Reivan diam. Kumanfaatkan kesempatan itu untuk kembali bicara, meski kali itu kata-kataku mulai terpotong-potong oleh sedu sedan yang tertahan.
“Aku memang cuma numpang di rumah kamu, tapi seharusnya kamu tahu kalau selama aku ngikut kamu, semua tentang aku jadi tanggung jawab kamu.”
Reivan masih diam. Dia masih berdiri di depanku, masih terlihat mengerikan, tapi sepertinya sudah tidak ada sisa-sisa kemarahan dalam dirinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau kamu keberatan, aku akan pulang ke rumah orang tuaku sekarang juga. Enggak usah kamu perlihatkan ke mereka kejadian tadi, aku yang akan bicara sendiri.”
Lalu aku menangis sepuasnya. Aku menangis memikirkan nasibku jika harus benar-benar kembali ke rumah Papa dan Mama. Aku menangis membayangkan apa kata orang tentang pernikahan kami yang bahkan tidak sampai seusia jagung. Aku menangis mengetahui hubunganku dengan Alston berada di ambang kehancuran jika semua itu sampai terjadi.
“Sudah malam. Kamu enggak usah ke mana-mana. Cepat tidur.”
Hah?
Setelah keributan yang terjadi di antara kami … setelah air mata yang membasahi kedua pipiku …. Gimana, sih?
“Maaf.”
“Memang udah seharusnya kamu yang minta maaf. Semua keributan ini kamu yang mulai, bukan aku!” Mumpung Reivan mengungkapkan rasa penyesalan, kugoreng saja permohonan maafnya. “Aku enggak ada rencana datang ke sini bareng-bareng Alston, aku enggak ada niat ciuman sama dia di depan CCTV … lagian ngapain coba kamu tiba-tiba datang ke kantor aku?”
“Jemput kamu.”
“Ya buat apa? Aku enggak minta, kan?”
“Iya, kamu enggak minta. Saya yang mau. Saya setuju sama yang kamu omongin tadi. Selama kamu ada di sini, kamu jadi tanggung jawab saya.” Reivan menghela napas sesaat. Jarak kami begitu dekat sampai-sampai embusan napasnya yang hangat terasa menyapu pucuk kepalaku. “Tadi pagi saya yang anter kamu ke kantor, jadi saya juga yang harus jemput ….”
Kata-kata Reivan sempat membuatku terharu, sampai ….
“… saya enggak inget kalau kamu punya sopir pribadi.”
Kurang ajar! Ingin kuteriakkan kalau Alston bukan sopir pribadiku, tapi … sudah, lah! Percuma ngomong sama batu kali, mental semua kata-kataku!
Aku mengentakkan kaki lalu melangkah pergi dengan wajah yang masih dibasahi air mata dan dada yang dipenuhi luka. Kubuka pintu kamar Reivan dengan sekuat tenaga lalu keluar dari sana. Namun, langkahku terhenti kala melihat Bu Lia dan Dewi berdiri berjajar di depan pintu kamar Reivan.
“Kenapa kamu masih di sini?” Aku bertanya sembari buru-buru mengeringkan air mata. “Tadi bukannya udah pamit mau pulang?”
“Kan Ibu belum jawab tadi—”
“Pulang aja kayak biasa, enggak perlu saya kasih izin. Ini bukan rumah saya.” Kulirik Reivan yang mematung di ambang pintu kamarnya. “Terus, Bu Lia ngapain di sini?”
“Anu, Neng, tadi Ibu mau anter Dewi pamit ke Neng ….”
Ingin kuteriakkan saat itu juga kepada mereka berdua, “Ini bukan rumah saya!”[]
Terima kasih sudah membaca cerita Ishana dan Reivan ^^
Jangan lupa baca juga bab sebelumnya di sini: https://www.redaksiku.com/room-for-two-bab-4-bintang-film-dadakan/
Halaman : 1 2