Room for Two Bab 7: Rencana Balas Dendam
Sebelumnya aku memang tidak berencana pergi ke luar, tetapi berada di rumah Reivan hanya bersama Bu Lia dan Dewi membuatku makin tertekan. Aku belum bisa membuktikan, tetapi aku yakin, ada sesuatu dalam gerak-gerik Dewi yang membuatku tidak nyaman. Kurasa, melalui pandangannya, perempuan itu sedang menganalisisku. Tatapannya membuatku risih.
Karena itu aku memilih berdiam diri di sebuah kafe sambil menyelesaikan tugas mengunggah artikel-artikel berita CMS sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ada beberapa CC alias Content Creator lepas yang sudah menyetor artikel. Karena Mbak Monic dan Mas Jun, wakil pemred, sedang tugas liputan ke luar, jadi akulah yang harus standby menjaga CMS agar tidak kosong selama beberapa jam ke depan. CMS sendiri adalah singkatan dari Content Management System, sebuah software yang memungkinkanku mengelola isi portal berita Sebar Kabar Benar secara mudah dan cepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Hi, Hun!”
Dan tentu saja, harus ada Alston di dekatku. Ia datang selang satu jam setelah aku memesan meja di sebuah kafe baru di sekitar Jalan Laswi.
Alston buru-buru mematikan rokok, membuang puntungnya ke asbak, lalu menarik kursi di sebelahku. Sebelum sempat ia memindai kode untuk memesan menu, aku langsung membombardirnya dengan keluhan panjang tentang Reivan. Tentang kelakuannya semalam yang menyebalkan. Juga tentang kedua pembantunya yang terus mengusikku. Aku sampai harus menarik napas beberapa kali agar tidak menangis di depannya.
“Kurang ajar.”
Alston—mungkin lupa dengan niatnya memesan makanan—merespons ceritaku dengan mimik wajah penuh rasa tidak suka. Tubuhnya condong ke arahku sementara matanya tidak lepas menatapku.
Melalui genggaman tangannya, Alston meremas-remas kedua tanganku. Jelas sekali ia berusaha menenangkanku, meskipun kenyataannya aku malah semakin ingin menangis. Jujur saja, perhatian Alston yang begitu tulus membuatku goyah.
“Menurutku, dia berani semena-mena kayak gitu sama kamu karena merasa kamu tinggal di rumahnya. Dia mirip binatang yang marah kalau wilayahnya dijajah sama binatang lain.”
Aku tidak menimpali. Alih-alih menjawab, kuteguk banyak-banyak es kopi pesananku yang tersisa separuhnya. Rasa pahit dan dingin dari kopi itu meredakan panas yang membakar dadaku.
“Di depanku kamu boleh nangis, kok, Hun.”
Aku menggeleng sambil memaksakan senyum. Oh, Alston, please, setop … sikapmu yang seperti itluah yang terus membuatku meleleh. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa dirinya.
“Kurasa aku sudah lebih baik sekarang.” Aku menghela napas panjang sambil menepuk-nepuk tangan Alston.
“Enggak, kamu belum baik-baik aja,” timpalnya kemudian.
“Perasaanku jauh lebih baik setelah ketemu kamu, Bee. Kamu itu adalah jaminan dari Tuhan bahwa aku akan selalu punya orang yang ngelindungin dan ngedukung dalam situasi apa pun. Jangan tinggalin aku, ya, Bee. Cuma setahun, please tunggu aku.”
Tangan Alston mengarah ke kepalaku. Ia mengacak-acak rambutku kemudian mengecup dahiku sekilas.
“Aku enggak akan ke mana-mana, tapi bukan berarti kamu boleh diem aja. Makin kamu diem, nanti Reivan makin semena-mena. Sebelumnya dia udah sepakat, kan, kalau pernikahan kalian ini cuma satu tahun?”
Kujawab pertanyaan itu dengan anggukkan kepala.
“Terus, kamu yakin kalau si Reivan itu tahu bahwa kamu akan tetap sama-sama aku? Dia setuju, kan, pernikahan kalian bukan pagar yang membatasi hubunganmu sama aku?”
Aku mengingat kembali perbincanganku bersama Reivan; di kantornya, di kamar hotel, di kamarnya … aku yakin sekali aku telah membuat Reivan menyepakati kemauanku.
“Dia tahu. Dia paham, kok.”
Lalu aku teringat ketika Reivan keceplosan menyebutkan nama Rayna, mantan kekasihnya. Kuceritakan juga hal itu kepada Alston.
“Reivan sempet bilang kalau dia punya pacar, tapi katanya hubungan mereka berakhir ketika kami dijodohkan. Aku ingat aku bilang ke dia, selama pernikahan ini aku mau dia tetap ngizinin aku pacaran sama kamu. Supaya impas, aku juga bakal ngizinin dia balikan sama pacarnya.”
Kali itu giliran Alston yang mengangguk-angguk. Saat matanya menatap gelas kopiku yang hampir kosong, pandangannya terkesan kosong. Pasti ada sesuatu yang mengganggunya.
“Kamu lagi mikirin apa?”
Alston menoleh mendengar pertanyaanku.
“Aku ngelihat peluang buat balas dendam,” katanya kemudian.
Aku terkesiap. Balas dendam? Siapa? Untuk apa?
“Dengar, Hun, aku punya rencana,” kata Alston sebelum aku sempat menyuarakan pertanyaan-pertanyaan itu. “Kamu bisa eksekusi kapan pun, terutama kalau suamimu itu udah keterlaluan,.”
“Rencana apa?”
Aslton mulai bicara panjang lebar. Ia menyinggung profesiku sebagai seorang jurnalis yang memiliki kekuasaan untuk menggiring opini seseorang terhadap orang lain. Jari telunjuknya tak henti-henti mengarah ke layar laptopku yang menampilkan dashboard CMS yang masih putih bersih tak terisi.
“Nah, kamu harus gunakan itu sebagai kekuatanmu. Kamu punya power yang enggak dipunyai Reivan. Kamu hanya harus tahu kapan menggunakannya.”
Aku menangkap pesan Alston.
Rencana balas dendam … perlukah?
Kutatap layar laptopku yang masih menyala. Aku belum mengunggah satu artikel pun sejak Aslton datang.
***
Siang itu, aku dan Alston dua kali berpindah tempat bertemu. Selepas dari kafe di Jalan Laswi, kami lanjut bekerja di sebuah rumah makan sepi pengunjung di Jalan Riau, sebelum kemudian, pada jam dua siang, Alston pergi karena mendapat tugas liputan.
Pikiranku mengembara ke mana-mana begitu ditinggal sendirian. Aku memikirkan Reivan dan kebencianku kepadanya, memikirkan Alston dan rencana gila tentang pembalasan dendamnya, memikirkan Dewi dan kelakuan anehnya, dan masih banyak lagi. Semua itu keluar masuk kepalaku seenaknya, seperti para lebah yang bergantian datang dan pergi dari sarangnya untuk mengumpulkan madu.
Ketika sudah tidak alasan bagiku untuk terus berdiam diri di rumah makan itu, aku segera memesan taksi online. Tujuanku pulang. Namun, bukan pulang ke rumah Reivan. Aku tidak merasa menjadi bagian dari rumah itu, aku bahkan tidak yakin kata pulang akan cocok menggambarkan kedatanganku ke sana.
“Hana!” Mata Mama yang terbingkai di balik kacamata bermodel cat eye membelalak begitu melihatku muncul di ambang pintu ruang tamu. “Kamu ngapain di sini? Bawa-bawa laptop segala, lagi … memangnya selama bulan madu kamu tetap kerja?”
“Hana mau ke kamar, Ma.”
Meski tidak bisa melihat ke belakang, tapi aku tahu Mama membuntutiku. Bayangan tubuh Mama memantul di lantai yang terkena sorot lampu.
“Kenapa kamu di sini, Na? Reivan mana?”
Mama mengulang pertanyaannya ketika aku baru saja menikmati kehangatan kasurku yang telah beberapa lama kutinggalkan. Ah … aku nyaris lupa betapa nyamannya tidur di kasur itu.
“Dia di kantor.”
Kulihat kening Mama berkerut. Jejak garis-garis halus menghiasi dahinya yang mulai keriput, sangat kontras dengan rambutnya yang dicat cokelat kemerahan demi menyembunyikan helai-helai uban yang terus bermunculan.
“Ini bukannya seharusnya kalian masih bulan madu, ya? Kok, yang satu ada di sini yang satunya ada di kantor? Mama enggak ngerti, Han.”
“Iya enggak apa-apa, Mama enggak usah ngerti apa-apa. Sekarang Hana mau tidur dulu. Hana ngantuk, semalem enggak bisa tidur. Mama kalau keluar tolong tutup sekalian pintu kamar Hana, ya.”
“Kenapa?”
Cepat-cepat kututup kepalaku menggunakan bantal. Bertepatan dengan itu, kudengar suara teredam Mama yang bertanya apakah aku sedang bertengkar dengan Reivan. Mungkin karena aku mengabaikannya, akhirnya Mama memilih pergi.
“ … lagi enggak bisa ditinggal jadi terpaksa kerja.”
Lalu, suara Reivan tiba-tiba saja memasuki telingaku. Seketika itu pula, palu bermuatan kesadaran sempurna menghantam kepalaku: aku tidak sedang berada di rumah Reivan, itu artinya Reivan-lah yang datang ke rumah orang tuaku!
Secepat kedua kakiku melangkah, aku berlari ke ruang tamu. Di sana ada Papa dan Mama yang duduk berhadapan dengan Reivan, dan di antara mereka ada dua cangkir kopi yang isinya telah habis diminum.
“Akhirnya bangun juga.” Papa menyambut kedatanganku di ruang tamu.
Aku langsung duduk di sebelahnya kemudian menyalami tangannya. Setelah itu, kuarahkan pandangan ke mata Reivan yang tepat berada di seberangku.
“Ngapain kamu di sini?”
“Hana!”
Bentakan Papa tidak hanya membungkamku, tapi juga membuat seluruh tubuhku langsung lupa berfungsi. []
Terima kasih sudah membaca ^^
Silakan mampir juga ke bab sebelumnya: https://www.redaksiku.com/room-for-two-bab-6-penyesalan-dan-harapan/