Hubungan Abyan dan Ayyara mengalami perubahan besar. Ibu dua anak ini terlihat lebih semringah menjalani hari-harinya, bahkan keluarga dan beberapa temannya pun menyadari hal tersebut.
“Ra, Yaraa … sini!” Lani melambaikan tangannya saat melihat Ayyara celingukan mencari meja tempatnya janjian.
Ya, hari ini, dia ada janji bertemu dengan emak-emak heboh yang dikenalnya saat si sulung masih duduk di bangku TK.
“Apa kabar, Ra?” sambut Lani begitu Ayyara tiba di hadapan mereka. Kemudian, Lani langsung merangkulnya sembari cipika-cipiki.
“Iya, nih. Ke mana aja, kamu? Menghilang begitu saja kayak ditelan bumi.” Elin ikut menimpali sambil bergantian menyalaminya.
“Bedalah kalau sudah jadi istri bos, nggak level lagi jalan sama kita-kita,” celetuk Mira ikut-ikutan berkomentar.
“Apa sih, kalian? Nggak ada kayak gitu. Aku baru sembuh, setelah sebulanan dirawat.” Ayyara mencoba memberikan argumen.
“Eh, kamu sakit apa? Kok, kita nggak tahu?” Lani kembali bertanya dengan kening berkerut.
“Ada sedikit kecelakaan, kepeleset di kamar. Tapi, alhamdulillah semuanya aman terkendali. Aku juga sudah lebih sehat,” jawab Ayyara berusaha sewajar mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Oh, jadi kabar yang aku dengar, beneran, ya? Aku pikir cuma bercandaan doang. Sorry, ya … kita nggak nengokin.” Mira mengungkapkan penyesalannya.
“Iya, nggak apa-apa. Memang banyak yang nggak tahu, kok. Yang penting sekarang aku sudah sehat lagi.” Ayyara menanggapi dengan santai. “Sudah, ah, pembahasan soal akunya selesai sampai di sini. Sekarang, mending kalian yang cerita. Ada kabar terbaru apa?” Ayyara mengalihkan topik pembicaraan.
Mereka pun akhirnya, bercerita pengalaman masing-masing selama beberapa bulan terakhir. Sampai kemudian, Ayyara menerima pesan dari Abyan. Suaminya itu memberitahukan bahwa hari ini akan pulang terlambat karena ada hal penting yang harus dia urus.
My Hubby: Padahal aku kangen banget sama kamu. Eh … Hardi malah ngajakin rapat, sebal!
Mata Ayyara langsung berbinar ketika membaca kalimat terakhir dari suaminya itu. Tanpa dia sadari, bibirnya tertarik ke samping hingga membentuk lengkungan sempurna.
“Woi, kesambet apa, kamu? Senyum-senyum sendiri,” tegur Lani mengembalikan kesadaran Ayyara yang masih fokus pada layar ponselnya.
“Tahu, nih, aku sudah capek-capek ngoceh, tahunya malah dicuekin,” timpal Elin dengan bibir mencebik.
Rupanya, tanpa Ayyara sadari, sejak tadi mereka tengah memperhatikan dirinya yang mesem-mesem sendiri.
“Ck, apa, sih, kalian?” elaknya, “nggak usah kepo, deh.”
“Alah, memang kita nggak tahu? Kamu lagi happy, kan? Pasti ada hubungannya sama Mas Aby, ya?” tebak Mira dengan percaya diri.
“Eh, kok, kalian tahu, sih?” Ayyara memandangi ketiga temannya itu dengan tatapan penasaran.
Ketiga temannya saling berpandangan. “Jadi, beneran kamu lagi happy?” tanya mereka hampir bersamaan.
“Ya, ampun, Raa … kita ini sudah temenan hampir 3 tahun. Sejak awal kenal, kita tahu … hanya tentang Mas Aby yang bisa bikin kamu senyum-senyum kayak gitu. Pokoknya kelihatan beda, deh.” Mira menjelaskan dengan antusias.
“Wow, sedetail itu kalian mengamatiku?” Ayyara merasa takjub. “Makasih, ya, untuk semua perhatiannya.”
“Makanya, cerita dong!” pinta Erin kemudian.
“Iih, apa, sih? Nggak ada yang istimewa, kok. Biasa saja.” Ayyara masih tetap mengelak.
Teman-temannya hanya bisa menghela napas. Mereka tahu kalau Ayyara itu paling tidak suka dikorek-korek urusan rumah tangganya, tapi kali ini kan, sesuatu yang membahagiakan. Jadi, kenapa harus ditutup-tutupi? Begitu pikirnya.
“Ya, sudah … kita nggak kepo, deh, tapi janji, ya … kamu bakal selalu bahagia.” Lani akhirnya menengahi. “Aku akan selalu berdoa buat kamu.”
Dia tahu, Ayyara itu tipe perempuan yang suka memendam rasa. Lani sangat bersyukur kalau memang benar teman baiknya ini sedang bahagia. Yang paling dia khawatirkan itu kalau sebenarnya Ayyara ini sedang sedih, tapi berusaha tampil baik-baik saja.
“Ah, nggak asyik lo!” protes Mira sedikit bersungut-sungut.
Ada perasaan tak enak hati karena tidak menceritakan apa yang dia rasakan saat ini. Tapi, seandainya bercerita, Ayyara juga merasa khawatir apa yang selama ini dia tutupi akan terbongkar secara tak sengaja.
Saat mengalami kebingungan itu, ponselnya berdering. Ayyara menarik napas lega melihat nama Gita muncul di layar. Setelah menerima panggilan tersebut, Ayyara pamit karena sang adik mengajaknya untuk menjenguk ayah mereka. Sejak sakit hingga sekarang sehat, Ayyara belum sempat mengunjungi papanya itu.
“Mbak, aku perhatiin kayaknya kamu lagi happy, ya?” tanya Gita siang itu, saat mereka sudah tiba di kediaman Pak Bagja.
“Duuh, kenapa semua orang ngomongnya begitu, sih? Tadi, waktu aku ketemu ibu-ibu teman TK-nya Zay pada komen gitu juga. Memang kelihatan, ya?” Ayyara balik bertanya sambil memperhatikan pantulan wajahnya di cermin yang ada di ruang keluarga.
“Bagus dong, Mbak … kalau memang kamu bahagia, kita pastinya ikut merasakan juga. Aku cuma kepo saja, apa yang membuatmu happy akhir-akhir ini?” Gita masih belum menyerah untuk mengorek informasi dari sang kakak.
“Eh, tunggu-tunggu … jangan cerita dulu! Papa pengin ikutan dengar juga katanya,” celetuk Nitia yang tiba-tiba masuk ke ruangan tersebut.
“Hai, Nit, apa kabar kamu?” sapa Ayyara saat adik iparnya itu datang menghampiri dan memeluknya.
“Alhamdulillah … baik, Mbak.” Nitia membalas pelukannya. “Eh, iya, ayo ke kamar Papa! Dia sudah nungguin Mbak Ayya.”
“Oh, gitu?” Pupil mata Ayyara membesar. Dia menatap Nitia sambil tersenyum.
“Iya, barusan dengar obrolan Mbak sama Gita. Terus, minta aku buat panggilin kalian, biar ceritanya sekalian depan Papa.” Nitia kembali menjelaskan.
Ayyara pun setengah berlari menuju kamar Pak Bagja dan dari belakang Gita mengikutinya. Begitu masuk, dia lihat sang ayah yang terbaring di atas kasur, sedang melayangkan pandangannya ke arah pintu.
“Ya, Allah … Papa! Aku senang banget lihat Papa segar kayak gini.” Ayyara menghampiri ayahnya. Dia duduk di pinggir kasur, lalu meraih dan mencium takzim tangan Pak Bagja yang kini hanya tinggal kulit pembungkus tulang.
“Alhamdulillah, berkat doa kalian semua. Ini seperti keajaiban buat Papa bisa merasakan badannya lebih segar dan kuat,” ungkapnya dengan suara sedikit bergetar menahan haru. “Apalagi pas dengar kamu datang dalam keadaan bahagia, Papa jadi tambah sehat dan bahagia juga.”
“Tuh, Mbak … kebahagiaan kamu itu ngasih aura positif buat orang-orang di sekitar. Aku berharap dan berdoa, semoga Mbak akan selalu bahagia.” Gita menimpali ucapan ayahnya.
Pak Bagja mulai berkaca-kaca mendengar perkataan putri bungsunya. Dia tahu pengorbanan Ayyara untuk keluarganya selama ini sangatlah besar. Banyak hal-hal yang putri sulungnya korbankan ketika dulu, sang istri meninggal, sementara ketiga anaknya masih kecil-kecil.
“Abyan gimana kabarnya, Ay?” tanya Pak Bagia kemudian.
“Alhamdulillah, baik, Pap. Maafkan karena sudah lama Mas Aby juga nggak nengokin ke sini. Insyaallah akhir pekan ini, aku ajak ketemu Papa.” Ayyara menyampaikan penyesalannya sambil menggenggam pergelangan tangan lelaki paruh baya itu sembari tersenyum dan mengangguk. “Aku janji sama Papa.”
Pak Bagja menepuk-nepuk punggung tangan Ayyara sambil senyum-senyum. “Papa ngerti, kok … kemarin-kemarin pasti Aby sibuk ngurusin kamu yang baru keluar dari rumah sakit. Apalagi pekerjaannya di kantor juga nggak sedikit. Yang penting kalian semua sehat. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Papa senang.”
Ayyara pun membungkukkan badan untuk memeluk sang ayah. Ada perasaan bersalah karena sudah lama tidak datang mengunjunginya. Sekarang, dia merasa tidak ada lagi beban pikiran dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan begitu, ibu dua anak ini bisa kembali fokus untuk merawat dan memperhatikan kesehatan ayahnya, minimal lebih sering datang berkunjung.
Dulu, ketika Abyan menyelesaikan kuliah S2, sekaligus melakukan pekerjaannya sebagai asisten dosen, Ayyara banyak meluangkan waktunya di rumah tersebut. Menunggu suami sambil menemani dan merawat Pak Bagja. Kebiasaannya ini pun mulai berkurang saat Ayyara hamil anak pertama.
Beruntungnya ada Dhandhan, sang adik lelaki yang mau mengalah. Dia membawa anak-istrinya untuk menemani dan merawat Pak Bagja di sana.
“Mbak, kapan ceritanya? Kita nungguin, nih.” Gita mengingatkan Ayyara.
“Oh, iya. Eh, tapi sebenarnya nggak ada yang harus aku ceritain, sih. Semuanya sama saja, ah.” Ayyara terlihat sedang berpikir keras tentang hal apa yang harus dia ceritakan. “Mungkin karena akhir-akhir ini, Mas Aby lebih sering ada di rumah, meluangkan waktu bareng anak-anak.”
“Udah, gitu doang? Apa istimewanya?” Gita masih tidak puas dengan jawaban sang kakak.
“Lho, tadi kan, aku juga sudah bilang, nggak ada yang istimewa.” Ayyara membela diri.
“Sudah, sudah, nggak usah diperpanjang. Lagipula, kebahagiaan terbesar seseorang itu justru karena pandai mensyukuri setiap keadaan yang dia terima, sekecil apapun itu.” Pak Bagja melerai percekcokan kedua putrinya ini.
Lelaki paruh baya itu pun merasa bersyukur karena melihat anak-anaknya bisa tumbuh dengan sangat baik hingga saat ini. Pak Bagja merasakan kebahagiaannya sudah lengkap. Jikalau waktu dirinya dipanggil Sang Maha Kuasa sudah dekat, rasanya tidak ada lagi penyesalan yang harus dia tinggalkan.
Seandainya, kebahagiaan yang dirasakan Ayyara bisa berlangsung lama, mungkin harapan Pak Bagja saat ini bisa benar-benar terwujud, tapi nyatanya? Ibu dua anak ini harus kembali mengalami fluktuasi emosi melebihi orang yang menaiki roller coaster di taman hiburan sana.
Dibaca: 77
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow