Senja Membawamu Kembali ( Part 18 )
“Beberapa waktu setelah kantorku pindah ke Sudirman. Itu pun kejadiannya tak disengaja. Sebelumnya, aku pernah mencoba menghubungi dia, tapi no ponselnya sudah nggak aktif,” tuturnya. “Kamu ingat, kita pernah bawa Papa ke rumah sakit di kawasan Sentul?”
Ayyara mengernyit, berusaha mengingat peristiwa setahun lebih yang lalu. Kala mereka membawa sang ayah terapi pasca sroke. “Iya, aku ingat. Kenapa?”
Abyan pun menceritakan pertemuannya bersama Lidya. Siang itu, dia akan mengurus administrasi untuk kepulangan ayah mertuanya setelah dirawat selama satu minggu.
Ketika melewati ruang tunggu administrasi, tanpa sengaja dirinya melihat seorang gadis terduduk sendirian dengan wajah sedih. Betapa terkejutnya Abyan saat perempuan muda itu seketika menengadah, mata keduanya pun saling bertatapan.
“Pak Lee?” tanyanya tak kalah kaget.
“Lili? Ngapain kamu di sini?” Abyan bergegas menghampiri.
Gadis itu kembali tertunduk, bahkan langsung terisak hingga membuat Abyan salah tingkah. “Li, please, kamu tenang dulu. Nggak enak dilihat orang kamu nangis di sini. Entar dikira aku ngapa-ngapain kamu lagi,” ungkapnya sambil duduk di samping Lidya dan mengulurkan saputangan miliknya.
Lidya menerima sapu tangan itu, lalu menyeka air matanya. “Ibuku divonis kangker usus stadium 4,” ucapnya lirih nyaris tak terdengar.
Abyan tertegun untuk beberapa saat. Setahu dia, Lidya itu bernasib sama dengan dirinya yang terlahir sebagai anak tunggal. “Sekarang, gimana kondisinya?” tanyanya ikut khawatir.
“Kankernya sudah menyebar sampai ke kantung kemih. Kata dokter, kalau dioperasi juga terlalu beresiko karena kondisi Ibu yang drop banget,” ungkapnya terdengar memilukan. “Aku takut ….” Dia mulai terisak. “Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”
Ketika mendengar ucapan Lidya, hati Abyan ikut terenyuh. Sedikit ragu, dia merentangkan tangannya, lalu mengusap pundak gadis itu sekedar untuk memberikan dukungan semangat. “Kamu yang sabar, kalau butuh bantuan nggak usah sungkan, bilang saja, ya,” hiburnya.
Gadis itu menengadahkan kepala menatap ke dalam mata lelaki yang sudah lama dia dambakan. Meskipun masih terlihat sembab, tapi kilatan binar di matanya tak bisa disembunyikan. “Beneran, Mas?”
Abyan sedikit terkejut mendapat panggilan ‘Mas’ dari mantan mahasiswinya itu.
“Eh, nggak apa-apa kan, kalau aku panggilnya begitu?” tanyanya begitu melihat reaksi keterkejutan Abyan. “Ini kan, di luar jam kerja,” dalihnya.
Sejujurnya, ada perasaan aneh yang Abyan rasakan kala Lidya memanggil dirinya seperti itu. Hatinya terasa hangat hingga kedua ujung bibirnya melengkung sempurna. Apalagi, ekspresi gadis itu sangat manis dan terkesan manja, berhasil membuat jantungnya pun ikut berdegup kencang.
Abyan mengangguk. “Iya, nggak masalah.”
Gadis itu langsung memamerkan deretan gigi putihnya. Kesedihan yang sedang dia rasakan perlahan sedikit terobati. “Eh, iya, Mas lagi apa di sini?”
Abyan langsung terkesiap. “Ya, ampun, aku jadi lupa,” ujarnya. “Bentar, ya, aku harus urusan administrasi kepulangan mertuaku.” Dia mengucapkannya sambil berdiri dan bersiap untuk pergi. Oh, iya. Ibumu dirawat di ruang apa? Biar nanti aku jenguk ke sana.”
“Mas save no kontak aku saja, ya … entar, aku infoin lewat chat, soalnya ada kemungkinan Ibu pindah ke ruangan lain,” tanggapnya sambil ikut berdiri.
“Oh, oke. Nih, tulis sendiri nomornya,” ujar Abyan sembari menyerahkan ponselnya.
Setelah Lidya mengetikkan langsung nomornya di ponsel Abyan, mereka pun berpisah untuk menyelesaikan urusannya masing-masing.
“Jadi, sejak itu kamu mulai berhubungan lagi dengan Lidya?” tanya Ayyara memotong penjelasan suaminya.
“Nggak juga karena setelah Papa pulang, banyak hal yang harus aku selesaikan, termasuk benahin segala urusan terkait kantorku yang baru saja pindah ke Sudirman.”
Ayyarak memutuskan untuk duduk lagi di sofa. Begitupun dengan Abyan, dia ikut mendudukkan dirinya di samping sang istri.
“Lalu, kapan Mas mulai intens ketemu sama dia?” Ayyara kembali buka suara sembari menoleh ke samping menatap sang suami.
Sayangnya, ibu dua anak ini harus menahan diri untuk yang kesekian kalinya karena Abyan tiba-tiba ditelpon Hardi, suaminya Manda yang sekaligus sahabat baik Abyan.
“Maafkan, Sayang … kondisinya urgen. Hardi minta aku berangkat sekarang. Nanti saja kita lanjut lagi obrolannya, ya,” pintanya dengan tampang memelas.
Ayyara pun pasrah. Dia memilih mengiyakan permintaan suaminya karena sejak tadi membahas soal Lidya, memang tidak ada indikasi kalau Abyan itu berbohong. Semua hal dia bicarakan tanpa terlihat ada keraguan ataupun sesuatu yang ditutup-tutupi dalam dirinya.
Beberapa hari kemudian, Abyan masih belum punya waktu luang. Dia selalu pulang larut dan kelelahan sehingga Ayyara pun tak tega kalau harus menambah beban pikirannya. Akhirnya, ibu dua anak ini harus menahan rasa penasarannya terkait hubungan sang suami dengan Lidya.
Sejak itu, Ayyara banyak merenungkan kehidupan rumah tangganya ini harus dibawa ke arah mana. Dia pun kembali ngobrol dengan Fathiya, meminta pendapatnya terkait langkah apa yang harus dia ambil, meskipun hanya lewat telpon.
Malam itu, Abyan meminta izin pulang larut sehingga Ayyara bisa lebih leluasa ngobrol dengan Fathiya.
“Gimana, Ay? Sudah sejauh apa pembicaraan kalian berdua?” tanyanya.
“Sejak obrolan terakhir kami, belum ada kepastian dari Mas Aby tentang apakah dia bersedia ninggalin perempuan itu atau tidak,” jawab Ayyara. “Aku nggak berani tanya, takut dia marah karena waktunya nggak tepat.”
“Oh, oke. Apakah ini berarti kamu siap ketika mengetahui kebenaran terburuknya bahwa Mas Aby tetap mempertahankan perempuan itu?” tanya Fathiya.
Ayyara terdiam untuk beberapa saat. Dia tak menyangka akan memperoleh pertanyaan seperti itu. “Sejujurnya, aku takut Fath … nggak siap harus berbagi cinta dengan wanita lain. Tapi, aku juga nggak mau merasakan sakit hati kehilangan dia selamanya,” tutur Ayyara. “Aku nggak bisa ngebayangin ketika Mas Aby masih berada di sekitar kita, tapi aku nggak berhak apapun atas dirinya.”
Terdengar helaan napas berat dari seberang telpon.
“Lalu, apa lagi yangkamu khawatirkan saat Mas Aby memilih benar-benar menikahi perempuannya itu?”
Ayyara ikut menarik napas panjang. “Aku khawatir Mas Aby mulai menelantarkan anak-anak, baik untuk perhatian ataupun pemenuhan kebutuhan materinya.”
“Hmm, masuk akal. Lantas, apa kamu sudah memikirkan, kira-kira solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kekhawatiran tersebut?”
Ibu dua anak ini tertegun. Dia baru menyadari bahwa hal paling utama yang harus dia pikirkan itu solusinya, bukan mempertanyakan kenapa ini terjadi?
Setelah merenung untuk beberapa saat, dia kemudian berbicara lagi. “Fath, menurutmu apa mungkin kalau aku minta Mas Aby mengalih namakan seluruh aset yang kita miliki pada anak-anak?”
“Maksudmu semua kepemilikannya jadi atas nama Zay sama Tsa, gitu?” Fathiya mengkonfirmasi.
“Iya, pakai surat perjanjian resmi ke notaris. Ya, pastinya ada keterangan tambahan bahwa pengelolaan masih dipegang aku dan Mas Aby sampai mereka dewasa.”
“Jujur, aku nggak terlalu paham juga urusan hukum seperti ini, tapi kamu coba saja berkonsultasi dulu ke ahlinya. Kalau memang memungkinkan, kenapa nggak?”
Sekarang, ibu dua anak ini bisa tersenyum, setidaknya ada satu progres yang bisa dilakukan untuk permasalahannya tersebut.
Sementara Abyan tengah sibuk mempersiapkan keikutsertaan perusahaan Lidya di acara festival makanan negara-negara ASEAN di KL, Malaysia.
“Gimana untuk pendanaannya, apa lo sudah punya solusi?” tanya Hardi.
Abyan manarik napas, wajahnya pun terlihat sedikit tegang. “Ini peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Kita bisa mendobrak pasar yang lebih luas. Gue bahkan berharap kehadiran kripik talas kita bisa menggeser posisi kripik kentang yang sudah lebih dulu terkenal,” ungkapnya. “Tapi perusahaan Lidya sampai saat ini masih kesulitan urusan dananya.”
“Jadi belum ada solusinya?” Hardi ikut khawatir. “Aset lo bukannya masih banyak? Nggak pengin nambah investasi di sana?”
Abyan menggeleng. “Aset gue pribadi yang mudah dicairkan sudah habis. Yang masih ada itu dana darurat buat keluarga gue di rumah, nggak mungkin gue otak-atik. Sisanya tinggal aset non likuid. Gue masih punya beberapa properti, tapi kan, nggak bisa cepat juga cairnya.”
“Semoga kita dapat solusi tepat waktu, ya,” ucap Hardi penuh harap sambil menatap sahabatnya yang tengah memalingkan wajah ke arah jendela l dengan sorot mata kosong. “Eh, btw, lo hari ini bisa pulang lebih cepat?”
Abyan perlahan menoleh ke arah Hardi yang sekarang duduk di sofa tak jauh dari meja kerjanya. “Kenapa memangnya?”
“Tadi bini gue telpon, katanya dia ngajak Ayya makan malam di rumah, tapi ditolak karena nggak tahu lo pulang jam berapa hari.”
“Oh, gitu?” Abyan langsung mengecek pesan yang masuk ke ponselnya karena khawatir chat istrinya terlewatkan. Namun, tak ada satupun pesan yang masuk dari Ayyara. Dia baru menyadari, sepertinya beberapa waktu ini memang sangat cuek dengan keadaan di rumah.
“Gue tahu lo peduli banget sama perusahaannya Lidya. Selain klien perusahaan, secara pribadi lo juga jadi investor di sana. Pastinya lo menaruh perhatian lebih, tapi bukan berarti yang di rumah dilupain juga, kan?” Hardi mencoba mengingatkan.
Wajah Abyan langsung memerah mendapat sindiran dari Hardi. Dia menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Harus diakui dirinya kembali lalai memperhatikan perasaan Ayyara dan anak-anaknya. “Ya, sudah, ayo kita balik sekarang biar gue sama Ayya nggak kemaleman datangnya ke rumah lo.”
Hardi membelalakan mata. “Wuih, serius?” sanksinya. Dia cukup terkejut karena Abyan bisa semudah itu mengubah jadwalnya untuk acara dadakan seperti ini.
“Seriuslah, masa bercanda,” sahutnya sembari mematikan laptop, membereskan semua barang yang akan dibawa pulang ke dalam tas gendongnya. “Yuk, jalan sekarang!” ajaknya.
“Yah, gue belum siap-siap. Laptop gue masih di ruangan,” timpal Hardi yang ikut bergegas keluar ruangan.
“Kalau gitu, gue jalan duluan, ya … biar lebih cepat sampai Bogor. Jadi, siap-siapnya bisa lebih santai.” Abyan pamit duluan.
Hardi tidak menentang permintaan sahabat sekaligus rekan kerjanya ini. Dia justru senang karena ketika Abyan berhasil datang ke rumahnya bersama Ayya, maka istrinya pun akan ikut bahagia.
Waktu menunjukkan pukul 16:30 saat Abyan kelaur dari kantornya. Setelah menempuh perjalanan 1 jam 50 menit, dia pun tiba di rumahnya.
“Yeey, Ayah pulang!” seru Tsabita saat membuka pintu, lalu dia berlari menghampiri Abyan yang baru keluar dari mobil.
Lelaki itu pun langsung berjongkok menyambut sang putri bungsu. “Hai, Sweetie! Ayah kangen banget sama Tsa,” ucapannya seraya memeluk erat Tsabita.
“Tsa juga kangen banget sama Ayah. Alhamdulillah, hari ini Ayah pulang sebelum Tsa bobo,” sahutnya dengan suara manja.
Hati Abyan tergelitik mendengar ucapan putrinya. Ada rasa sesal karena terlampau sibuk akhir-akhir ini. Gadis cilik itu pun langsung digendongnya. Sementara Ayyara baru menghampiri saat ayah dan anak itu berada di ruang keluarga.
“Hai, Sayang … kamu lagi masak?” tebak Abyan saat melihat istrinya datang dari arah dapur.
Ayyara tersenyum, lalu meriah tangan sang suami dan menciumnya. “Belum, sih, barusan cuma bikin jus. Tadi Zay pengin makan sushi, jadi kupikir mau order aja. Eh, tahunya kamu pulang cepat. Maaf, ya … makanannya belum siap.” Dia sedikit menundukkan kepala.
Abyan menurunkan Tsabita, lalu memeluk istrinya. “Nggak apa-apa, aku belum lapar, kok. Lagipula, bukannya kita diundang makan malam sama Manda?”
Ayyara terkejut. Dia sedikit mendorong tubuh sang suami, lalu menengadah menatap wajahnya. “Serius, Mas, kita boleh datang ke rumah Manda?” tanyanya dengan mata berbinar.
Ketika melihat ekspresi wajah istrinya seperti itu, makin membuatnya merasa bersalah. ‘Ya, Allah, se-happy itu kamu, Ay?’
Halaman : 1 2 Selanjutnya
Follow WhatsApp Channel www.redaksiku.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow