Room for Two Bab 4: Bintang Film Dadakan
Aku tidak tahu mana yang lebih gawat, apakah Reivan yang tiba-tiba menjemputku ke kantor tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, ataukah Mbak Monic yang menuduhku—meski tuduhan itu benar—masih berpacaran dengan Alston. Semua temanku yang tahu bahwa aku memiliki kisah cinta tanpa restu dengan Alston menganggap hubungan kami itu telah selesai begitu aku menjadi istri Reivan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Anter aku pulang, Bee.”
Alston mengangkat sebelah alisnya. “Sekarang?” tanyanya, seolah-olah permintaanku itu belum cukup jelas. ‘’Kita belum makan malam, lho. Tau gitu kita makan dulu tadi di Ciwalk.”
“Iya sori, aku enggak tau kejadiannya bakal kayak gini.”
Alston memukul roda kemudi dengan telapak tangannya. “Lagian ngapain, sih, dia pakai jemput segala? Kamu minta dijemput, ya, Bee? Kan aku udah bilang mau jemput.”
Butuh kurang lebih sepuluh menit untuk meyakinkan Alston bahwa aku tidak meminta Reivan menjemput, dan aku sebetulnya lebih memilih menghabiskan waktuku bersamanya, dan sama sepertinya, aku juga tidak suka dengan kondisi itu. Ketika akhirnya Alston bisa menerima penjelasanku, jam sudah menujukkan pukul setengah tujuh malam.
“Katanya kalau udah nikah bisa bebas, taunya sama aja,” gumam Alston kemudian.
Kupilih mengabaikan itu. Namun, sebagai permohonan maaf, aku mengirimkan sejumlah uang lewat aplikasi dompet digital ke nomor Alston.
“Bee, karena kita enggak jadi makan bareng, nih aku kasih kamu jajan buat nge-GoFood, ya. Pesen yang enak-enak, oke?”
Meski kekasihku itu masih cemberut, tapi aku bisa merasakan ia sudah tidak marah lagi. Dua tahun berpacaran dengan Alston membuatku tahu, makanan selalu bisa jadi jurus jitu untuk meredakan amarahnya.
Sialnya, Senin malam di Bandung selalu tidak jauh berbeda dengan pagi harinya. Padahal lokasi rumah Reivan mudah di akses dari mana saja, tetapi jalan menuju ke sana selalu dipadati oleh mobil dan puluhan motor yang berlomba-lomba berada di garis depan, meski pasti mereka tidak sedang balapan. Namun, malam itu aku benar-benar ingin cepat sampai agar bisa bertemu Reivan, dan kemacetan itu benar-benar membuatku ingin melampiaskan kekesalan.
“Yang nomor empat belas, Bee, kanan.”
Alston menepikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Reivan yang menjulang. Ia menunduk sebentar untuk melihat-lihat rumah itu dari balik kaca depan mobilnya sebelum kemudian menjulurkan bibir, mencibir sesuatu yang tidak kupahami.
“Aku masuk dulu, ya, Bee.”
“Tunggu!” Alston menggenggam pergelangan tangan kananku. “Lupa sesuatu?”
Aku menyengir lalu mendekatkan bibir untuk mengecup pipi Alston. Namun, sebelum bibirku sempat menyentuh pipinya, Alston menelusupkan kedua lengannya ke antara kedua lenganku. Ia menarikku kemudian membungkamku dengan mulutnya.
Jujur, aku sangat terkejut. Alston tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Namun, kutelan mentah-mentah keterkejutanku itu karena, hei, aku menyukainya! Aku suka aroma segar yang menguar dari tubuh Alston. Aku suka kehangatan napasnya. Aku suka semua yang ada pada dirinya.
Jadi kupejamkan mata dan kuizinkan Alston menciumku lebih lama. Kubiarkan kedua tangannya merangkum wajahku dan jemari-jemarinya menyibak rambutku. Tak kupedulikan cahaya terang atau bunyi klaskon yang mengiringi di latar belakang, kuanggap itu sebagai penyemarak suasana romantis di antara kami berdua. Lalu kuabaikan juga ketukan di jendela mobil—oh, tidak!
Tubuhku dan Alston langsung berjarak setelah aku mendorong keras dadanya. Sepintas kulihat Alston seperti kehilangan orientasi, tetapi ia bisa cepat menguasai diri. Suara ketukan yang berikutnyalah yang membuatnya waspada.
Alston buru-buru membuka jendela sementara aku keluar dan berlari memutar.
“Reivan!”
Saat mengatakan itu, detak jantungku benar-benar liar. Seluruh tubuhku gemetar. Bahkan aku bisa mendengar suaraku bergetar ketika bertanya, “Kamu baru pulang?”—pertanyaan bodoh, tentu saja.
Reivan memandangku dan Alston bergantian. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Aku berharap Alston segera pergi saja supaya tidak sampai terjadi keributan.
“Err … ini Aslton.” Aku mencoba memecah keheningan yang mencekik di antara kami bertiga. “Dia mau pulang. Iya, kan, Bee?”
Bukannya menjawab, Alston malah keluar dari mobil. Ia berdiri menghadap Reivan. Saat itulah dapat dengan jelas kubandingkan keduanya. Badan Alston lebih tinggi dibandingkan Reivan, tubuhnya juga lebih kekar dan besar. Meski demikian, gaya berpakaian Alston sangat menggambarkan kepribadiannya yang santai dan enggan terikat aturan, jauh berbeda dengan Reivan yang kaku seperti penggaris kayu.
“Bee?”
“Reivan, ya? Kenalin, aku pacarnya Ishana.” Alston mengulurkan tangannya tepat ke hadapan Reivan. Gayung tak bersambut.
“Saya suaminya,” timpal Reivan pendek. “Mobil kamu ngehalangin. Saya mau masuk.”
Alston tertawa kecil. “Sori-sori. Tadi lagi enak … ya, gitu, deh.”
Pintu gerbang menggeser. Ada yang membukanya dari dalam. Bukan Bu Lia, tetapi seorang perempuan muda kurus berambut pendek. Kuduga itu Dewi, ART Reivan yang biasa pulang pergi. Di belakangnya, Bu Lia membuntuti.
Halaman : 1 2 Selanjutnya