“Bun, ada apa? Kamu terluka, nggak?”
Setelah melepaskan napas dengan keras, Arum baru menjawab, “aku nggak papa, cuma … Ratih, Yah. Wayangane ngglibet di mataku, seperti minta tolong. Wajahnya kelihatan menderita,” disusul isakan yang menjadi.
Rangga masuk lalu memeluk istrinya menenangkan. “Sudah, sudahlah. Yuk ke dalam, biar Mbok saja yang ngurus di sini semuanya.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Arum mengangguk sambil menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu bangkit. Keduanya beriringan keluar dapur. Simbok memandang keduanya sambil tersenyum simpul. Diam-diam mengacungkan jempol di samping tubuhnya yang gempal.
“Ndoro Kakung cinta banget sama Ndoro Putri. Sebaliknya, Ndoro Putri bektinya nggak ketulungan sama Ndoro Kakung. Jian tumbu olih tutup wis klop. Itulah kalau jodoh pemberian Gusti Allah, Mugo-mugo Jeng Ratih begitu juga, aamiin,” gumamnya sambil mewadahi rebusan jagung dan ubi.
Rangga membawa istrinya ke kamar tidur. Mereka duduk berdampingan di bibir ranjang. Arum tersungkur di pangkuannya menangis tersedu-sedu sambil menyebut nama Ratih berulang kali.
“Sudah … cup, ya Sayang, ayo kita doakan yang terbaik untuk Ratih bersama-sama,” kata Rangga sambil mengelus lembut kepala Arum.
“Bayangan dia terus menempel di mataku …,” kata Arum sendu.
Rangga membantu Arum duduk, lalu mengecup keningnya dengan sepenuh hati. Arum selalu merasa nyaman dan hatinya tegar bila ada suaminya. Dia mengatur napas untuk meredakan gejolak hatinya. Batinnya terus saja merasa tidak nyaman entah disebabkan karena apa.
Tiba-tiba telinga Rangga menangkap suara panggilan Ratih dari kejauhan. Keningnya mengernyit, lalu konsentrasi. Dia kembali mendengar panggilan Ratih. Dia masih berpikir, kenapa Ratih berteriak-teriak memanggilnya. Bukan kebiasaan putrinya berteriak-teriak seperti itu.
“Bun, Bunda denger nggak suara panggilan Ratih?”
Arum segera mempertajam pendengarannya, mengernyitkan kening sampai dalam. Dia sama sekali tidak mendengar apapun, kecuali suara televisi di ruang duduk. Arum menatap suaminya dengan penuh tanda tanya, lalu menggeleng. Senyum tipis terukir di bibirnya.
“Hayo, Ayah juga merindukannya, kan?” kata Arum mencibir, meledek suaminya.