Toni bergegas mandi, lalu berpakaian lengkap. Dia berniat ke kafe yang semalam dia kunjungi, mau menanyakan tentang kejadian semalam. Begitu membuka pintu, mamahnya sedang menuju ke arahnya.
“Ton, sudah bangun? Mana Ratih?” Toni terkejut.
“Ratih sudah bangun dari tadi!”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Apa? Dia belum turun. Cuma Mamah sama Papah yang sarapan,” jawab Ninit kaget.
“Lalu dimana dia?” tanya Toni bingung. Toni ingat sesuatu, tapi dia ragu begitu teringat noda darah di sprei. Dia gugup, wajahnya memucat. Mamahnya menangkap sesuatu.
“Kalian bertengkar semalam?” tanya Ninit sambil menatap tajam putranya. Toni langsung mengalihkan pandangan. Dia tidak berani menatap mamahnya.
“Jawab Mamah, Toni!” kata Ninit tegas. Toni merasa jengah.
“Kalian ngapain, disitu?” tanya Barman yang sudah berdiri di ujung tangga.
“Ratih pergi, Pah,” jawab Ninit dengan suara bergetar.
“Mungkin dia pulang; atau ke kampus mungkin. Mamah bilang mau ambil surat-surat penting, kan?”
“Tapi dia ndak pamit, Pah,” jawab Ninit sedih.
“Sah … Isah,” teriak Barman memanggil pembantunya.
Dengan tergopoh mbok Isah masuk, bertanya dengan takzim, “Ndoro Kakung nimbali? Wonten kerso menopo?”
“Tadi pagi, Ratih berangkat jam berapa?” tanya Ninit nggak sabar.
“Den Ratih tindak? Ngapunten nggih, Dalem mboten mangertos. Benar-benar tidak tau Ndoro.”
“Jajal takon Badri!” perintah Barman. Tapi mbok Sah bergeming bingung. “Cepat tanya Badri!” ulang Barman denan nada tinggi.
Dengan terbirit-birit Simbok langsung pergi ke depan, bertanya pada sekuriti yang sedang jaga. Badri sedang ngopi ditemani cemilan mendoan dan ondol-ondol.
“Sah, esuk-esuk arep mengendi? Mau kemana!”
“Den Ratih, Dri. Tindak maring ngendi? Kowe weruh ora? Den Ratih ora pamit.”
Badri hanya memberitahu kalau sebelum subuh Ratih pergi dijemput mobil online.
“Memang sih perginya pagi banget, tapi tadi Mbak Ratih cuma bawa ransel yang biasa dibawa kalau ke kampus,” kata Badri menenangkan. “Pak Min juga tumbenan belum dateng,” pungkasnya.
Barman sekeluarga duduk di ruang tengah. Barman mempertanyakan pak Min, supir yang melayani Ratih. “Pak Min kok nggak keliatan?”
“Hari ini dia ijin pulang kampung, bibinya wafat,” sahut Ninit.
“Oh, kok kebetulan sekali, ya. Ton, coba hubungi pak Min, sambil ikut bela sungkawa. Sekalian tanya batangkali Ratih crita mau ke mana.”
Toni menghubungi pak Min menghidupkan speaker. Semua bisa mendengar. Dia mengucapkan bela sungkawa. Pak Min malah minta nambah ijin jadi tiga hari. Yang mendengar hanya bisa saling pandang. Pak Min tidak ngerti apa-apa.
Toni tidak ada selera makan sama sekali. Bahkan minum pun belum. Mereka membicarakan kepergian Ratih. Toni tetap bungkam. Dia merasa seperti duduk di atas bara api. Sebentar-sebentar memperbaiki duduknya. Melihat kegelisahan anaknya sontak Barman bertanya.
“Ada apa Ton? Papah sudah membatalkan pertemuan direksi dengan dekom hari ini! Kalian bertengkar?”
“E–enggak Pah, a–aku nggak ingat apa-apa semalem,” kata Toni menunduk, tidak berani memandang papahnya.
“Ton, apa yang kamu minum semalam? Kau mabuk berat! Memalukan sekali! Beruntung temenmu Endro melihatmu. Dia yang membawamu kemari. Temennya malah yang membayar bill makanan dan minumanmu. Benar-benar memalukan!” sungut Papahnya.
Toni tetap bergeming. Dia bungkam seribu bahsa, bingung mau berkata apa.
“Ngomong, Ton! Apa yang telah terjadi semalem?” desak mamahnya.
Sementara Ratih yang kabur dari rumah, masih berada di masjid kampus, sejak sebelum subuh. Dia mengalami syok berat. Dia hanya menangis diam-diam, mengadukan nasibnya kepada yang memberinya hidup. Dia pasrah, yang merudapaksa adalah suaminya. Orang yang menjadi kewajiban Ratih untuk melayani. Tapi, mereka sudah sepakat untuk melaksanakan setiap butir perjanjian yang mereka buat. Sekarang semua sudah hancur, perasaannya terkoyak-koyak, hatinya remuk berkeping, hidupnya luluh lantak. Dia ingin menghilang.
Ratih tinggal di masjid sampai salat duha. Keluar masjid dia berbaur dengan pejalan kaki. Dia berjalan kemana arah kakinya melangkah. Berhenti saat merasa haus. Perutnya melilit minta diisi, tapi mulutnya malas mengunyah. Ratih hanya mengisi perut dengan minum susu UHT. Dia juga membeli beberapa botol yoghurt. Jika lelah dia mencari masjid untuk istirahat dan salat sunah. Hatinya merasa tenang jika berada di masjid.
Sementara di rumah keluarga Sumbogo, Ninit merasa sangat was-was. Barman tidak ke kantor. Dia telah membatalkan rapat dewan Komisaris sampai ada pemberitahuan selanjutnya.
“Pah, bagaimana ini. Apa kita cek ke rumahnya?”
“Jangan dulu, jangan membuat mereka panik. Kau hubungi saja Ratih.”
“Di luar area, entah batrenya habis atau HP sengaja dimatikan …,” kata Ninit dengan putus asa, sambil mengembuskan napas dalam keluhan.
Ada apa sebenernya? Ratih pasti sengaja mematikan HP biar ndak bisa dilacak. Tapi kenapa? Kemaren-kemaren dia baik-baik saja. Toni aja yang brengsek. Mamahnya ultah nggak dateng, istrinya wisuda juga ndak ndampingi! Tapi, Ratih tenang-tenang aja. Bagi dia yang penting ayahnya hadir! Barman membatin. Tangannya memijat keningnya, bingung harus bagaimana.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya