Room for Two Bab 5: Perkara Rumah Saya
“Aku bisa jelasin.”
“Tapi saya enggak butuh penjelasan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suara Reivan yang dalam memantul dalam dinding kepalaku. Tidak butuh penjelasan, katanya. Lalu apa yang harus kulakukan? Bagaimana caraku menahannya agar tidak menghancurkan pernikahan kami yang baru beberapa hari?
“Maaf.”
Setelah beberapa waktu membisu di bawah tatapan tajam Reivan, akhirnya hanya itu yang bisa kusampaikan. Baiklah, jika dia harus marah, marahlah sudah. Akan kuterima apa pun kata-katanya.
“Saya baru benar-benar kenal kamu seminggu. Mereka bilang, kamu anak yang pintar. Kamu juga bilang, pekerjaanmu adalah jurnalis. Yang saya tahu, enggak ada jurnalis yang enggak pintar. Tapi malam ini saya merasa kamu, mama papamu, semuanya bohong.”
“Jangan salahkan mama papaku dalam hal ini.”
“Lalu saya harus menyalahkan siapa? Pacarmu? Yang nikah sama saya itu kamu!”
“Ya terus?”
Reivan berbalik. Ia berjalan cepat ke tempat tidurnya lalu duduk di sisi paling ujung dari ranjangnya. Aku langsung de ja vu. Hal yang sama baru terjadi beberapa hari yang lalu.
Meski kami terpisah beberapa langkah, tetapi aku bisa merasakan kemarahan Reivan memenuhi seisi kamarnya. Udara yang tak kasatmata mengantarkan aroma kemurkaannya ke hidungku. Panas dan menakutkan.
“Kalau kamu enggak ada lagi yang mau diomongin, aku mau keluar.”
“Jangan bertingkah seenaknya di rumah saya ….”
“Aku tahu aku salah. Aku minta maaf.”
“… kamu cuma numpang di sini. Enggak ada bedanya sama Bu Lia.”
Jika hatiku adalah bensin yang meluber, maka kata-kata Reivan adalah api yang membuatnya terbakar. Cuma numpang, dia bilang. Enggak ada bedanya sama Bu Lia. Dia pikir Papa menikahkanku dengannya hanya untuk menjadikanku pembantu di rumahnya?!
Sebelum aku sempat berpikir, gelas berisi jus pisang di tangan kananku telah melayang di udara. Arahnya jelas, menuju bagian mana pun dari tubuh Reivan. Namun, Reivan berhasil mengelak. Gelas itu melewatinya begitu saja lalu mendarat dan hancur berkeping-keping di dekat pintu kamar mandi. Aroma jus pisang susu pun langsung menengahi keributan kami.
“Aku tahu aku cuma numpang, tapi statusku di rumah ini adalah sebagai istri kamu, bukan pembantumu!”
Saat mengatakan itu kedua tanganku gemetar tak terkendali. Aku sampai harus menaruh satu gelas jus lainnya ke meja terdekat dari posisiku.
“Kamu yang bilang, kita bukan suami istri beneran. Kamu yang bilang kita cuma nikah pura-pura selama setahun. Terus sekarang kamu pengin saya menganggap kamu jadi istri saya? Biar apa? Biar saya bisa memaklumi kelakuan murahan kamu sama pacarmu itu di rumah saya?”
“Rumah saya-rumah saya-rumah saya! Dari detik pertama aku nginjekkin kaki di sini, kamu selalu ngeributin soal rumah. Jangan gini, lah, di rumah saya, jangan gitu, lah! Kamu pikir kamu siapa bisa seenaknya ngatur-ngatur aku?!”
“Saya enggak ngatur kamu di luar. Saya ngatur kamu di sini karena ini memang wilayah saya. Baru kemarin saya bilang jangan pacaran di sini, tapi lihat apa yang terjadi? Apa kamu enggak mikir waktu lagi begituan sama pacar kamu di depan pagar rumah saya? Ada CCTV, ada tetangga di kanan kiri, ada pembantu yang enggak tahu apa-apa soal ini! Kamu itu bodoh atau pura-pura bodoh, Ishana?”
Ada yang ingin kuluapkan dari pelupuk mataku, tetapi aku berusaha menahannya mati-matian. Selama tiga puluh tahun kehidupanku di dunia, tidak pernah sekali pun aku dipermalukan secara frontal seperti itu oleh laki-laki. Tidak oleh Papa, tidak oleh Bang Hadi, tidak juga oleh Alston atau pacar-pacarku sebelumnya. Perlakuan Reivan benar-benar tidak bisa kuterima.
“Brengsek.” Kata itu lolos dari sela-sela getaran dalam suaraku.
“Saya? Brengsek? Ngaca!”
Laki-laki macam apa yang kunikahi, ya Tuhan?!
Aku mengambil langkah lebar mendekati Reivan kemudian kulayangkan satu tamparan ke arah pipinya. Dalam bayanganku, tamparan itu akan melukai harga diri Reivan, tetapi nyatanya tidak ada yang terjadi karena pergelangan tanganku terperangkap dalam genggaman tangan Reivan yang begitu kuat.
Reivan berdiri, kepalanya jadi lebih tinggi dibanding tinggi kepalaku. Aku harus mendongak untuk bisa melihat matanya.
“Jangan ada sentuhan. Itu juga kamu yang bilang,” katanya sambil menyentakkan tangan, membuat lenganku terlepas dari genggamannya.
Lalu air mata yang kutahan-tahan itu mengalir begitu saja. Tidak, aku tidak sedih. Aku marah. Air mata itu adalah air mata kemarahanku. Aku benci diperlakukan seperti itu oleh suamiku sendiri—meski Reivan bukan suami betulan, tetapi sikapnya tetaplah menyakitkan. Aku tidak pantas diperlakukan dan dikata-katai serendah itu olehnya.
Anehnya, begitu aku meluapkan tangisan, kemarahan Reivan seperti menguap perlahan-lahan. Kerutan di keningnya mengendur. Sinar matanya, yang sebelumnya penuh kebencian, seketika melembut.
“Aku memang bukan perempuan baik-baik, kalau itu yang mau kamu sampaikan—”aku harus menahan diri agar kata-kataku tidak kalah oleh isak dan tangisan—“tapi aku selalu mendapat perlakuan baik dari laki-laki di sekitarku. Berani-beraninya kamu merendahkanku seperti ini.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya