Toni masih di tempat parkir, dia sedang membentur-benturkan kening di stir mobil sambil bergumam, “kamu bodoh, Toni. Bodoh sekali! Kau tak memikirkan masa depan Ratih!” Tapi kini, semua telah terjadi. Menyesal pun waktu tak akan kembali. Toni bingung harus bagaimana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Dilirik sebentar ternyata sambungan dari papahnya. Begitu sambungan diterima …
“Cepat pulang!” titah papahnya dalam nada tinggi, lalu sambungan diputus.
Dengan lesu Toni meninggalkan parkiran menuju rumahnya. Di tengah perjalan, dia putar balik menuju arah Baturraden tempat vila keluarga berada. Dia ingin menenangkan diri. “Papah paling akan mengulang pertanyaan tadi. Bikin pusing saja. Mamah juga akan baik-baik saja, ada Papah di sana,” gumamnya sambil tancap gas.
Toni terduduk di bawah guyuran shower yang memancarkan air hangat. Sepintas-sepintas ingatan akan kata papahnya mulai menggaung di pikirannya. “Aaah!” jeritnya gusar, “aku kan berhak atas layanan istriku. Aku bukan memperkosanya! Tapi ….” Toni tidak sanggup meneruskan pembelaannya. Dia malah menangis sepuasnya.
Esok paginya Toni bangun dengan lesu. Dia bermimpi buruk. Mimpi tentang kebrutalannya terhadap Ratih. Dengan enggan meninggalkan pembaringan menuju kamar mandi. Guyuran air dingin yang mengalir dari setiap pori-pori menyebarkan kesegaran ke seluruh tubuh, menjalar sampai ke tulang.
Di meja makan telah tersaji nasi goreng telur dengan ayam goreng dan kerupuk serta segelas kopi tubruk tanpa gula. Dia tak sempat lagi memilih. Suapan pertama, sudah terasa kelezatan nasi goreng kampung. Nasi goreng yang tidak disajikan di resto maupun kafe. Toni tersenyum, teringat nasi goreng kencur rawit ijo buatan mbok Sah.
Saat duduk di teras belakang menikmati lembah yang masih perawan, melintas tiba-tiba di matanya seraut wajah Erika yang cantik seria. Kekasih pujaan hati yang memberi rasa riang dan bahagia jika bersamanya. Kelucuan yang polos membuatnya santai sejenak dari keruwetan pekerjaan. Dia tersenyum.
Terlintas begitu saja di benaknya, apa yang diperbuat Erlika, yang membuat mamahnya masuk rumah sakit. Dan terakhir hampir saja mereka melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Toni tercenung bingung. Dia berteriak sekuat-kuatnya kepada lembah di depannya. Suaranya terpantul-pantul, lalu hilang dibawa angin.
Bayangan Erlika terus saja menggoda, tak mau pergi dari pelupuk matanya. Toni tersenyum, kau memang istimewa. Lika, kau mampu membawa kebahagiaan dalam hidupku. Aku akan mendidikmu bagaimana seharusnya menjadi pendamping seorang pengusaha, janjinya dalam hati. Toni melupakan semua kesalahan Erlika, cinta telah membutakannya. Dia mengabaikan rasa cinta untuk istrinya, yang mulai bersemi di hatinya, bahkan menindas rasa itu.
Di tempat kerjanya Erlika mulai uring-uringan. Dia terlihat kurang tidur. Bahkan malam sebelumnya dia tidak tidur sama sekali. Kegagalan menaklukkan tunangannya membuatnya kesal. Erlika malas merias diri, hanya sapuan tipis bedak dan pemulas bibir warna merah jambu muda. Wajahnya tampak sedikit pucat, seperti tidak sehat.
Ponsel Erlika bergetar, tanpa nafsu melirik layar ponsel. Seperti tersengat lebah, matanya melotot tidak percaya, kekasihnya menghubunginya. Buru-buru sambungan diterima. Entah sudah beberapa kali sambungannya di-reject oleh Toni. Wajahnya langsung berseri, senyum manis berkembang di bibir tipisnya.
“Halo, Mas,” desahnya lirih. Kemaren kemana aja? Teleponku ditolak melulu,” protes Erlika lirih.
“Jangan ngambek dong Sayang … kemaren Mas repot banget. Yuk, jalan-jalan. Kita makan siang di waduk Wadaslintang suasananya enak buat healing.”
“Jauh … Mas enak, Bos. Bisa sesuka hati! Aku kan cuma cecurut!”
“Halah sok gitu! Mas kangen nih. Alesan apa gitu, ijin ke bu Rina. Kita ketemuan di Margono. Bilang aja mau apa. Kan hari ini doang. Bawa kerjaannya. Nanti tak bantuin!”
“Gak bisa mas, datanya seabrek!”
“Jadi, dah gak mau lagi nih … oke, Mas mau cari yang lain. Bye bye, Baby …” goda Toni.
“Mas! Mas, jangan gitu dong,” rajuk Erlika manja.
Erlika melebarkan mata sambil membekap mulutnya. Dia kaget!