Di saat Ratih asyik berdarmawisata bersama keluarga kecil Sutini, Toni sibuk memanfaatkan hari liburnya untuk mempersiapkan lamaran resmi ke rumah keluarga tunangannya. Toni benar-benar bucin. Untuk menaikkan prestise calon mertuanya di mata keluarganya, dia sudah mengeluarkan banyak uang.
Jauh sebelumnya, Toni membelikan calon mertua sebuah kios di pertokoan komplek perumahan baru. Letak kios tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Paling akhir dia merenovasi rumah tinggal calon mertuanya sekaligus mengisinya dengan perabotan baru. Toni memang menjadi calon menantu kebanggaan, yang membuat iri warga kampung.
“Beruntungnya mempunyai putri jelita dengan tubuh seksi,” begitu kasak-kusuk di antara mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mulane punya anak perempuan kudu perawatan!” Celetuk seorang ibu yang lagi kumpul di teras rumah bu RT. Yang lain menyetujui. Erlika sebagai topik pembicaraan, baik ibu-ibu maupun temaja di tempat tinggalnya.
Sementara Erlika, setelah menerima cincin pertunangan, dia semakin manja dan menggemaskan, kadang sedikit keterlaluan. Dia tak mau ditinggal, bahkan berpura-pura sakit hingga menyebabkan Toni terpaksa harus menginap. Sudah barang tentu dengan alasan mengontrol cabang di luar kota. Perbuatan Erlika tentu saja mendapat dukungan kedua orang tuanya.
Sebagai putra tunggal, pewaris perusahaan besar di kota itu, Toni merupakan calon menantu idaman para orang tua. Terutama bagi keluarga Erlika, dia diharapkan dapat mengentaskan kehidupan perekonomian mereka. Selain ganteng, ramah dan kaya, dia selalu menghormati orang yang lebih tua.
Seminggu setelah tunangan, Toni berencana akan meminta kedua orang tuanya, melamar secara resmi. Dia tidak mengetahui jika Ratih, calon istrinya, menyaksikan peetunangan itu. Seandainya dia mengetahuinya pun, Toni pasti tak akan peduli. Dia sudah bertekad menikahi Erlika, wanita yang telah mencairkan hatinya yang beku.
Toni teringat saat masih studi di Amerika. Jatuh bangun dia mencintai seorang gadis lokal. Dia sangat mengagumi kecerdasannya. Saat itu sudah diperingatkan teman-teman diasporanya untuk tidak mendekati gadis itu. Toni yang menyerahkan seluruh cintanya tidak peduli apa kata orang.
Saat pesta pantai di kawasan hotel di tepi pantai, pesta ulang tahun gadis idamannya, dia baru terbeliak kaget dengan apa yang mereka lakukan di pesta itu. Pesta sex dan narkoba. Gadis yang dia cintai bercinta tanpa malu di depan matanya. Hatinya sangat terpukul, dunia rasa berguncang. Hampir saja Toni dirudapaksa oleh sekumpulan gadis mabuk hingga bajunya robek. Beruntung dia diselamatkan bellboy, seorang diaspora dari Malaysia. Dia disembunyikan di ruang peralatan hotel. Sejak itu hatinya membeku.
Ingat peristiwa itu, Toni tersenyum miring. Dulu dia benar-benar bodoh. Erlika gadis jawa yang berhasil melelehkan kebekuan hatinya. Semua telah dipersiapkan sesuai hari yang telah disepakati. Lamaran akan dilangsungkan hari Sabtu besok, sehari sebelum pertemuan antara keluarga Sumbogo dan keluarga Danusaputra. Toni berharap perjodohan yang diatur mamahnya dibatalkan. Dia dan tunangannya merasa puas dengan rencana mereka. Keduanya merayakannya di sebuah kafe yang baru buka.
“Mas, dari tadi ngalamun aja sih. Malu tau, aku ngomong sendiri!” Erlika yang dari tadi ngomong dibiarkan saja, lalu mencubit lengan Toni.
“Kau ini apaan, sih. Sakit tau!”
“Habisnya!” Erlika cemberut.
“Oke … oke … tadi mas inget waktu kuliah dulu. Mas gak pernah pacaran. Julukanku manusia es. Eh di sini ada dewi matahari yang melelehkan hatiku!” Tangannya mencubit pipi kekasihnya dengan gemas.
Wajah Erlika memerah, matanya berbinar-binar, kepalanya membengkak senang, tangannya menepis tangan tunangannya. “Malu ah Mas, diliatin orang tuh,” sergahnya manja.
Malam itu di kediaman keluarga Sumbogo, kedua orang tua Toni, sedang duduk di ruang keluarga meneruskan obrolan selepas santap malam. Mereka menikmati dessert puding nanas, hidangan penutup favorit keluarga. Akhir-akhir ini Toni lebih sering menginap di vila keluarga. Orang tuanya tidak berkeberatan.
“Bagaimana Mah, persiapan hari Minggu?”
“Beres, Pah. Oh iya, cincin pertunangannya cantik banget setelah jadi. Perasaan lebih cantik daripada contohnya.”
“Maafkan Papah, ya, Sayang? Dulu aku tidak mampu memberimu cincin pertunangan. Bahkan cincin kawin kita …,” kata Barman dengan suara tersendat sambil menyodorkan cincin kawin berbentuk belah rotan polos di jari manis tangan kirinya, “dibeli dari hasil patungan bersama teman-teman,” lanjutnya.
Sebutir air mata meluncur dari sudut matanya. Barman segera menghapusnya. Pernikahan mereka awalnya memang tidak mendapat restu dari kedua orang tua Barman. Namun sekarang itu semua sudah berlalu.
Ninit langsung mengangkat tangan kirinya, mengelus cincin kawin sederhana, lalu mengecupnya lembut. Matanya berkaca-kaca. Dia menoleh menatap suaminya sambil tersenyum. Sampai kini senyum lembutnya masih mampu menaikkan debaran jantung Barman.
“Ini pusaka kita, Mas! Yang mempertautkan cinta kita selamanya. Memakai cincin ini, kita menjadi tangguh dalam menghadapi segala rintangan kehidupan kita.”
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya