Rasa bahagia terkadang menghamparkan tirai tipis, yang menutup suasana sekitarnya. Begitu juga yang dirasakan Erlika, kebahagian telah membuatnya meninggikan suara, membuat semua orang menoleh. Mereka memandang dengan penuh rasa ingin tahu.
Erlika benar-benar terkejut, dia menyadari suaranya tadi cukup kencang. Rekan kerja satu ruangan menoleh semua padanya. Wajahnya merona malu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Oke, Mas, nanti aku usahain. Jangan pake mobilmu, ya. Nyolok moto, sekedar buat jaga-jaga. Karyawan sini kepo semua,” bisik Erlika.
“Jam 10.00 di Margono!” Tanpa menunggu jawaban Toni memutus hubungan.
Dasar! Selalu saja begitu, angin-anginan. Syukurlah, cintanya tidak berubah. Mas, semua kulakukan demi mempertahankan cinta kita! batin Erlika sambil memandang kesal ponselnya.
Dia meneruskan kegiatannya sambil bolak-balik melihat arlojinya. Sekitar satu jam lebih sedikit, Erlika memberesì sisa berkas yang belum selesai. Dia juga mengemasi laptop kantor, kemudian memesan mobil online. Segera menuju ruangan bos untuk pamit.
“Kamu ini, ada apa, sih?” tanya Rina sewot.
“Maaf, Bu. Sudah dua malam ini saya tidak bisa tidur. Sekarang kepala rasanya berat sekali dan badan mriang. Saya sudah ambil antrian poli BPJS di Margono. Pekerjaan saya lanjutkan di rumah.” Bos mendengarkan sambil menatap tajam wajah Erlika yang tampak sedikit pucat.
“Isi formulir pinjam peralatan kantor!”
“Ini, Bu,” kata Erlika sambil menyodorkan formulir yang sudah ditandatanganinya untuk pengesahan dari bosnya.
Setengah berlari Erlika keluar kantor. Mobil online sudah menunggu. Mobil menuju ke RSUD Margono. Erlika turun di lobi langsung menuju toilet. Sejak kegagalannya di kafe, Erlika membawa sebuah syal kotak, dan kerudung polos dengan warna yang senada dengan motif syal. Dia harus bisa menyamar dengan baik. Paling mudah dengan penampilan wanita muslim modern.
Keluar toilet tampilan Erlika sangat berbeda. Syal dililit di pinggang, kedua ujung syal diikat di sebelah kiri depan, menghasilkan kerutan estetik di bagian perut kiri ke bawah hingga mata kaki. Bros kecil dipasang di atas lutut sedikit, agar belahan syal tidak menyibak saat berjalan. Kerudung dipakai seadanya, ujung kiri disampirkan di pundak kanan, ujung kanan dibiarkan tergerai di dadanya. Memakai sunglasses lebar menutup separuh wajahnya. Cantik sekali.
Erlika duduk di bangku antrian sambil memangku ransel dan main HP. Wajah cantiknya mempermudah mendapat tempat duduk, meski banyak pasien menunggu di luar karena penuh. Suatu keberuntungan menjadi wanita cantik.
Melihat penunjuk waktu di layar HP, pukul 10 kurang beberapa menit, dia bangkit dari duduknya. Dia keluar dengan angkuh menuju gerbang, tempat kekasihnya menunggu. Seorang pasien perempuan desa menggantikannya duduk. Tinggal pemuda yang memberikan tempat duduk untuknya terbengong. Matanya mengikuti kepergian Erlika hingga hilang.
Toni begitu terpesona melihat kecantikan kekasihnya. Rasa kangen membelit hatinya, debaran jantung meningkat. Begitu Erlika duduk, tak menunggu lama lagi dia melepas sabuk pengamannya, langsung memeluk dan menghujani dengan ciuman-ciuman panas. Erlika megap-megap kedua tangannya memaksa menjauhkan kepala Toni dari wajahnya.
“Mas, eling! Jangan menarik perhatian orang! Susah payah aku main sinetron tadi di poliklinik. Hayo cepat berangkat!”
Toni mendengus kecewa. Memperbaiki duduknya, mengembuskan napas meredakan gejolak hasrat yang menggebu. Memasang sabuk pengaman, pelan-pelan melajukan mobil meninggalkan rumah sakit menuju waduk Wadaslintang.
Sementara di Jakarta, Rendi kesal sekali karena kesulitan untuk menghubungi sahabatnya. Dari semalam hanya mendapat jawaban, ‘sambungan di luar jangkauan’.
“Di mana sih kamu, Ton? Apa yang terjadi?” gumamnya kesal. Akhirnya dia memutuskan melakukan sendiri mengurai masalah sahabatnya. Dia takut bukti satu-satunya sudah dihapus. “Mudah-mudahan perusahaan menyimpan rekamannya,” harapnya. Saat lunch dia menghubungi kafe tempat Toni mabuk.
“Selamat siang, maaf saya Rendi teman pak Toni Sumbogo. Dia mengeluh, katanya dua hari lalu makan malam dan minum kopi di sini dan mengalami keracunan.”
“Anda dapat nomor ini dari siapa?”
“Dari pak Toni. Dari kemaren malem, dia nggak bisa dihubungi, sampai hari ini juga tidak bisa. Saya sangat khawatir. Maaf, kafe ini memasang CCTV?
“Kami memasangnya. Ada perlu apa ya? Bapak aparat?”
“Bukan! Tolong jangan sampai berita ini tersebar!”
“Pak Toni juga berpesan seperti itu.”
“Kalau boleh saya minta rekamannya hari Toni makan di sini. Saya merasa ada orang yang melakukannya, entah untuk kepentingan apa. Bukit-bukti, katanya sudah tidak ada. Saya minta rekaman indoor dan outdoor lengkap hari itu. Tinggal itu harapan kami satu-satunya!”
“Mmmm …,” gumam pemilik kafe ragu-ragu dan bingung. Rendi mendapat pemikiran baru.
“Begini saja, Pak. Saya minta tolong, Bapak periksa rekamannya. Jika ada hal yang kira-kira mencurigakan, misalnya ada karyawan yang menabur sesuatu di kopi yang Toni pesan, atau seseorang menemui karyawan kafe dan membayar untuk melakukan itu. Pokoknya yang tidak biasa,” pinta Rendi.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya