Novel : Petaka Sebuah Janji (Part 1)
Sebuah ikatan janji yang dibuat oleh dua sahabat sejati untuk menjodohkan putra-putri mereka kelak, berbuntut sebuah petaka. Diawali penolakan dari putra-putri mereka. Astono Permana Putra biasa dipanggil Toni, putra tunggal Barman Heru Sumbogo, seorang CEO grup Ancala, sebuah perusahaan milik keluarga, yang mengelola beberapa hotel di kota-kota besar di negeri ini. Demikian pula Kamaratih Kusumawardani dengan panggilan Ratih, putri Keluarga Rangga Wijaya Danusaputra, yang masih ingin menggapai cita-citanya
Penolakan Toni dengan cara bertunangan dengan Erlika Dewi Andini, wanita pilihan hatinya, tempat dia melabuhkan cintanya. Keduanya bertunangan di sebuah restoran. Pertunangan ini disaksikan oleh Ratih, calon istri pilihan mamahnya.
Malam itu, sehari sebelum pertemuan keluarga, untuk mempersatukan kedua putra mereka dalam ikatan pertunangan, di kediaman Rangga Wijaya Danusaputra terjadi keributan. Putri bungsunya hingga larut malam belum pulang. Rangga, suaminya, sedang kontrol proyek yang sedang digarap perusahaannya. Dalam kebingungan dan kekhawatiran, Arum, ibunda Ratih, tanpa pikir panjang menghubungi teman dekat putrinya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Nak Uut, apa Ratih menginap di rumahmu? Dia belum pulang!”
“Apa, Tan? Ratih belum pulang? Tapi … maaf, Tante, sudah seminggu ini Ratih tidak masuk kuliah. Teman-teman satu grup penugasan juga mencarinya. HP Ratih juga nggak aktif, Tante,” jelas Uut teman dekat Ratih di kampus.
Arum, ibunda Ratih, terkejut tidak kepalang. Rasanya kekuatan melayang hilang meninggalkan raganya. Tubuh rasanya lemas tak bertenaga. Ponsel terlepas dari genggaman meluncur jatuh ke karpet. Kepala terasa berat, kaki diselonjorkan, kepala ditaruh di ujung sandaran sofa. Kedua netra menatap hampa ke langit-langit. Pikirannya melayang entah kemana.
Setiap hari putrinya pergi dan pulang kuliah seperti biasanya. Ternyata dia bolos kuliah. Dia pergi kemana seminggu ini? Sejak sekolah hingga kuliah, baru hari ini putrinya tidak pulang.
“Ratih … di mana kamu, Nak?” sebutnya lirih penuh kekhawatiran.
Arum menegakkan duduknya, lalu segera menghubungi Bagas dan Yayo, kedua kakak Ratih. Dia menyuruh mereka pulang.
“Nggak bisa, Bu! Aku sedang meninjau proyek di Medan,” kata Bagas, putra sulungnya.
“Ibu bilang juga apa! Lulus sarjana langsung bantu Ayahmu!”
“Kan, Ayah yang menyuruhku cari pengalaman kerja sebagai bawahan orang. Aku juga diminta untuk mempelajari bagaimana suatu perusahaan bekerja. Yayo aja, Bu.”
Dengan putus asa Arum bergumam lirih, “Kau benar-benar tak bisa diharapkan!” lalu memutus sambungan. Tak lagi didengarnya penjelasan dari putra sulungnya
Arum bingung, Yayo sedang KKN di desa terpencil di lereng pegunungan sewu. HP Ratih juga nggak aktif. Akhirnya dia menelpon suaminya melaporkan ketidak pulangan Ratih yang ternyata sudah seminggu tidak kuliah.
“Bu, jangan sampai berita ini tersebar! Ini menyangkut reputasi kita, juga reputasi perusahaan.” Rangga meminta dengan suara bergetar.
Aduh bagaimana ini, aku sudah minta tolong Uut menanyakan kepada teman-teman dekat Ratih, gumamnya dalam hati penuh kebingungan. “Bagaimana menyetopnya?” desisnya panik. Arum sangat panik, otaknya beku.
Keringat dingin mulai membasahi punggung. Rasa was-was menggumpal di dadanya. Bayangan-bayangan buruk yang menimpa putrinya menari-nari di kepalanya. Isak pun tak tertahan lagi. Dia tersedu di ruang keluarga yang sepi. Arum segera menghubungi Uut.
“Ini bunda Ratih. Maaf nak Uut, sudah terlalu malam Tante masih nelpon. Tante minta nak Uut nggak usah menanyakan keberadaan Ratih pada teman-temannya. Tolong dirahasiakan, ya nak Uut. Terima kasih sudah membantu. Berita hilangnya Ratih bisa membahayakan keselamatannya!”
Uut terkejut, mulutnya sampai melongo. “Iya jugasih, Ratih putri pengusaha cukup terkenal!” desisnya lirih sambil membekap mulutnya. “Untunglah, aku belum sempet nanya temen-temen,” lanjutnya lega.
“Baik, Tante. Semoga Ratih nggak kenapa-kenapa. Dia pulang dengan selamat,” doanya prihatin.
Arum tergugu. Berita-berita terkini berseliweran di layar TV tak sempat mampir di netranya yang terus mengalirkan air bening mengiring sedu-sedan yang tak hendak henti.
“Apa dia marah dengan perjodohan ini? Atau jangan-jangan … aaah tidak, tidaaak! Ya Allah jangan sampai terjadi! Lindungi anakku, putriku …,” desahnya lirih disela isak tangisnya. Air mata pun makin membanjir.
Dadanya terasa sangat sakit. Tangan kanannya memukul-mukul dada kirinya, sambil menyesali diri. Arum merasa menjadi ibu yang gagal. Tidak mampu melindungi putri satu-satunya.
Di kamarnya, Simbok, ART yang setia, juga sangat terpukul dengan hilangnya momongan terkasihnya. Dia tersungkur dalam sujudnya, menangis memohon keselamatan Ratih. Hatinya sungguh tak rela jika sesuatu yang buruk menimpa momongannya.
Sementara malam itu, di sebuah rumah penduduk, tidak jauh dari area wisata Baturraden, Ratih sedang iseng main game menggunakan laptopnya. Matanya fokus menatap layar, tangan kanannya sibuk menggeser dan mengklik tetikus. Dia memakai modem internet.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya