Berita kaburnya Ratih dengan meninggalkan Kartu Kredit dan Kartu ATM yang dia berikan untuknya serta cincin pernikahannya, sangat memukul jiwa Toni. Berita ini seperti palu godam yang memukul dadanya, membuatnya merasa sesak. Belum lagi misteri kejadian semalam yang sangat mengguncang kalbu dan akal sehatnya. Misteri yang masih menjadi tanda tanya besar dan belum terpecahkan.
Perbuatannya semalam terjadi di luar kendali, telah menimbulkan badai besar yang memporakporandakan perasaannya. Bukan itu saja, ada kemungkinan berdampak juga pada kedua orang tua dan mertuanya. Sangat besar kemungkinannya terhadap hubungan kedua keluarga. Hubungan baik yang telah terjalin puluhan tahun bisa jadi patah arang yang tak pernah tersambung lagi.
“Mamah dan Bunda sudah bersahabat sejak mereka kecil, sekarang persahabatan yang sangat harmonis terancam pecah. Perjodohan ini karena mereka menginginkan persahabatan terjalin abadi,” gumamnya lirih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Toni merasa sangat bersalah. Dia menganggap ayah bunda Ratih sudah seperti orang tua kedua baginya. Begitu juga Ratih, istrinya. Dia menganggap papah mamah Toni sebagai orang tua kedua baginya. Hatinya seperti diremas-remas. Rasa khawatir menghujam kalbu.
Toni mengasihi Ratih seperti adiknya sendiri. Kesempitan hatinyalah membuatnya merasa cemburu. Dia merasa tersisih dari perhatian orang tuanya. Toni mendengus, “bisa-bisanya aku punya pemikiran seperti itu! Picik sekali!” gumamnya sambil memukul pelipisnya. Bayangan istrinya terus berkelebat di matanya. Mata indahnya, senyum polosnya, wajah tersipu saat keduanya bersitatap. Hati Toni resah.
Kedua tangannya menutup wajah lalu terisak dalam kegalauan. Dia menyalahkan diri sendiri yang mabuk tadi malam. Andai saja dia pulang dan makan malam di rumah, mungkin malam terkutuk itu tak akan terjadi. Dia juga menyalahkan pada janji antara Ninit, mamahnya, dengan Arum, bunda Ratih, untuk berbesanan.
“Ah, andai saja mereka memilih bersahabat daripada berbesanan, semua akan berjalan normal seperti biasanya,” gumamnya lirih.
Saat ini hatinya benar-benar khawatir tentang keadaan Ratih. Dia teringat ancaman Bagas. Hatinya menjadi sesak oleh penyesalan. Bayangan perlawanan wanita yang dia gagahi, yang ternyata istrinya sendiri, kembali memenuhi benaknya.
“Ratih … maafkan aku,” desisnya lirih. Toni benar-benar dilanda penyesalan yang sangat mendalam. Tiba-tiba Toni berjengit.
“Ba–bagaimana jika … Ratih bu … aah, tidaaak!” jeritnya lirih tertahan. Toni menjambak rambutnya sambil mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Rambutnya acak-acakan. Bergegas dia bangkit dan keluar ruangan.
“Lin, aku mau keluar! Mungkin nggak balik lagi. Urusan hari ini tunda semuanya!” Toni beranjak pergi. Linda langsung memanggil. Toni berhenti lalu menatap Linda, sekretaris perusahaan mantan sekretaris dirut, dengan wajah bingung, penuh tanda tanya.
“Maaf, Pak. Rambut bapak berantakan sekali,” kata Linda memberitahu. Toni balik ke ruangan untuk merapikan rambut dan busananya, kemudian pergi.
Dengan segera Toni meninggalkan kantor menuju kafe yang semalam dikunjungi. Sayang sekali Toni tidak mendapatkan petunjuk apapun. Hatinya mencelos, mengetahui barang bukti juga sudah tidak berbekas. Setiap selesai dipakai, peralatan makan dan minum langsung dicuci. Kopi dibuat gelas per gelas, jadi tidak ada sisa.
“Maaf, Pak. Kemarin penjualan Americano mencapai 60 gelas termasuk yang take away. Untuk menu yang bapak pesan juga dipesan beberapa pengunjung. Sampai saat ini tidak ada keluhan. Baru bapak yang ada keluhan. Apa sebelumnya bapak minum minuman keras? Atau ….”
“Tidak! Aku tidak minum alkohol. Baiklah kalau begitu, tolong tutup masalah ini jangan sampai menyebar! Nama baikku taruhannya. Terima kasih atas kerjasamanya. Bisa minta kartu namanya?”
Pemilik yang sekaligus juga barista kafe tersebut menyanggupi, sambil memberikan kartu nama pribadinya. Toni pergi, pemilik kafe langsung memberi pengarahan kepada seluruh pegawainya untuk tidak menceritakan kejadian semalam. Demi nama baik pelanggan, juga nama baik kafe.
Pramusaji suruhan Erlika melihat kedatangan Toni dengan tampang yang tidak seperti biasanya, keras dan dingin. Pagi ini Toni terlihat lesu. Dia buru-buru menyingkir ke dapur dengan gugup dan jantung berdebaran. Dia membantu menyiapkan peralatan dapur. Sebentar lagi kafe akan dibuka.
Hatinya mengerut, tapi dia harus mampu berpura-pura seolah-olah tidak melakukan perbuatan tercela. Namun, tetap saja nuraninya merasa bersalah. Sepeninggal Toni, secara sembunyi-sembunyi dia mengirim WA kepada Erlika.
[Kamu harus bertingkah laku biasa-biasa saja. Jangan kelihatan ketakutan tanpa alasan. Jangan kikuk agar tidak memancing kecurigaan orang!] saran Erlika.
[Baik, mbak]
Erlika melempar HP dengan kesal ke samping laptop lalu meneruskan pekerjaannya. Dia harus menahan diri agar tidak menimbulkan kecurigaan. Ridwan rekan kerja di sampingnya melirik diam-diam. Akhir-akhir ini Erlika sering uring-uringan.
Setelah tidak mendapatkan bukti apapun, dari kafe Toni menemui dr. Syarif, Sp PD di salah satu rumah sakit swasta langganan keluarga Barman. Dokter Syarif, merupakan Kepala Bagian penyakit dalam. Dia praktik sore. Toni menemuinya di ruangan kantor.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya