Novel : Room for Two Bab 1: Terjebak dalam Siasat
Bab 1
Room for Two – Terjebak dalam Siasat
Jika bisa disuarakan, mungkin detak jantungku malam itu jauh lebih memekakkan telinga daripada letusan kembang api yang diledakkan di pesta pernikahanku bersama Reivan. Saking kerasnya, aku curiga Reivan pun akan bisa mendengarnya. Suamiku itu pasti menyadari, betapa gugup perasaanku karena harus berduaan dengannya, di kamar hotel, selepas para tamu berpamitan.
“Jadi, kamu mau tidur di situ?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Reivan-lah yang pertama kali memecah kesunyian. Dia bertanya sembari menunjuk sofa yang sedang kududuki.
Aku berusaha menelan ludah. Setelahnya, buru-buru kupenuhi rongga dada dengan keberanian yang tidak mungkin muncul dua kali jika aku terus menunda-nunda. Bagaimanapun, aku harus mendapatkan kepastian dari Reivan. Sekali lagi. Saat itu, atau tidak selamanya.
“Aku cuma mau ngingetin kalau kita sudah sepakat menikah selama satu tahun doang, enggak lebih.”
Pernyataan penuh keyakinan itu kusampaikan dalam satu tarikan napas panjang. Tanpa jeda.
“Iya, kan?”
Sayangnya, aku terpaksa mengajukan pertanyaan setelah lebih dari lima menit menunggu tanpa kepastian.
Alih-alih menimpali kata-kataku, Reivan malah melepas jas hitam dan kemeja putihnya lalu melemparnya sembarangan ke kasur—ke tempat yang seharusnya menjadi tempat tidurku. Namun, dia malah menguasainya sendirian. Dia bertelungkup di kasur putih bersih bertabur kelopak mawar merah itu seorang diri, mengabaikanku. Dasar! Masa aku yang harus tidur di sofa?
Sambil menahan api amarah yang mulai bergejolak, aku berjalan mendekati Reivan. Kusalurkan bibit amarah itu dengan menarik kaus singlet yang dia kenakan, sekuat tenaga.
“Kita sudah sepakat cuma menikah satu tahun!”
Reivan menengadah lalu menepis tanganku. Tidak sopan!
“Iya, Ishana. Kamu sudah ngomongin itu berkali-kali sejak sehari sebelum pesta pernikahan kita dilangsungkan. Saya sudah bilang oke, kan? Apa lagi sekarang?”
“Kita sepakat enggak saling sentuh.”
“Barusan kamu yang nyentuh saya—”
“Ya itu karena kamu enggak mau jawab pertanyaanku!”
“Kenapa saya harus jawab lagi? Kemarin waktu kamu datang ke kantor saya dan memohon-mohon supaya saya setuju rencana konyol ini, kamu kelihatannya yakin sekali. Kenapa sekarang berubah?”
Ah, aku juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba kepercayaan diriku hilang begitu resmi menjadi istri Reivan. Padahal, kemarin aku tidak punya keraguan sama sekali. Aku bahkan bisa meyakinkan Reivan untuk menyepakati siasatku, semua demi mengakali perjodohan dan pernikahan kami yang tidak kuinginkan.
“Saya sudah setuju kita cuma nikah satu tahun. Saya juga setuju kita enggak berhubungan badan selama itu. Kita juga bisa tetap menjalani kehidupan masing-masing meski sudah jadi suami istri. Setelah satu tahun, kita cerai. Apa lagi yang kamu inginkan?”
Reivan mendengkus sambil memperbaiki tali kaus singletnya yang mengendur akibat tarikanku. Saat itu, pandangan mataku menyapu inisial RV yang terajah di punggung Reivan, tepat di bawah lehernya, di batas garis rambutnya yang terpangkas rapi.
Kuembuskan napas kesal. Reivan rupanya tidak mengerti bahwa aku hanya perlu diyakinkan. Sekali lagi, sekali lagi saja. Aku tahu kemarin dia sudah setuju, tapi aku perlu mendengar persetujuannya sekali lagi.
Kubuka mulut. Namun, kata-kata yang terucap dari bibirku malah, “Aku mau tidur di kasur. Kamu yang tidur di sofa.”
Reivan menggeleng cepat. Dia mengubah posisi, menarik selimut, lalu mengibaskannya hingga kelopak mawar yang menghiasi kasurku beterbangan kemudian berjatuhan ke lantai.
“Enggak. Malam ini saya capek dan kepingin tidur nyenyak. Silakan, masih ada space untuk satu orang di sebelah saya. Itu pun kalau kamu mau. Kalau enggak, kamu bisa cari tempat lain. Atau buka kamar baru aja sekalian. Semoga enggak ada tamu yang masih berkeliaran, karena pasti memalukan sekali kalau mereka tahu, Ishana si pengantin wanita malah kabur di malam pertamanya setelah jadi istri saya.”
Argh! Reivan sialan! Memangnya dia pikir aku enggak capek, apa? Aku jauh lebih capek dibandingkan dirinya! Aku harus bangun lebih pagi untuk dindandani, aku harus senyum sepanjang hari supaya Papa dan Mama happy, aku juga harus menahan diri seolah-olah bahagia dengan pernikahan yang tidak pernah kusetujui. Aku capek lahir batin! Tapi, aku juga tidak mau tidur di sofa yang berpenyangga lengan. Seluruh tubuhku pasti sakit karena tidak bisa meluruskan badan.
“Oke, aku tidur di sebelah kamu malam ini, tapi jangan coba-coba sentuh aku, aku masih suci—”
“Dengar, saya enggak mungkin tergoda sama perempuan kayak kamu.”
Perempuan kayak aku katanya?!
“Perempuan kayak apa maksud kamu?”
Reivan berdecak. Dia berbalik memunggungiku lalu menarik selimut hingga menutupi setengah kepalanya.
“Perempuan kayak kamu, yang terang-terangan pacaran sama lelaki lain padahal baru beberapa jam yang lalu bersumpah setia sehidup semati ke suaminya. Sori, saya masih punya harga diri. Kalau bukan demi menyelamatkan nama baik keluarga saya, mungkin pernikahan ini enggak akan pernah terjadi.”
Kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut Reivan itu membungkamku seketika. Sejujurnya aku ingin membantah, tetapi tidak ada kata-kata lain yang bisa kusampaikan untuk mengimbangi kenyataan pahit yang ia beberkan. Namun, aku segera sadar diri. Semua memang sengaja kulakukan demi kebahagiaanku di masa depan. Jadi, seharusnya tidak ada yang perlu kusesali … iya, kan? Biarlah kuterima saja ucapannya dengan lapang dada.
Setelah menenangkan diri, aku segera pergi ke kamar mandi. Kulepas gaun pernikahan lalu kuganti dengan piyama yang telah kusiapkan sebelumnya. Saat kembali ke kasur, ternyata Reivan sudah tidur, pulas pula! Dia bahkan tidak terganggu oleh gerak-gerikku yang membangun benteng bantal di area kosong di antara kami.
Lalu, seperti biasa, sebelum memejamkan mata kusempatkan melihat-lihat Instagram terlebih dahulu. Hari itu, ratusan notifikasi memenuhi kolom pesan di akunku. Namun, sengaja kulewatkan story dari beberapa kawan yang menandaiku sambil menuliskan ucapan selamat menempuh hidup baru!—membalas ucapan-ucapan itu dengan terima kasih bisa kulakukan belakangan. Dan kulewatkan beberapa menit berikutnya dengan terus menggulir layar. Aku baru berhenti setelah menemukan akun yang kucari.
Sama seperti yang lain, pemilik akun itu mengunggah story swafotonya di pernikahanku dan Reivan. Tidak ada yang istimewa dari ucapannya, tetapi sosoknya yang tulus memberikan perhatianlah yang membuatku bahagia.
Segera kukomentari story orang itu sambil senyum-senyum sendiri.
“Makasih tadi udah nyempetin datang. Aku janji, cuma setahun. Setelah itu kita bisa bangun rumah tangga berdua. I love you, Bee.”
Bunga-bunga di hatiku langsung bermekaran manakala kudapat jawaban, “Love you back, Hun!”[]
Ikuti novel terkini dari Redaksiku di Google News atau WhatsApp Channel