Dia baru saja masuk sebuah desa di tepi sawah. Sawah yang luas membatasi desa ini dengan kota kecamatan tempat masjid besar berada. Hari sudah menjelang asar. Sejak meninggalkan masjid terakhir selepas salat Zuhur, tanpa sadar Ratih berjalan ke arah luar kota. Dia menghindari keramaian.
Teriknya matahari membuatnya lelah, dia mencari masjid untuk istirahat. Ternyata semua masjid yang ditemui pintunya terkunci. Kata orang, masjid hanya dibuka setiap waktu salat. Masjid yang selalu buka, hanya masjid kecamatan, yang kini sedang dituju, namun lumayan jauh.
Ratih merasakan lelah luar biasa, dia juga belum tidur. Kekuatannya serasa hilang. Musik perut sudah berganti menjadi rasa melilit. Darurat lapar dan haus. Rasanya tak kuat lagi untuk berjalan. Dia memutuskan untuk menunggu waktu masuk asar di sini. Masjid akan dibuka saat masuk waktu asar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ratih berhenti di tepian sawah, duduk selonjor kaki menghadap sawah di bawah pohon peneduh. Air matanya runtuh kembali, bergulir jatuh membasahi pipi. Hanya mata yang masih berair. Bibir dan tenggorokannya kering kerontang. Bekal yang tadi dibelinya sudah habis, tinggal seperempat botol minuman ukuran sedang yang masih tersisa. Dia tidak menemukan warung yang menjual minuman.
“Ya Allah, di mana rumahMu. Aku ingin mengetuk pintuMu. Aku lelah, sangat lelah raga maupun batin. Tolong beri aku petunjukMu,” rintihnya pilu terbawa semilir angin.
Tiba-tiba terdengar suara azan, pertanda masuk waktu asar. Ratih menjawab suara azan dengan semangat. Hatinya lega, berarti ada masjid tidak jauh dari tempatnya berada. Semangat mengalir dari setiap pori-porinya, mengembuskan tekad di hatinya memberi tenaga pada tubuhnya.
Dengan semangat meski tertatih, Ratih bangkit. Kepalanya pening, mata berkunang-kunang, dia terhuyung hampir saja jatuh. Ratih segera berpegang pada batang pohon, memejamkan mata sebentar, mengatur napas. Dia mengambil botol air kemasan dari bagian samping ransel, lalu minum seteguk untuk membasahi tenggorokannya. Dia harus menghemat air minum sampai menemukan orang jualan minuman.
Ratih mulai berjalan menuju arah iqomat yang sedang dikumandangkan. Dia harus menyeberang jalan. Melangkah perlahan sedikit limbung. Di pertengahan jalan, Ratih terhuyung tanpa pegangan bertepatan sebuah city car melaju kearahnya. Mobil berwarna merah, membawa dua orang wanita, melaju tenang. Melihat orang menyeberang dalam keadaan limbung, mobil minggir dan berhenti.
Ratih sempoyongan jatuh tersungkur di aspal yang panas, tepat ketika pengendara dan penumpang city car keluar dari mobil. Keduanya berlari dengan cepat. Si pengemudi merangkul dada dan satunya lagi menarik ransel di punggung Ratih. Dia terselamatkan dan batal mencium aspal panas.
Dipapah oleh kedua penolongnya, Ratih didudukkan di bawah pohon rindang tidak jauh dari mobil. Setengah sadar, Ratih bergumam, lalu mendesis menahan sakit. Si pengemudi berniat mendengarkan gumaman dengan jelas. Dia kaget melihat wajah wanita yang ditolongnya, “Ratih … Ratih, sedang apa kau di sini?” jerit pengemudi yang tidak lain adalah Cindy, putri Bastian, teman sekolah Ratih.
Ratih minum air dingin yang diambil dari mobil. Dia hanya mampu minum seteguk, kepalanya terasa berat, pandangannya kabur semakin gelap, lalu tak sadarkan diri. Cindy dan temannya memapah mendudukkan Ratih di kursi depan, pintunya lebih luas dibanding pintu belakang. Sandaran direbahkan untuk mempermudah menaikkan kakinya.
“Kita bawa kemana? Margono apa DKT” tanya teman Cindy.
“Kita pikirkan sambil jalan!” kata Cindy.
Mereka putar arah kembali ke kota, menuju rumah sakit daerah. Cindy berubah pikiran,
“kita ke Geriatri saja, di sana ada Ruang VVIP.”
Ratih dibawa ke IGD, lalu ditangani dokter. Cindy mencari dompet Ratih, mencari identitasnya. Cindy memberitahu petugas IGD jika ayah Ratih adalah Rangga Wijaya Danusaputra. Hampir semua orang di kota itu kenal nama itu. Seorang pengusaha kaya yang murah hati.
Berkat namanya, semua jadi lancar. Cindy meminta agar Ratih dirawat dulu, masalah administrasi menunggu ayahnya datang. Dia menelpon ayahnya. Ratih segera mendapat penanganan dan pemeriksaan oleh dokter IGD.
Sementara dirumah Ratih, Arum yang sedang minum teh bersama suaminya pamit ke dapur. Dia mau mengecek Simbok yang sedang merebus ubi dan jagung, untuk bawaan ke rumah besan. Tiba-tiba terdengar suara gaduh.
Prang!!! Arum menjatuhkan gelas berisi air. Karena terkejut mau menghindari pecahan gelas, malah terpeleset. Tangannya menyenggol panci untuk tempat rebusan jagung. Krompyang!!! disusul teriakan Arum.
Simbok berhasil menangkap tangan ndoro putrinya, sehingga Arum dapat berdiri stabil, berpegangan meja. Mendengar keributan di dapur, Rangga bergegas menuju dapur. Tutup panci menggelinding keluar dapur menabrak kaki Rangga. Simbok menuntun Arum duduk di kursi.
“Ada apa Mbok?” tanya Rangga di depan pintu sambil memungut tutup panci.
“Jangan masuk Ndoro ada beling.” cegah Simbok sambil menyapu, mengumpulkan serpihan beling.
Simbok membersihkan lantai dengan lap basah, agar serpihan kecil terbawa lap. Lantai kembali bersih dan tidak berbahaya. Arum menenangkan debaran jantungnya yang berkejaran susul menyusul. Dari pintu Rangga nongol penuh rasa khawatir
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya