“Kau tahu apa akibatnya? Namaku akan hancur dan selamanya kita tak akan pernah bertemu! Jika kau hamil, orang tuaku tak akan percaya, mereka tidak akan memberitahu di mana aku dibuang!” semprot Toni sambil mendecih.
“Belum puas kau mempermalukanku dengan postingan waktu itu? Atau kau ingin menghancurkanku? Siapa orang di belakangmu, hah? Kau benar-benar bodoh!” sembur Toni berapi-api.
“Ma–maafkan aku, Mas. A–aku hanya ta–takut kehilangan Mas Toni,” kata Erlika tergagap-gagap, “sungguh, tidak ada yang menyuruhku!”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau begitu, kau tidak memercayaiku? Kau tidak yakin dengan cintaku?”
Erlika terdiam, dia tidak berani menjawab. Dia berusaha menahan isakan. Dia hanya bisa pasrah, jika Toni akan membatalkan pertunangannya. Dengan kasar Toni pergi sambil membanting pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara mobil pergi meninggalkan decitan ban.
***
Kepindahan kantor ke Semarang, tidak membuat Toni otomatis berkantor di sana. Toni masih mondar-mandir kantor baru dan lama, sesuai kebutuhan. Dewan Komisaris tetap berkantor di Purwokerto.
Dia sering bingung mau tinggal di mana? Di rumah ada istri yang membuatnya sebal. Istri yang tidak diharapkan. Istri yang merenggut kasih sayang orang tua darinya. Toni menyesal sudah meminta Ratih tinggal di rumahnya. Dia memilih tinggal di vila, seperti biasanya jika lagi ngambek, atau membuat marah mamahnya. Apalagi sekarang dia sudah menikah.
Sementara bagi Ratih, dimanapun Toni bekerja, tidak memengaruhi kehidupannya. Sebentar lagi sidang skripsi. Hasil ujian akhir, dia lulus dengan nilai nyaris sempurna. Kini dia aktif menghadiri acara pengajian untuk jamaah masjid khusus wanita di kampus. Jika tidak ada kegiatan di kampus, ibu mertuanya akan mengajaknya keluar menjelajah ke desa-desa wisata baru, atau keluar kota.
Ninit mulai membimbing Ratih menjadi seorang istri. Tidak dengan cara menasehati, tapi memberi contoh kehidupan sehari-hari. Ninit mencontohkan peran seorang istri yang berbakti pada suaminya. Ratih senang karena Mamah Ninit tidak cerewet seperti bundanya.
“Yang bener aja mbok Sah, masa Mamah sendiri yang mencuci daleman Papah?” tanyanya suatu hari.
“Leres Den. Itu wujud dari bektinya seorang istri. Nyuci pakaian Ndoro Kakung, itu juga dihitung sebagai amal ibadahnya Ndoro Putri, lho Den,” jelas Mbok Sah.
Ratih termenung. Apa bunda juga begitu? Bunda cuma bilang aku harus mencuci daleman aku sendiri. Kalau sampai orang lain yang mengerjakannya, itu dosa, gumamnya dalam hati.
Saat menghadiri pengajian, hatinya tercerahkan oleh tausiah Ba’da Zuhur. Ustazah menjelaskan jika seorang Istri, apapun yang terjadi, tidak boleh meninggalkan rumah suami. Di dalam relung hatinya mulai bersemi benih-benih kerinduan. Ratih mulai merindukan kehadiran suaminya.
Keegoisan Ratih luruh oleh kasih sayang ibu mertuanya. Arum juga sering menyelipkan nasehat ketika keduanya bertemu. Setiap malam minggu Ratih pulang ke rumah orang tuanya. Kasih sayang dan perhatian mertuanya, membuat Ratih paham cara bundanya mencintai dan menyayanginya. Hubungan keduanya semakin membaik.
Di hari Ratih wisuda, dengan alasan kesibukan, Toni tidak bisa hadir. Tanpa terasa matanya merebak merah. Ada sesuatu yang menancap menyakitkan di relung hatinya. Ratih berusaha tegar.
“Ih, ada apa denganmu, Ratih? Kalian saling tidak menyukai, bukan? Pernikahan kalian hanya sementara!” sergahnya lirih sambil mengeplak kepalanya untuk menyadarkan pikirannya. Netra indahnya nanar menatap bayangan dirinya di cermin. Terdengar ketukan di pintu mengagetkan. Pintu terbuka diikuti suara Mamah Ninit.
“Ratih, sudah siap belum?”
“Sudah, Mah!” jawab Ratih tersenyum lebar.
Keduanya turun menuju ke ruang tamu. Ayah dan bunda Ratih sudah menunggu di sana. Ayah bundanya menyambut dengan penuh kebanggaan, putrinya lulus dengan predikat cumlaude. Rangkaian bunga ucapan selamat memenuhi ruang tamu dan ruang duduk dari keluarganya. Salah satu diantaranya dari Toni. Ratih mencibir, namun ada rasa sakit yang menoreh dinding hatinya. Tak terasa netra cantiknya merebak berkaca-kaca. Tanpa disadari cinta kepada suaminya mulai tumbuh di hatinya.
Waktu luangnya Ratih pergunakan untuk banyak membaca buku tentang pernikahan. Dia mulai belajar menjadi istri yang baik mengikuti nasehat kedua orang tuanya dan contoh dari ibu mertuanya. Kasih sayang dan keberpihakan mertuanya juga menyemangatinya untuk bersabar menghadapi perlakuan suaminya. Hingga suatu hari …
“Mas, kau ada dimana?” tanya Ratih.
“Di Semarang. Ada apa? Kekurangan uang?” tanyanya ketus. Ratih cemberut sambil mengelus dada.
“Minggu depan, Mamah ulang tahun. Papah mau bikin kejutan. Mas pulang, kan? Pulang ya, Papah sudah mengaturnya! Bye … sampai nanti!” dengan kesal Ratih memutus hubungan tanpa menunggu jawaban. Dia mendengus, “huuuh, menyebalkan. Sabaar Ratih, sabar … tahun pertama sebentar lagi berlalu! Tepat di hari ultah Mamah, setahun wedding anniversary kami!”
Dirinya sudah mengirim proposal pendaftaran dan melakukan tes masuk Technical University of Munich. Tinggal menunggu jawaban diterima atau ditolak. Ratih mengambil Master of Science bidang Agriculture selama 4 semester. Dia sedang mengikuti kursus bahasa Jerman baik luring maupun daring. Untuk percakapan bahasa jerman, lumayan lancar.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya