“Enggak ada apa-apa, kok, Bu. Aku sama Reivan itu, kan, terlalu cepat dijodohkan. Aku enggak kenal Reivan sebelumnya, enggak pernah ngobrol atau jalan bareng juga. Kami itu baru ketemu seminggu yang lalu, udah gitu tahu-tahu langsung disuruh nikah dan tinggal serumah.”
“Oh … iya. Bu Lia tahu ceritanya dari Ibu.”
Aku mengangguk memahami bahwa ibu yang dimaksud Bu Lia adalah Bu Nawang, mamanya Reivan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Pasti kaget, ya, kalau nikahnya dijodohin gitu,” celetuk Bu Lia kemudian.
“Yaa … gitu, deh, Bu. Lebih ke enggak siap sebetulnya.”
“Tapi, Neng, dulu juga Bu Lia dijodohin. Bu Lia, mah, seumur-umur belum pernah pacaran, tahu-tahu langsung dinikahin aja. Pertamanya memang kagok, Neng, tapi lama-kelamaan sayang juga.”
Bu Lia mengakhiri ceritanya dengan tawa kecil. Aku ikut mengangguk dan tertawa untuk menghormatinya, meski sebetulnya tidak mengerti bagian mana yang seharusnya membuatku tertawa.
“Angkat aja teleponnya, Neng. Enggak apa-apa, biar Bu Lia aja yang beresin bajunya, enggak banyak ini, kok,” kata Bu Lia tiba-tiba. Mungkin ia melihatku yang ragu-ragu hendak menerima panggilan masuk di ponsel.
“Oke. Sebentar, ya, Bu.”
Aku segera melangkah ke luar kamar. Saat itu, seluruh tubuhku dipenuhi kegembiraan yang tak tertahankan. Langsung saja kuterima panggilan masuk itu dengan sukacita.
“Hi, Hun! Ngapain aja kamu sama suamimu? Udah beres bulan madu? Aku ganggu, enggak?”
“Enggak Bee … aku lagi di rumah Reivan sekarang.”
“Oh … . Ada siapa aja di sana?”
“Cuma ada aku, Reivan, sama pembantunya sebiji. Eh, Bee, tau enggak. Aku baru kepikiran. Ternyata pernikahanku ini ada manfaatnya juga, lho. Aku bebas Bee! Di rumah ini sekarang enggak ada Mama sama Papa yang ngawasin dan nyariin aku kalau aku pulang malem. Kita bisa hang out ‘till drop!”
Kudengar sorak kegembiraan di balik sambungan telepon. Aku tertawa, ikut bahagia.
Tentu saja aku berhak merasa begitu. Sudah terlalu lama kisah cintaku dibatasi aturan kolot Mama dan Papa. Entah berapa banyak cara yang telah kulakukan untuk mengatasinya, tapi ternyata menikah dengan Reivan-lah yang jadi jalan keluarnya. Kalau saja aku tahu semudah itu solusinya, pastilah sudah sejak dulu aku mau diperistri Reivan.
“Jadi kapan kita bisa ketemu, Hun? Aku kangen.”
“Aku juga kangen kamu, Bee. Aku kangen pengin dipeluk kamu ….”
“Terus?”
“Dicium kamu ….” Aku geli sendiri mendengar kejujuranku yang telanjang bulat.
“Ha-ha-ha! Hun, gimana kalau malam ini—”
“Ishana.”
Aku berbalik. Seketika sekujur tubuhku terasa dingin. Ya Tuhan! Sejak kapan Reivan berdiri di belakangku? Apakah dia mendengar percakapanku dengan Alston? Seberapa banyak obrolan kami yang ditangkap telinganya?
“Ya?”
Detak jantungku bertalu-talu. Jemariku gemetaran. Jujur saja, aku benar-benar takut Reivan akan mengadukanku ke Mama dan Papa. Ah, tidak-tidak-tidak! Baru saja aku mendapatkan kebebasan, aku tidak mau kembali dikekang aturan jam malam dan lain-lainnya oleh orang tuaku. Tidak, please ….
“Ini kunci kamar kamu.”
Reivan berjalan mendekat dan menyerahkan dua anak kunci kepadaku. Aku buru-buru menengadahkan tangan, sementara dia sangat berhati-hati agar kami tidak bersentuhan. Lalu, ketika tatapan mata kami kembali berpapasan, ia buru-buru kembali mengalihkan pandang.
“Makasih ….”
Reivan berbalik memunggungiku sambil menggumamkan sesuatu yang kurang jelas seperti ya atau iya atau semacamnya. Dia berjalan perlahan ke kamarnya. Lalu, tepat sebelum pintu kamarnya menutup, dia berkata, “Jangan pacaran di rumahku.” []
Terima kasih sudah membaca!
Tautan untuk membaca Bab 1: https://www.redaksiku.com/room-for-two-bab-1-terjebak-dalam-siasat/
Halaman : 1 2