“Tuh, Wi, kan, bener kata saya. Itu suara mobil Bapak.” Bu Lia kemudian membantu Dewi mendorong pintu gerbang. Jalan masuk makin terbuka lebar.
“Eh, ada tamu,” kata Bu Lia lagi. Pandangannya tertuju ke Alston.
“Ini … sepupu Ishana.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lagi-lagi Reivan menyelamatkanku dari kondisi darurat. Sekali lagi ia berbohong untuk menutupi kebohonganku. Aku jadi bingung sendiri apakah harus mengasihani Reivan atau justru mensyukuri kebaikan hatinya.
“Masuk dulu, Mas?”
“Oh, enggak.” Aku buru-buru menarik tangan Alston dan menyuruhnya cepat-cepat masuk ke mobil. “Dia udah mau pulang, kok. Sampai ketemu lagi.”
Aku tertawa gugup sembari melambaikan tangan kepada Alston. Untunglah ia menangkap pesan yang kusiratkan, kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Reivan sudah melarangku pacaran di rumahnya, masa belum 24 jam aku sudah melanggarnya.
Alston membunyikan klakson satu kali sebagai tanda perpisahan. Ia dan mobilnya lalu menghilang dari pandangan tidak lama kemudian. Setelahnya, aku melirik Reivan.
Suamiku itu buru-buru kembali ke balik kemudi mobilnya lalu melewatiku begitu saja. Pun ketika mobil itu sudah terparkir sempurna dalam garasi berkapasitas dua mobil yang diparkir seri, Reivan langsung masuk ke rumahnya begitu saja. Ia melangkahi pintu garasi, mengabaikanku.
Aku bergegas menyusulnya. Padahal kami hanya berjarak beberapa langkah, tetapi ketika aku di dalam, Reivan sudah setengah perjalanan menuju ke lantai dua. Dia pasti marah. Aku yakin itu.
“Bu mau makan malam apa?”
Dewi bertanya sembari membungkukkan badan di depanku. Supaya cepat, aku memintanya menyediakan menu apa pun yang sama dengan yang diminta Reivan, lalu mengernyit ketika tahu Reivan mengonsumsi jus pisang susu sebagai minuman pengganti makan malam.
“Yang buat Bapak mau dibawa sama Ibu atau sama saya?”
Tentu saja aku. Aku, kan, istrinya.
“Kalau gitu saya pamit pulang, ya, Bu. Tadi saya disuruh Bu Lia jangan pulang dulu supaya bisa kenalan sama Ibu. Saya udah dari pagi banget di sini.”
Terserah. Ada Reivan yang sedang marah yang lebih gawat. Aku harus segera menemuinya agar pernikahanku selamat. Sial-sial-sial!
Sambil membawa dua gelas jus pisang susu, aku naik ke lantai dua. Kutarik dan kuembuskan napas perlahan-lahan, tidak punya bayangan sama sekali apa yang akan kuhadapi di depan nanti. Lalu, seraya mengatur napas dan meredakan detak jantungku sendiri, kuketuk pintu kamar Reivan.
Satu ketukan. Dua ketukan. Tiga ketukan. Reivan tidak menggubris.
“Reivan, aku bawa jus pisang buat kamu.”
Oh, mungkin dia perlu waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Mungkin aku harus kembali menemuinya besok saat sarapan. Mungkin ….
Pintu kamar Reivan membuka. Suamiku itu berdiri menjulang di hadapanku. Keningnya yang berkerut membentuk sebuah huruf v kecil di tengah dahinya. Rambutnya yang berbelah tepi acak-acakan. Matanya memerah, seperti menahan amarah.
“Masuk,” katanya.
“Aku—”
“Cepat.”
Tidak kusangka, kali pertama aku memasuki kamar Reivan harus dalam situasi yang menegangkan. Kukira, mungkin, seharusnya aku bisa mengunjungi kamarnya karena kemauanku sendiri, bukan karena paksaan.
Aku melangkah memasuki kamar Reivan. Kamarnya dua kali lebih besar daripada kamar yang kutempati. Di dalamnya tidak hanya ada ranjang, lemari, dan teve, tetapi juga ada kulkas, dispenser, coffee maker, dan lemari kaca kecil berisi stok camilan. Semua itu berada di sisi kiri ranjang. Sementara itu, di sisi kanannya ada pintu ganda besar. Bisa kupastikan pintu itu menghubungkan balkon lantai dua yang menghadap ke halaman. Di pojok sebelah kanan terdapat satu pintu yang tertutup. Melihat motif kesetnya, aku yakin pintu itu mengarah ke toilet pribadi. Berada di kamar Reivan rasanya seperti masuk ke rumah di dalam rumah.
“Lihat itu.”
Mengikuti arah telunjuk Reivan, aku berbalik badan. Di depanku saat itu ada monitor kecil yang menampilkan rekaman CCTV di depan gerbang. Reivan memutar CCTV itu, dan segala hal yang terjadi di dalam mobil Alston beberapa saat sebelumnya terpampang nyata di hadapanku. Aku menyaksikan bagiamana Alston menarik tubuhku dan mencium bibirku. Semua bagaikan film yang kubintangi sendiri.
“Reivan, aku bisa jelasin.”
“Haruskah saya ambil rekaman ini dan saya serahkan ke orang tuamu? Kita bisa pisah lebih cepat kalau itu yang kamu mau,” kata Reivan sambil menahan geram. []
Baca juga:
Room for Two Bab 3: Liputan Akal-akalan https://www.redaksiku.com/room-for-two-bab-3-liputan-akal-akalan/
Halaman : 1 2