Sikap Toni yang terus menunda untuk mengatur ulang rencana pernikahannya membuat Erlika geram. Alasannya hanya sibuk, sibuk dan sibuk pekerjaan kantor. Toni memang tidak mengatakan tentang adanya perjanjian dengan istrinya. Dia hanya memberitahu kalau mereka tidak tinggal dalam satu atap. Erlika diminta untuk tidak membocorkan masalah ini.
“Memang nggak ada waktu luang sedikitpun?” tanyanya suatu kali.
Toni hanya menjawab dengan gelengan penuh keraguan. Kepastian jawaban tetap mengambang. Erlika nekat mengambil jalan pintas untuk menjebak Toni. Bibirnya menyeringai teringat cara menjerat laki-laki yang diajarkan sahabat SD-nya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi dulu Lik Nardi nglamar kamu karena kamu hamil?” Rilah mengangguk.
“Kalau nggak begitu Kang Rizal terus nggantung rencana menikahiku. Nyatanya langit merestui. Saat kami pulang dari tempat kawannya, di tengah sawah hujan lebat turun. Kami meneduh di gubuk kosong. Di situlah kejadiannya. Kami ketagihan sampe aku hamil,” cerita Rilah dengan wajah memerah. Erlika diam mematung. Dia bingung bagaimana mengawalinya.
“Rilah, aku bingung mulainya. Maksudku mengajak mas Toni mmm mulainya itu lho. Kamu kan pergi sama kang Rizal. Mas Toni sekarang jarang berada di sini.”
“Berpura-puralah sakit, Lika. Dia pasti datang mengkhawatirkan keadaanmu. Selanjutnya aturlah sendiri. Kau yang tau bagaimananya tunanganmu itu!”
“Akan kucoba,” jawab Erlika mantab. “Rilah tolong jangan crita apapun. Aku menyesal masalah postingan itu! Doakan aku, ya,” pintanya sambil tersenyum lebar.
Erlika semangat untuk meniru cara Rilah. Sama sekali tak dipikirkan nama baik pasangannya yang seorang Dirut beken. Dia hanya ingin melancarkan rencana pernikahannya. Menurut hasil pemikirannya, jika dia hamil, calon mertuanya pasti akan merestuinya.
Mata Erlika membulat, melihat Toni bangkit dari rebahan. Dia tak mampu mencegahnya. Dengan segera tangannya meraih tangan Toni, lalu menatap penuh harap.
“Jangan pulang sampai aku tertidur ya, Mas,” pintanya manja.
Melihat tatapan netra kekasihnya dan dorongan rasa kangen yang belum tuntas, Toni tidak tega meninggalkannya. Kemudian, Toni kembali merebahkan diri menghadap kekasihnya. Tonjolan laring di lehernya naik turun. Dia mengelus sepenuh hati kepala pujaan hatinya, lalu menepuk lembut pipinya.
“Cepatlah tidur, aku lelah sekali. Baru tadi sore berangkat dari Semarang,” pintanya.
“Tapi banyak cerita yang belum kusampaikan.”
Toni tidak menjawab. Dibiarkannya kekasih hatinya itu berceloteh. Karena lelah, Toni mulai mengantuk. Celoteh kekasihnya seperti nyanyian pengantar tidur. Toni pun terlelap.
Erlika menyingkap selimut, bangun perlahan sambil tersenyum. Tubuhnya tampak sempurna dalam balutan lingerie merah cerah, kontras dengan kulit putihnya. Seperti manekin yang memesona siapapun yang melihatnya.
Kedua mata Erlika berkilat, bibirnya menyeringai penuh kemenangan. Matanya melahap seraut wajah maskulin milik Toni yang terlelap. Seperti patung dewa yunani hasil pahatan seorang Maestro.
Sambil menahan gelora di dada, jari lentiknya menelusuri hidung mancung Toni, lalu turun sampai ke bibir. Jarinya dia kecup lalu ditempel di bibir Toni. Perlahan jarinya bertualang hingga ke perut. Dengan hati-hati mengangkat tangan Toni menaruh ke dadanya. Jantungnya berdegup kencang berkejaran serasa mau copot. Napasnya sedikit memburu.
Toni terbangun kaget, menarik tangan yang digenggam kekasihnya. Melebarkan mata kantuknya menatap gadisnya yang setengah telanjang. Sepasang gunung kembar membayang sempurna dari lingerie tipis menerawang, mengusik nafsu kelelakiannya. Dengan manja Erlika memeluk dan melumat bibir kekasihnya penuh nafsu. Toni terseret arus liar menimbulkan sensasi kenikmatan.
Keduanya berpagutan dengan nafsu yang panas membara. Lenguhan Erlika seperti api yang membakar gairah asmara yang merasuki jiwa keduanya. Kehendak nafsu asmara berkobar semakin membesar oleh kipasan iblis. Di luar kamar keadaan sunyi. Kedua orang tua Erlika telah tenggelam dalam mimpi indahnya.
Dorongan nafsu yang menuntut terpuaskan, Toni mulai melucuti lingerie seksi Erlika. Sejak tadi Erlika telah melepas kancing baju tunangannya. Gesekan kulit tanpa batasan membawa keduanya serasa terbang ke langit dan mendarat di awan nan empuk. Kesejukan dan semilir angin iblis yang membawa serta gairah asmara, membuat keduanya lupa daratan.
Diayun dan dilambungkan ke puncak gairah nafsu saling menyesap nikmatnya tubuh pasangannya, Toni melorotkan celananya. Akal sehatnya hilang, terbakar nafsu birahi. Di puncak gairah yang menyesatkan, tetiba kumandang azan dari masjid bergema, Toni tersadar. Azan subuh menyelamatkannya.
“Astaghfirullah, Lika! Apa yang kau lakukan padaku? K–kau … kau mau menjebakku?” kata Toni lirih dan tegas, sambil mengatur napasnya yang memburu.
Toni segera bangkit dari tubuh Erlika lalu merapikan celananya. Melantun istighfar berkali-kali sambil mengatur napas, meredakan gejolak nafsu yang meradang. Toni benar-benar merasa terpukul. Erlika menarik selimut menutupi tubuhnya.
Selesai membenahi busananya, dengan kemarahan yang memuncak, kedua netranya merah membara, Toni menyengkram kedua bahu kekasihnya. Erlika duduk gemetar sambil memegangi selimut di dadanya, dia takut sekaligus kecewa. Air mata meluncur dari sudut-sudut matanya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya