Kenyataan pahit dengan bukti nyata yang tak pernah terpikirkan, bagaikan gelegar petir yang menyambar di siang bolong. Gadis pujaan hati tempat cintanya berlabuh, dengan semena-mena menghancurkan reputasinya. Berita ini telah menampar wajahnya, dan membuatnya merasa kotor dan hina.
Toni mengarahkan mobilnya ke jalan arah pulang ke rumah. Cintanya yang begitu besar membuatnya sulit berpikir jernih. Toni minggir dan berhenti untuk memutar ulang rekaman CCTV. Harapannya, wanita dalam rekaman itu bukanlah Erlika, tapi wanita lain yang mirip dengannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Matanya melotot, wajah kemerahan, rahang mengatup erat, darahnya bergolak cepat naik ke ubun-ubun, membuat kepala pusing, pandangan pun berkunang-kunang. Ternyata wanita itu memang dia, Erlika, pujaan hatinya. Waktu dan tanggalnya persis sama, tidak bergeser sedetik pun, dia benar-benar memberikan bungkusan bubuk obat untuk dicampurkan ke dalam minumannya.
Dengan kemarahan yang memuncak Toni melempar ponsel ke kursi sebelah, dia telungkup di stir mobil lalu menangis. Kondisi Ratih yang sangat hancur akibat perbuatannya, telah memporak-porandakan hatinya. Hancur berkeping seperti dilibas badai.
Seharian ini bersama pujaan hatinya, pikirannya tenang, hatinya gembira, beban yang ditanggungnya seakan sirna. Saat itu hanya ada kebahagiaan. Kebahagiaan dan keceriaan hari ini bersama tunangannya lenyap begitu saja berganti kemarahan dan sakit hati karena pengkhianatan wanita pujaannya. Dia masih tidak percaya Erlika setega ini padanya.
Setelah tenang, dia mengeringkan wajahnya. Dia mulai ragu dengan keputusannya untuk pulang ke rumah. Pikirannya berkecamuk berubah-ubah. Selintas ingatan akan kesehatan mamahnya mampu menguatkan hatinya untuk pulang. Toni tancap gas menuju rumah, tempat teraman dan ternyaman baginya.
Toni masuk ruang keluarga, papah dan mamahnya sedang melihat acara humor di salah satu stasiun televisi swasta, dalam diam. Wajah keduanya sulit diterka. Sesekali kilau bening duka bergulir dari sudut matanya yang mulai menua. Suasa sangat kontras dengan di layar TV. Humor-humor lucu tak mampu menyapu kesedihan, kemarahan sekaligus penyesalan kedua pasangan paruh baya ini. Hati Toni seperti diiris-iris sembilu. Melihat putranya baru pulang Barman menyambut dengan dingin. Mamahnya hanya memandang dengan kecewa.
“Inget pulang?” sindir papahnya.
Toni tidak menyahut, dia berlutut di depan orang tuanya sambil menangis meminta maaf. Toni menceritakan kejadian malam itu tanpa menyinggung perjanjian yang dibuat bersama Ratih. Justru adanya perjanjian itu yang membuatnya semakin terpuruk dalam penyesalan. Barman dan Ninit saling pandang.
“Jadi kamu menidurinya dengan brutal? Keterlaluan sekali, kamu Ton! Kamu barbar Ton, biadab sekali! Sudah belajar sampai benua lain, tapi kamu masih tidak beradab! Memalukan sekali!” Barman mendengus kesal dan kecewa mendapati putranya yang telah berbuat keji pada istrinya.
“Toni nggak sadar, Pah.”
“Tapi kau keterlaluan sekali,” sambar mamahnya sedih, dia merasa gagal sebagai seorang ibu.
“Selama ini kami memang tidak melakukan hubungan apa pun. Kami tidur terpisah,” lanjut Toni memecah kesunyian.
“Jadi, di mana Ratih tidur?” tanya Ninit kaget.
“Aku yang tidur di sofa ruang kerjaku,” jelas Toni. Barman hanya geleng-geleng kepala sambil memijit keningnya. Matanya memerah berkaca-kaca.
“Lalu semalam kamu kemana? Papah sama Mamah ingin tahu keadaan di sana. Ayahmu pasti masih syok. Dari jawaban-jawaban yang lugas saat bicara di telpon, sepertinya marah karena kita tidak segera mencari. Ton, kamu memang ndak bisa diandelin. Papah sempat percaya padamu kalau kamu sudah mencari detektif, tapi apa hasilnya?”
“Aku tidak berhasil menghubunginya.” Toni menjawab dengan enteng tanpa beban.
“Kamu tolol sekali. Kamu cuma telpon? Memang kamu sudah kenal? Bukannya dateng. Memang kita bayar jasanya, tapi kita yang butuh! Hari ini seharian kamu kemana? Kamu tidak masuk kantor; dihubungi tidak bisa; kemana hati nuranimu, Ton! Istrimu pergi, dari sebelum subuh menggelandang sampe sore. Dia ditemukan orang dalam keadaan nggak sadar. Bukannya nungguin, malah pergi!”
Toni tidak mampu menjawab. Dia hanya menunduk. Ketiganya terdiam. Mamah dan papahnya sangat syok. Mereka miris merasakan penderitaan menantunya karena ulah putranya. Mereka makin kecewa ternyata putra mereka tidak berusaha mencari Ratih. Ninit benar-benar kecewa pada putra semata wayangnya. Dia merasa sangat bersalah atas kejadian ini.
“Pantas saja Ratih tidak boleh dibesuk!” gumam Ninit lirih, dengan perasaan campur aduk.
“Papah hampir tidak bisa membesuknya! Kami hanya ketemu bundamu itu pun di luar kamar. Ayahmu benar-benar marah dan tersinggung. Dia tidak mau menemui kami. Ton, kamu telah menghancurkan persahabatan yang sudah puluhan tahun terjalin, hanya karena seorang perempuan! Papah tidak bisa mentolerir lagi. Perempuan itu harus dipecat!”
“Papah kenal?” tanya Ninit kaget.
“Dia karyawan hotel kita!”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya