anggukan kepalanya. “Thanks, ya, Ga. Baru kali ini, ada orang yang peduli sama gue untuk urusan kesehatan mental ini.”
“Sama-sama. Sorry kalau gue lancang. Nggak ada maksud lain selain pengin bantu lo. Gue rasa, permasalahan di pernikahan lo juga ada kaitannya dengan ini. Lo punya trauma masa lalu karena pola asuh orang tua.”
“Bisa jadi,” tanggap Abyan.
“Tapi ingat, Yan. Kita mencari solusi dari permasalahan lo ini bukan untuk menyalahkan orang tua, apalagi sampai membencinya. Gue yakin, semua orang tua sayang sama anaknya. Hanya saja, cara pandang mereka tentang kebahagiaan itu nggak sama dengan yang dirasakan anaknya. Keterbatasan ilmu, informasi di masa lalu, bisa juga menjadi penyebab semuanya.”
Abyan kembali tertunduk sambil tersenyum tipis. “Gue berasa kesindir sama omongan lo barusan. Jujur, gue memang sempat benci pada Ibu sama Bapak.”
Shaga menepuk-nepuk pundak Abyan. “Wajar lo punya perasaan begitu, manusiawi. Yang penting, setelah menyadari kesalahan itu, lo mau memperbaiki.”
“Thanks, Bro. Gue nggak tahu lagi harus ngomong apa atas bantuan lo ini.”
“Dengan senang hati, Yan. Gue juga dulu banyak melakukan kesalahan, tapi beruntung dipertemukan dengan orang-orang baik yang bisa bantu gue sampai berada di titik ini. Jadi, sekarang giliran gue buat bantu orang lain yang memang membutuhkan, semampu gue.”