Pagi ini pikiran Toni benar-benar kacau. Tempat tidur Toni sudah dibersihkan, sprei, sarung bantal dan guling diganti oleh mbok Sah. Dia meminta Mbok Sah untuk tutup mulut tentang noda darah di sprei. Isah pun tidak bertanya, dia hanya membatin, den Ratih sudah setahun menikah masih perawan? Lalu sekarang malah pergi diam-diam. Lah wis embuh, tingkah orang kaya memang aneh!
Toni pergi ke kantor. Dia benar-benar lesu dan tidak konsentrasi kerja. Rapat hari ini sudah dibatalkan ayahnya. Dia mau menyelesaikan masalah kafe. Jauh di dasar lubuk hatinya, tertoreh penyesalan atas perlakuannya terhadap istrinya. Dia berniat kembali ke Semarang untuk menenangkan diri. Baru saja mau pergi, HP-nya bergetar. Melihat siapa yang menghubunginya, buru-buru sambungan diterima.
“Ton, Ratih …,” kata mamahnya gugup, sambil menangis di seberang sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Toni pucat pasi, tidak mampu berkata sepatah kata pun. Ratih benar-benar pergi. Hatinya sakit sekali, serasa tertoreh tajamnya belati bermata dua. Penyesalan merobek- robek perasaannya.
Sebentar tadi, mamahnya masuk kamar Toni. Ninit tidak percaya kalau tidak terjadi apa-apa dengan pasangan itu. Matanya menyapu seluruh ruangan. Semua baik-baik saja. Tidak lama kemudian kedua netranya menangkap sesuatu di meja rias.
Dengan segera Ninit melangkah mendekat. Matanya terbelalak lebar, perasaannya sontak menangkap sesuatu yang buruk. Dia mendapati Kartu Kredit platinum atas nama putranya dari salah satu bank nasional dan kartu emas ATM dari bank plat merah tergeletak di situ. “Ini kartu yang diberikan Toni untuknya,” gumamnya lirih.
Dia teringat, waktu Ratih baru tinggal di rumahnya. Ratih pernah memberikan kedua kartu itu padanya, dia merasa tidak perlu. Kebutuhannya masih dipenuhi oleh orang tuanya, bahkan Bagas, kakaknya, sesekali mentransfer uang untuk kebutuhan kuliah.
Yang paling membuat Ninit syok berat adalah sebentuk cincin kawin milik Ratih. Cincin yang seharusnya mengikat hati sepasang insan yang telah melakukan akad untuk berkomitmen hidup bersama selamanya. Cincin yang dia pesan khusus untuk kedua pasangan kesayangannya, tergeletak begitu saja tanpa makna. Tubuhnya lemas serasa kehilangan separuh nyawa, dia terduduk di lantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Ninit berteriak memanggil suaminya.
Toni tercenung sesaat, kemudian, “Mah, jangan dulu ngabari Ayah ma Bunda. Kita cari dulu, ya. Kita pikirkan bersama. Tapi Toni mau ke kafe yang semalam. Barangkali mereka punya bukti kalau Toni keracunan.” Mamahnya hanya berpesan untuk segera pulang.
“Ratih … kau ada di mana?” desah Toni khawatir, sambil menaruh ponsel di meja.
Pikirannya menduga-duga tidak menentu. Semua bayangan buruk, justru mendominasi akal sehatnya.