“Nanti saja kalau sudah di ruang rawat,” jawab Rangga, lalu beranjak pergi.
Setelah memastikan Ratih di tempat yang tepat, dan dalam pengawasan orang tuanya, Bastian dan putrinya keluar. Arum berterima kasih sekali lagi. Sepeninggal para penolong Ratih, Arum masuk tempat Ratih berada.
Ratih tertidur nyenyak. Arum menangis lirih sambil menggenggam erat tangan Ratih. Tidak lagi bisa menahan tangis, Arum sesenggukan. Ratih diam membisu. Napasnya teratur lembut, bundanya tidak tega mengusiknya. Arum duduk di kursi sebelah tempat tidur sambil mengelus lembut kepala putrinya. Netranya menangkap mata Ratih yang sembab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sepertinya dia habis menangis lama,” bisiknya lirih. “Nak, apa yang terjadi? Siapa yang menyakitimu?”
Arum mengangkat tangan putrinya, lalu diciumi sepuasnya. Kemudian memeluknya seperti memeluk baby Ratih dulu. Air matanya terus mengalir. Dia merasakan kesedihan yang menimpa putri cantiknya. Hati bunda mana yang tidak teriris melihat putrinya menderita. Sampai masuk magrib suaminya belum juga muncul. Apakah ada kesulitan? Arum menunggu dengan sedikit cemas.
Rangga selesai mengurus kamar rawat inap VVIP. Rangga mendapatkan ruang perawatan VVIP B, saat itu ruang VVIP A sudah penuh. Fasilitasnya sangat lengkap. Mereka bisa menunggui putrinya 24 jam. Selesai urusan administrasi, Rangga menemui dokter IGD di ruang dokter.
“Selamat sore, Dok,” sapanya begitu masuk.
“Selamat sore, silakan duduk,” sambut dokter, yang masih muda, penuh keramahan.
“Maaf Dok, putri saya mengalami kejadian traumatis. Maksud Dokter apa?”
Dokter termenung sebentar, memperbaiki duduknya, menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dokter tidak tega menyampaikan hasil pemeriksaan. Dokter menata hati, lalu berdeham.
“Begini, Pak. Maaf, dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan lebam-lebam merah kebiruan. Menandakan putri bapak mengalami kekerasan yang relatif masih baru. Di panty-nya terdapat bercak darah. Jadi kami menyimpulkan Putri bapak mengalami rudapaksa sexual.”
Rangga terkesima detak jantung meningkat, matanya merah berkaca-kaca. Dia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu terisak lirih, hatinya sakit sekali. Dokter membiarkan ayah pasiennya melepaskan emosinya sampai reda. Setelah tangisnya mereda, Rangga menurunkan tangan, Dokter segera mengangsurkan tisu.
“Trima kasih,” bisiknya lirih sambil mengambil beberapa lembar, lalu menyusut hidung hingga kering. Rangga mengambil lagi beberapa lembar melap tangan dan membungkus tisu kotornya. Melihat sekeliling mencari tempat sampah. Matanya menangkap tempat sampah di pojok dekat filing cabinet. Dia beranjak membuang tisu. Tangannya merogoh kantong celana mengambil sapu tangan. Sambil duduk mengelap wajah hingga kering.
“Maaf Dokter, saya harap rumah sakit dapat merahasiakan penderitaan anak saya. Sampai pasien bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya. Biar keluarga yang melakukan penyelidikan.”
Dokter menyanggupi. Hati Rangga hancur dan maarah sekali kepada orang yang telah merudapaksa putrinya. Terdengar azan.magrib berkumandang.
Ratih dipindahkan ke ruang rawat inap yang telah siap untuk ditempati. Rangga menelepon Barman memberitahu jika Ratih sore tadi ditemukan menggelandang di jalanan arah ke kota kabupaten sebelah. Keadaannya memprihatinkan, sekarang dirawat di VVIP B ruang Adenium, paviliun Abiyasa rumah sakit Geriatri.
Barman sangat terkejut, dia terdiam mematung. Dengan suara bergetar, “ba–baik Mas, kami … kami akan kesana.”
“Apa!” teriak Ninit terkejut, “Pah …,” bisiknya lirih, wajahnya memucat, mata berkaca-kaca. Ninit limbung, buru-buru Barman memeluknya agar tidak terjatuh. Ninit dipapah ke tempat tidur, lalu dibaringkan. Barman mengambil botol air minum kemasan dari kulkas di ruang kerja. Ninit minum seteguk.
“Bagaimana critanya, Pah?”
“Entahlah, mas Rangga sepertinya juga syok. Sepertinya dia merasa putrinya mengalami sesuatu di rumah ini. Mah, aku akan kesana bersama Toni. Kau istirahat saja di rumah!”
“Aku ikut, Pah,” kata Ninit sambil bangun dari rebahannya. Begitu duduk, dadanya terasa sakit, napasnya sesak. Barman panik, langsung memberi obat dan merebahkannya kembali.
“Sudahlah, di rumah saja. Biar Isah menemanimu. Jika Mamah ambruk di sana, malah repot!” Ninit terpaksa menurut.
Dalam perjalanan, ayah dan anak membisu dalam kebekuan. Toni gelisah, lalu menanyakan bagaimana Ayah Rangga menemukan Ratih. Papahnya hanya menggeleng.
“Apa Ayah tidak mengatakannya?” sekali lagi Barman hanya menggeleng.
Ponsel Barman berdering, istrinya menelpon. Barman diserang kepanikan, hatinya mengatakan istrinya tidak baik-baik saja. Barman mengurangi kecepatan, minggir lalu berhenti. Dia mencemaskan keadaan istrinya. Ninit rentan sekali dengan berita yang membuatnya terkejut dan sedih. Sejak kepergian Ratih yang tiba-tiba tadi pagi, istrinya sangat tertekan.
“Mah, ada apa?”
“Ini Isah, Ndoro. Ini bagaimana? Ndoro Putri kringete katah bajunya teles kebes.” kata Isah panik.
“Aku segera pulang, baju ndoromu tolong diganti!”
“Mamah kenapa?” tanya Toni dengan cemas.
“Ini gara-gara kamu! Kamu apakan Ratih? Papah tau kamu ndak mau dijodohkan. Tapi kamu menerima pernikahannya, kan? Kamu benar-benar manusia ndak bertanggung jawab, Toni!” jawab Barman dengan nada tinggi, lalu diam.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya