Room for Two Bab 2: Menuju Kebebasan dan Melampauinya
Apa yang seharusnya dilakukan sepasang pengantin baru di tiga hari pertama kehidupan rumah tangga mereka? Bulan madu? Oh, come on! Itu terlalu “normal”. Berhubung aku dan Reivan adalah pasangan suami istri yang “tidak normal”, kami langsung sepakat melewatkan momen penuh romantisme palsu itu, tepat di pagi hari kedua setelah aku resmi menjadi istrinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selepas merapikan barang bawaan kami yang tidak banyak, Reivan langsung membawaku pergi dari hotel ke rumahnya. Ya, rumahnya. Reivan memang sudah lama mapan jauh sebelum dia memperistriku.
Yang kudengar dari Mama, Reivan berhasil membangun kondisi keuangan yang stabil dari nol. Mungkin itulah juga yang menjadi salah satu pertimbangan Papa dan Mama untuk cepat-cepat menikahkanku dengannya.
Pertimbangan lainnya, mungkin karena Reivan adalah anak angkat Om Djoko dan Tante Nawang, sahabat Papa dan Mama. Dan meski dia bukan tentara seperti papaku atau papanya, tetapi Reivan memiliki kualitas seorang pejuang—benar-benar kriteria kategori menantu idaman Papa. Makanya Papa tidak suka ketika aku memperkenalkan Alston. Padahal, Alston juga mapan, dia juga tampan, tapi Papa bilang itu tidak cukup karena kemapanan Alston didapat dari warisan sedangkan ketampanannya hanyalah “buatan tangan”, bukan ciptaan Tuhan. Ck!
Karena proses perjodohan kami yang begitu kilat, aku jadi belum pernah mengunjungi rumah Reivan. Tapi, aku tahu rumahnya terletak di kawasan jantung Kota Bandung. Aku juga tahu, meski tidak berada di kompleks perumahan elite, tetapi bangunan rumah di sekitar sana besar-besar dan mewah-mewah. Dan betul saja, rumah Reivan termasuk salah satunya.
Kedatangan kami di rumah itu langsung disambut oleh seorang ART berusia sekitar 60 tahun, bertubuh tinggi kurus, dan berwajah tirus. Bu Lia namanya. Aku ingat, sore itu dia membukakan pintu gerbang dengan tergopoh-gopoh ketika Reivan membunyikan klakson dua kali. Ia juga kelihatan kerepotan ketika harus mendorong pintu garasi dari besi untuk memberi jalan agar Reivan bisa parkir di dalam.
“Lho, Mas, kok, udah pulang?” tanya Bu Lia begitu Reivan menyuruhnya mengangkat barang bawaan dari bagasi. “Kata Ibu, Mas Reivan bulan madunya seminggu.”
“Bulan madunya batal,” timpal Reivan cuek. Lalu dia melirikku dan mengajakku masuk.
Aku mengangguk sekilas kepada Bu Lia lalu buru-buru membuntuti Reivan. Kami berjalan melewati pintu ganda melewati ruang tamu, ruang keluarga luas yang berpembatas pintu kaca dengan pemandangan taman dan kolam ikan hias, lalu naik ke lantai dua. Berikutnya kami melewati ruang terbuka lain dengan sofa besar yang terlihat nyaman, dan akhirnya berhenti di depan sebuah kamar.
“Aku tidur di sini,” kata Reivan sambil menunjuk pintu kamarnya yang tertutup. Dia buru-buru mengalihkan pandangan ketika mata kami bertemu satu sama lain. “Kamu pakai kamar yang itu.”
Aku segera membuka pintu kamar yang dimaksud Reivan dan masuk untuk melihat-lihat. Sudah ada ranjang, lemari, dan teve di dalamnya. Berjalan lebih jauh, kutemukan sebuah pintu geser di sudut, tersembunyi di balik sisi lemari pakaian. Pintunya tidak terkunci, sudah pasti itu kamar mandi. Namun, ternyata itu adalah connecting door yang menghubungkan kamarku dan kamar Reivan. Lalu, di mana kamar mandinya?
Seakan-akan bisa membaca isi kepalaku, Reivan langsung berkata, “Kalau mau ke wese, kamu bisa pakai wese tamu yang di luar. Terus jangan khawatir, pintu itu nanti kukunci dari dalam, sengaja kubuat cuma bisa dikunci lewat kamarku.”
Aku mengangguk puas. “Oke. Kamar ini cukup buatku. Aku bisa tidur di sini.”
Tiba-tiba, kudengar debap di belakangku. Bu Lia menjatuhkan tas jinjing berisi baju-bajuku yang kubawa seperlunya dari rumah. Ia lalu memandangku dan Reivan bergantian, seolah-olah ada tanya yang tidak bisa ia suarakan dengan kata-kata.
O-ow! Bagaimana jika rencanaku dan Reivan langsung terbongkar gara-gara Bu Lia?
“Bu,”—untunglah Reivan sigap mengatasi keadaan gawat darurat itu—”ini cuma sementara.”
Reivan bergegas menggiring Bu Lia ke sofa lalu mengajaknya duduk di sana. “Saya sama Ishana akan tidur terpisah selama beberapa hari, tapi semuanya baik-baik aja. Tolong jangan cerita apa pun sama siapa pun, sama Ibu, sama mbak-mbak tetangga, sama tukang kebun, tukang sampah, tukang sayur, Pak RT … siapa pun. Jangan bilang kalau saya enggak jadi bulan madu. Jangan cerita juga kalau kami enggak tidur sekamar. Bisa, ya?”
“Ini, teh, ada apa sebetulnya, Mas? Bu Lia jadi bingung.”
Reivan tersenyum. Itu senyum pertamanya yang berhasil kulihat selama tiga hari terakhir. Sepanjang bersamaku, Reivan belum pernah tersenyum seperti itu. Dia lebih sering merengut, keningnya pun selalu berkerut-kerut, seakan-akan kehadiranku di hidupnya adalah beban berat yang harus cepat-cepat disingkirkan.
“Bu Lia enggak usah bingung. Pokoknya, Bu Lia ikuti apa kata saya. Titik. Nah, sekarang Ibu sama Teh Dewi tolong Ibu bantu Ishana beres-beres di kamarnya. Saya mau istirahat.”
“Dewi tadi Bu Lia suruh pulang cepet, Mas, soalnya dia udah beres nyapu, ngepel, sama bebersih. Bu Lia enggak tahu kalau Mas Reivan mau pulang sekarang. Apa Dewinya dipanggil lagi aja, Mas?”
“Enggak usah.” Reivan ganti mengajakku bicara. “Malam ini kamu dibantu sama Bu Lia aja cukup, ya? ART saya yang satu lagi enggak nginep, dia baru datang besok pagi.”
Lalu … tinggallah kami berdua. Aku mengangguk canggung kepada Bu Lia yang langsung ia balas dengan anggukkan penuh keraguan.
“Ini … bajunya mau Bu Lia simpan di mana, Bu?”
“Panggil Ishana aja, Bu. Hana juga boleh.”
“Enggak sopan, atuh, kalau Bu Lia panggil istri Mas Reivan pakai namanya langsung.”
“Kalau gitu terserah Bu Lia aja mau panggil apa, tapi jangan ‘ibu’, aku jadi ngerasa tua kalau dipanggil kayak gitu.”
Bu Lia tertawa kecil mendengar ucapanku. Batas ketegangan yang tak kasatmata di antara kami tiba-tiba mengendur dengan sendirinya.
“Maaf Neng,”—Bu Lia akhirnya memutuskan menyapaku ‘Neng Ishana’—“maaf Bu Lia cuma penasaran. Neng Ishana ada masalah sama Mas Reivan? Asa aneh Ibu, mah, lihat pengantin baru tidurnya sendiri-sendiri kayak gini ….”
Aku menggeleng sambil membantu Bu Lia merapikan baju-bajuku dan memasukkannya ke lemari. Saat melakukan itu, roda-roda di dalam kepalaku bekerja keras memikirkan jawaban yang paling pas.
Halaman : 1 2 Selanjutnya