Novel : Senja Membawamu Kembali ( Tamat)
“Benar-benar keberuntungan buat lo, Yan,” ucap Hardi sore itu. “Di hari pertama balik Jakarta, masalah lo langsung kelar.”
“Alhamdulillah, ini benar-benar rezeki buat gue. Shaga memang Allah kirimkan sebagai jalan gue memperoleh pertolongan-Nya.”
Hardi manggut-manggut. “Gue ikut bahagia, Yan. Sekarang, lo harus lanjut ke masalah berikutnya,” ungkap Hardi sambil menunjuk ke ruangan di sebelah dengan memajukan sedikit bibirnya.
“Maksud lo?” Abyan mengernyitkan kening.
“Kata Anggi, dari bandara tadi, Lidya maksa untuk langsung datang ke sini. Dia nggak percaya ketika dibilangin kalau lo nggak ada di kantor,” ujar Hardi menyampaikan informasi lengkapnya.
“Jadi, dari siang dia nungguin?” tanya Abyan dan Hardi mengiyakan dengan anggukan.
Abyan menarik napas dalam. “Oke, deh. Gue juga nggak mau berlarut-larut tenggelam dalam masalah ini,” ucap Abyan.
“Sip, gue doakan lo kuat,” ledeknya. “Gue panggil dia ke sini sekarang,” ujarnya sembari berjalan menuju pintu keluar.
Abyan langsung duduk di meja kerjanya. Tak lama, Lidya pun masuk ke ruangannya dengan wajah cemberut. Dia berdiri mematung di depan meja kerja Abyan.
“Hai, Li, jam berapa kamu datang?” tanya Abyan basa-basi dengan kepala sedikit terangkat menatap wanita itu.
“Nggak usah pura-pura, deh, Mas! Aku capek. Sekarang, tolong jelasin saja. What’s going on? Apa yang terjadi sama kamu, Mas?” cecarnya.
“Sorry, ya, Li … aku tahu, aku salah, tapi aku akan jelasin ini semua,” jawab Abyan. “Kamu duduk dulu saja.”
“Nggak perlu, aku sudah duduk seharian nungguin kamu,” ketusnya.
Abyan terdiam sejenak dengan mata melihat ke kiri bawah. “Li, aku mau mengakhiri hubungan yang terjadi di antara kita,” ucap Abyan sambil kembali melihat padanya.
Lidya mengerutkan dahinya. “Maksudnya gimana, ya, Mas?”
“Maksud aku, kita nggak akan berhubungan apapun lagi selain urusan kerjaan. Itu pun mungkin, untuk ke depannya, kamu akan lebih banyak berkomunikasi dengan tim dibandingkan aku pribadi.”
“Tunggu, Mas? Kenapa kamu jadi tiba-tiba aneh begini? Apa yang terjadi saat kita di KL? Apa kamu ketemu perencanaan lain yang lebih dari aku?” Lidya kembali mencecar dengan banyak pertanyaan.
“Astaghfirullah, jadi kamu pikir aku ini laki-laki seperti itu?”
“Ya, lagi, kamu aneh-aneh saja. Selama ini kan, kita nggak ada masalah. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Pasti ada sebabnya. Kalau bukan aku yang berbuat salah, pasti karena ada perempuan lain.” Lidya masih ngotot dengan pendapatnya.
“Aku kecewa dengan pikiranmu itu. Ternyata, sepicik ini aku di mata kamu.” Abyan tersenyum sinis.
“Eh, bukan gitu maksud aku, Mas. Iih, makanya kamu jelasin apa salahku?” Suara Lidya terdengar mulai bergetar. Dia menarik kursi yang ada di hadapan, lalu mendudukkan pantatnya dengan kasar di sana.
“Kamu nggak salah, tapi aku yang tidak tegas. Maafkan jika selama ini aku sudah membuatmu salah paham,” tutur Abyan hati-hati.
Lydia semakin tidak mengerti. “Maksud kamu salah paham apa, Mas?”
Abyan tertegun untuk sesaat. “Bahwa aku menganggap kamu lebih dari sekedar teman biasa.”
“Bukannya memang begitu? Bahkan, aku bersedia kalaupun kamu hanya akan menikahiku secara siri. Aku pun mau mengikuti keinginan kamu untuk punya anak banyak,” ungkap Lidya. “Jadi, apanya yang salah paham, hah?” Dia berdiri dan menggebrak meja. Perempuan itu memandang tajam ke arah Abyan dengan posisi kedua tangan bertumpu pada meja.
Abyan memundurkan kursinya agar lebih renggang jaraknya dengan meja.
“Aku tahu, Li, tapi ini salah dan aku ingin mengakhirinya.”
“Nggak mungkin! Kamu jangan seenaknya begitu, Mas! Kamu sudah janji depan Ibu buat jagain aku,” teriak Lidya sambil menggeser dengan kasar semua benda yang ada di atas meja.
Abyan langsung berdiri. “Li, please, jaga sikap kamu. Ini kantor!” tegurnya dengan suara keras. Dia mulai terpancing emosi.
“Aku nggak peduli, biar saja semau orang tahu kelakuan atasannya yang selama ini dipuja-puja sebagai laki-laki baik. Tapi nyatanya pengecut!”
“Lidya!” bentak Abyan.
“Lho, benar, kan? Laki-laki yang tidak menepati janjinya itu seorang pengecut,” sindirnya.
“Aku tidak pernah mengingkari janjiku. Bahkan, nyaris menghancurkan keluargaku sediri demi memenuhi janji itu. Kamu harus ingat, aku tidak pernah berjanji untuk menikahimu,” tegas Abyan.
“Lalu, kalau tidak dinikahi apa namanya? Jagain seoarang perempuan, tapi tidak dinikahi, kumpul kebo?”
Wajah Abyan memerah, giginya gemeretak dengan rahangnya yang semakin tegas. Deru napasnya terdengar kasar. Dia kepalkan tangannya kuat-kuat.
“Kamu sudah keterlaluan! Sebelum tangan ini melayang, sebaiknya kamu pergi dari sini. Keluar!” bentak Abyan dengan suara yang sangat keras sampai para karyawan di luar ikut kaget.
Lidya langsung gemetaran. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya yang selalu lemah lembut bisa berteriak sekeras itu. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya tumpah juga.
“Maafkan aku, Mas. Aku cuma takut kehilangan kamu. Please, jangan tinggalin aku,” rengek Lidya sembari berjalan mendekati Abyan bermaksud untuk memohon.
Dia tahu Abyan itu tidak tegaan, selalu luluh dengan air mata dan wajah yang memelas. Lidya sudah berulang kali mempraktekkannya dan berhasil. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, Abyan sudah kembali buka suara.
“Li, kesabaran aku sudah habis. Kalau kamu tidak mau pergi, biar aku saja yang keluar,” ujar Abyan. Kali ini dia tidak lagi berteriak, tapi tanpa ragu melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Dia tidak peduli dengan rengekan Lidya. Bahkan, lelaki itu dengan tegas menepis tangan perempuan ini yang berniat untuk mencegah kepergiannya. Abyan pun tidak peduli dengan tatapan seluruh karyawan di perusahaannya.
***
Setelah kejadian di mobil Manda, Ayyara kembali ke rumahnya. Meskipun dia tidak jadi berangkat ke Bandung, tapi Zayyan dengan Tsabita dibiarkan tetap menginap di rumah Gita. Ibu dua anak ini tidak ingin kedua buah hatinya melihat kondisi dirinya sekarang dengan mata sembab.
Ayyara merebahkan tubuhnya selepas menunaikan ibadah salat Dzuhur. Mungkin saking cakepnya menangis, dia langsung terlelap untuk waktu yang cukup lama. Istri Abyan ini baru terbangun sekitar jam 16:15.
Dia bergegas bangun sebelum waktu ashar habis. Ayyara pun memutuskan untuk mandi terlebih dahulu agar badannya terasa lebih segar. Selepas salat, dia pergi ke dapur menyiapkan beberapa bahan makanan untuk menu makan malamnya.
Ayyara tidak berharap Abyan akan pulang cepat, jika mengingat pertengkaran mereka tadi pagi. Namun, dia tetap menyiapkan menu untuk dua orang. Rencananya, malam ini, dia akan memasak panggang filet paha ayam dengan salad sayuran sesuai bahan-bahan yang tersedia di kulkas.
Kemudian, Ayyara mencuci dan memotong beberapa sayuran sebagai bahan saladnya. Dia juga memarinasi filet paha ayamnya, lalu membiarkannya sekitar tiga puluh menit. Sambil menunggu, ibu dua anak ini pun menunaikan salat Maghrib.
Ayyara kembali ke dapur dan memulai aktivitasnya. Tidak lebih dari lima belas menit panggang ayamnya sudah matang. Dia meletakkan potongan ayam di atas salad yang sudah tertata di atas piring. Wanita muda ini tersenyum melihat tampilan masakan sederhananya yang terlihat begitu berwarna. Warna ungu dari kol, hijau dari lettuce, merah dari tomat cherry, kuning dari jagung, ditambah hijau timun Jepang serta jingga dari wortel.
Istri Abyan ini mengangkat kedua piringnya dan siap di sajikan di atas meja. Begitu berbalik, “Astaghfirullah, Mas … sejak kapan kamu di situ?”
Ayyara terlonjak kaget saat melihat Abyan sedang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. “Gimana kalau piringnya jatuh, kita nggak jadi makan malam,” gerutunya sembari berjalan ke meja makan.
“Masak apa, Sayang?” Dia berjalan mendekat tanpa menjawab pertanyaan istrinya.
“Ini, dari tadi juga sudah kelihatan,” jawab Ayyara masih ketus.
“Kelihatannya enak,” komantar Abyan sembari duduk di kursi depan Ayyara.
“Kamu tahu, Ay? Kemarin malam aku pun makan ini di lounge bandara saat menunggu penerbangan, tapi rasanya lebih enak masakanmu ini,” ucapnya tanpa melihat ke arah sang istri.
Ayyara senyum-senyum memandangi sang suami yang tengah mengoceh sendirian. “Gombal kamu, Mas,” sahutnya yang membuat Abyan langsung menoleh.
Dia memandang tak percaya karena sikap istrinya yang berbeda dibandingkan tadi pagi. “Sayang, kamu sudah nggak marah lagi sama aku?”
Sang istri kembali tersenyum, lalu menggeleng.
“Hah? Serius kamu?” tanya Abyan sambil meletakkan sendoknya.
Ayyara hanya menjawab dengan anggukan. Mata Abyan langsung berbinar. Dia berdiri dan berjalan menghampiri kursi istrinya. Lelaki itu langsung berlutut di samping Ayyara, lalu memeluknya erat.
“Makasih, Sayang. Ini kado terindah yang pernah aku dapatkan melebihi saat dulu menikahimu,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Ayyara merenggangkan pelukannya, menatap sang suami yang mulai terisak. “Kenapa begitu, Mas?”
“Dulu, aku menikahimu karena kita memang memiliki perasaan yang sama. Pernikahan kita atas dasar saling mencintai. Aku tidak punya kekhawatiran menjalani hari-hari berikutnya,” ungkap Abyan. “Tapi hari ini, aku nyaris kehilanganmu. Nggak kebayang gimana aku mejalani hari-hari ke depannya, seandainya kamu nggak memaafkan aku.”
Mata Ayyara tiba-tiba menghangat, butiran bening dari sudut-sudut matanya ikut menetes satu per satu. Dia pun merangkul suaminya erat.
“Mas Aby, maafkan aku juga, ya. Aku juga nggak mau kehilangan kamu. Please, bantu aku biar bisa lebih memahami kamu. Aku nggak mau ada perempuan lain yang mengambil peran itu.”
Abyan tidak bisa berkata-kata. Dadanya kembali sesak, tapi bukan karena rasa sakit, melainkan karena hatinya penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran di kelilingi kupu-kupu. Lelaki itu berulang kali mendaratkan ciuman di pipi, kening, pucuk kepala Ayyara sampai istrinya ini kewalahan.
“Mas, Mas, aku sesak, nih,” keluh Ayyara sambil menepuk-nepuk bahu suaminya agar melonggarkan pelukannya.
“Maaf, maaf, Sayang, aku telalu bahagia,” ujarnya. Dia pun melepaskan pelukannya.
“Sekarang, lanjut makan dulu, masih lapar, kan?”
Abyan tersenyum, lalu bangkit berdiri, tapi sebelum melangkah, dia masih sempat memegang dagu istrinya, lalu mengangkatnya perlahan. Lelaki itu berhasil mengecup bibir ranum sang istri.
Ayyara langsung menepuk pinggang suaminya. “Iih, Mas Aby!”
Abyan terkekeh sambil kembali duduk di kursinya. Sepanjang makan berlangsung, matanya tidak lepas dari wajah sang istri hingga membuat Ayyara salah tingkah.
“Mas, sudah dong lihatinya. Seram, tahu, kayak mau loncat keluar,” canda Ayyara sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Habisnya aku kangen banget, nggak ketemu kamu hampir satu minggu,” dalihnya.
“Siapa suruh pergi diam-diam,” sindir Ayyara.
Abyan langsung tertunduk. “Iya, maaf aku salah.”
“Eh, iya, Mas, sudah … aku cuma bercanda, kok.” Ayyara kaget sendiri melihat suaminya menjadi sensitif seperti itu.
Selepas makan, keduanya duduk berdua di sofa ruang keluarga. Abyan mengangkat dan melipat sebelah kakinya di atas sofa sehingga badannya bisa lurus menghadap sang istri. Sementara, ibu dua anak ini hanya memutar setengah badannya agar mereka bisa saling berhadapan.
“Sayang, sore tadi, aku berteriak sangat kencang di kantor. Mungkin hampir seluruh karyawan mendengarnya.”
Ayyara mengerutkan kening. “Memang Mas ngapain sampai harus berteriak segala?”
“Mengusir Lidya karena dia nggak mau keluar dari ruanganku,” jawab Abyan.
“Hah, kok, bisa? Memang dia ngapain ke kantor, Mas?”
Abyan menghela napas. “Dia marah karena aku pulang duluan ke Jakarta.”
Ayyara memiringkan kepalanya, menatap sang suami, mencari jawaban di kedalaman matanya. “Serius, Mas?”
Sang suami mengangguk. “Jadwal awalnya, memang aku itu akan pulang tadi pagi bareng sama seluruh tim perusahaan Lidya yang berangkat ke sana.”
“Lalu, kenapa berubah?” Ayyara tak sabar ingin mendengar cerita sang suami.
Kemudian, Abyan menceritakan pertemuannya dengan Shaga dan istrinya. Pasangan itu berhasil membuatnya membuka mata akan artinya pernikahan.
“Jadi, beneran ada, ya, orang yang namanya Shaga Elang Dirgantara?” tanya Ayyara.
“Lho, kok, kamu tahu nama lengkapnya?”
“Iya, diceritain Manda, katanya kamu ketemu teman lama di KL.”
“Alhamdulillah, pokoknya kamu harus ketemu Shaga dan Elnara. Kita sama-sama belajar dari pernikahan mereka.”
“Ih, lihat kamu terkagum-kagum begitu aku jadi penasaran. Kapan dong, ajak aku ketemu mereka?”
“Katanya, kapan saja. Tinggal dikontrak, mereka pasti bersedia.”
“Ayo, ayo, gimana kalau besok? Mumpung weekend,” usul Ayyara.
“Ya, ampun, Ay … kok, jadi kamu yang ngebet banget? Memang kamu nggak kangen sama aku?”
“Lho, apa hubungannya ketemu mereka dengan kangen aku ke kamu?”
“Ya, kan, aku juga pengin nikmatin waktu berdua saja sama kamu.”
“Ooh, ya, kan, bisa sambil, Mas. Ini saja lagi berduaan,” ujarnya membela diri.
“Iya, deh, iya. Tapi, sebelum ketemu mereka, aku pengin selesaikan masalah kita berdua terkait dengan hubungan aku sama Lidya.”
Jantung Ayyara tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dia teringat kata-kata Alden tadi siang. Seandainya Abyan tahu, pasti akan marah besar. Oleh karenanya, Ayyara dan Manda sepakat untuk menyimpan ini untuk sementara waktu.
“Oke, Mas mau mulai dari mana?”
Abyan menggenggam tangan Ayyara. “Sayang, aku akan mengakui bahwa sebelumnya aku pernah merasakan suka pada Lidya layaknya laki-laki suka pada perempuan sebagai kekasih.”
Ada rasa sakit yang menelisik hati Ayyara saat Abyan mengatakan itu.
“Aku minta maaf, semua terjadi karena aku tidak tegas menolak kehadirannya. Saat itu, aku lagi membangun karier dan kamu mulai sibuk dengan anak-anak. Aku kehilangan tempat untuk berbagi rasa dan dia hadir menawarkan telinganya untuk mendengar.”
Ayyara tertunduk mendengar suaminya mengatakan hal tersebut. ‘Jadi, memang aku pemicu kemelut ini bermula,’ batin Ayyara semakin merasa bersalah.
“Dia selalu hadir ketika aku perlu teman diskusi. Meskipun bukan ahli, tapi dia selalu membesarkan hati aku untuk terus semangat. Sehingga aku bisa melewati semua tantangan dengan baik.”
Ayyara merasakan genggaman Abyan makin kuat.
“Apalagi, saat aku berhadapan dengan ibunya yang sakit keras. Aku nggak tahu apakah ini murni ketidaksengajaan atau memang di-setting seperti itu. Yang jelas, gara-gara janji itu aku jadi terjebak dalam hubungan yang tidak jelas dengan Lydia,” ungkap Abyan. “Tapi yang harus kamu tahu, aku nggak pernah janji untuk menikahinya.”
“Mas, jujur, aku sakit hati ketika mendengar kamu menyukai wanita lain. Tapi, setelah mendengar cerita kamu, ternyata aku ikut andil dalam kesalahan ini,” Ayyara mulai berkaca-kaca. “Aku lupa bahwa tugas istri tidak hanya mengurus keperluan sehari-hari dan melayani kebutuhan biologis saja. Tapi juga kebutuhan sebagai teman bercerita.”
Abyan memeluk Ayyara begitu erat. Hatinya kini sedikit lega. Dia berharap ke depannya akan lebih baik lagi.
Halaman : 1 2 Selanjutnya
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow