Barman langsung memeluk bahu Ninit, lalu mengecup ujung kepala istrinya dengan sepenuh hati, sambil berbisik mesra, “I love You ever and forever.”
Ninit menaruh kepala di dada suaminya dengan nyaman. Keduanya tenggelam dalam kenangan.
Meskipun dulu, percintaan mereka mendapat penolakan dari kedua orang tua Barman. Banyak perbedaan dari keduanya, baik masalah ras, keyakinan dan status. Namun, kelembutan dan kesantunan Ninit, meluluhkan hati mertua dan ketiga adik iparnya. Barman, putra sulung laki-laki yang akan meneruskan bisnis ayahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mas, si Toni sekarang jarang pulang. Apakah dia menolak perjodohannya dengan Ratih? Aku takut itu terjadi.”
“Sampai saat ini dia belum pernah berhubungan serius dengan perempuan. Entah kalau di Amrik sana. Tapi, dia mengaku belum menentukan pilihan.”
“Tapi, aku cemas!”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh musik yang menghoror dari televisi, lalu ‘duaaar’ bunyi senapan memecah keheningan hutan. Seekor harimau jawa terkapar. Musik berhenti, keadaan sunyi. Musik sedih ngelangut diputar.
Tiga orang pemburu, salah satunya membawa senapan berlari sekencangnya. Pemburu kedua membuang bambu ukuran sedang yang mengganggu larinya. Pemburu ketiga membawa segulung tambang besar di bahunya. Mereka berlarian dikejar oleh beberapa petugas hutan.
Musik sendu masih terdengar. Seorang wanita dan seorang laki-laki membawa kamera besar berlarian menuju harimau. Kemudian seorang lagi menyusul membawa kotak kesehatan. Keduanya memeriksa keadaan harimau yang masih bernapas. Kameramen sibuk mengabadikan.
“Masih saja ada yang membunuh binatang yang sudah langka!” kata Barman geram.
“Yaaah, begitulah manusia, Pah. Mudah-mudahan dugaanku tentang Toni salah, ya. Bantu doa dong, Pah!”
“Pastilah, aku kan ayahnya! Persiapkan saja semua dengan baik. Pokoknya yang terbaiklah untuk anak-anak kita. Ratih juga anak kita, kan? Ingat ndak, Mah? Dulu, waktu anak-anak masih kecil, mas Rangga sampai cemburu karena Ratih lebih memilih digendong Papah? Hihihi ….”
Keduanya tertawa geli. Ratih senang sekali menginap di rumah Papah dan Mamah, mereka sangat memanjakannya. Kebalikan dengan Toni, dia lebih suka bermain dengan Bagas dan Yayo. Ketiganya akan bermain permainan anak laki-laki. Setiap sabtu malam Ratih kecil menginap di rumah Papah, dan Toni akan menginap di rumah Ayah.
Televisi layar lebar, sedang menayangkan acara National Geography. Tayangan berganti dengan acara jelajah alam indonesia.
“Lihat Mah, alam negeri kita memang cantik. Aku berencana eksplor Baturraden dan sekitarnya. Aku ingin membuka wisata yang tidak merusak alam. Hanya sedikit menatanya saja. Wisata olahraga!”
“Maksudmu apa, Pah. Sekarang yang ada hanya membuat tempat tujuan wisata mangkrak dan merusak lingkungan. Di awal-awal saja pengunjung ramai dan kotor. Masyarakat kita masih jorok. Nggak sampai setahun menjadi sepi lalu tidak keurus. Nggak ada pemasukan!” gerutu Ninit.
“Iya, memang. Masalahnya, tanah yang ada milik penduduk. Dengan iming-iming uang, mereka menjual murah kepada investor. Kemudian dibangun hotel atau restoran dengan semaunya tanpa penataan yang baik dan profesional. Tebing-tebing rusak, sebagian mulai longsor. Sungai-sungai menjadi dangkal,” keluh Barman sambil mengembuskan napas dalam keluhan.
“Lalu Papah mau menata mereka?”
“Bukan itu maksudnya ….”
Tiba-tiba pintu masuk dari garasi terbuka. Toni pulang. Sudah tiga hari dia tidak pulang. Tanpa mengucap salam, dia mengempaskan pantat duduk di sofa tunggal dekat mamahnya.
“Pah, Mah, besok hari Sabtu Toni mohon Papah dan Mamah ke rumah Erlika ….”
“Siapa Erlika?” sambar Ninit dengan kening berkerut dalam.
“Tunanganku, Mah.”
“Kau bertunangan di belakang kami?” sahut Ninit dan Barman berbarengan dengan mata melebar.
“Mentang-mentang kau sudah dewasa dan menjadi CEO perusahaan keluarga? Lalu kau menyelingkuhi orang tuamu yang mewariskan perusahaan? Perusahaan yang susah payah dibangun kakekmu dan kubesarkan hingga sebesar sekarang?” tanya papahnya ngegas.
Diam-diam Ninit yang kaget, memukul-mukul dadanya yang berpacu liar seperti mau meloncat keluar. Wajahnya memerah, matanya mengembun, bibir pun bergetar. Tak sepatah kata mampu diucapkan.
“Bukan itu maksudku. Toni hanya takut kehilangan dia, makanya kuikat dengan tali pertunangan. Toni tetap memohon restu Papah dan Mamah.”
Setelah mengembuskan napas mengentak, “Mamah tau, kau buru-buru tunangan sebagai cara penolakanmu pada perjodohan yang Mamah atur. Bener, kan?” tuduh Ninit dengan terengah-engah. Dadanya sakit sekali.
“Mah, Toni mencintainya! Memang Toni akui Mah, hanya ini cara untuk membatalkan perjodohan itu!” katanya lugas.
Dengan mata terbelalak, bibirnya bergetar sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu. Dadanya naik turun, napas pun terengah-engah. Butiran besar keringat dingin membasahi kening dan punggungnya. Wajah Ninit memucat. Dia berdesis lemah, hanya mampu mengucap lirih, “kau …,” lalu terguling tidak sadarkan diri.
“Maaah!” jerit kedua pria yang sangat mencintainya. Barman yang duduk di sampingnya segera memeluk tubuh istrinya. Toni berteriak-teriak histeris memanggil semua pekerja yang ada di rumah. Para pekerja segera berlarian masuk ke dalam rumah utama.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya